Pengajaran di SD Perlu Pendekatan Individual
Siswa di sekolah dasar yang duduk di kelas I, II, dan III mendominasi jumlah siswa yang mengulang atau tidak naik kelas. Penyebabnya, di antarnya, siswa tersebut belum mahir membaca. Saatnya pengajaran di SD mengedepankan pendekatan individual.
Andre (8), siswa SDN 3 Ambulu, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, misalnya, harus mengulang di bangku kelas III di saat teman seangkatannya telah naik ke kelas IV. Ditemui di Ambulu, Senin (10/10), Andre asyik bermain bersama teman- temannya meskipun telah berbeda kelas.
Saat diminta menulis namanya dan membacanya, Andre mampu melakukannya fasih. Namun, saat diminta membaca sebuah kata lainnya, ia masih terbata-bata. “Andre masih sulit membaca,” ucap Agung (8), siswa kelas IV SDN 3 Ambulu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Carum (37), ayah Andre, mengakui anaknya belum mahir membaca. Namun, meski harus mengulang di kelas III, anaknya tetap rajin ke sekolah. “Gurunya memberi tahu, anak saya belum bisa baca dan minta pendapat saya apakah anak saya naik kelas atau tidak. Saya minta jangan dinaikin supaya bisa baca,” ujar Carum yang ditemui di rumahnya yang berbahan bambu dengan luas 2,5 x 8 meter.
Sebagai nelayan yang sibuk dengan aktivitas di laut, Carum tidak sempat mengajari anaknya itu. Carum juga harus bergelut dengan penghasilan yang tidak tetap, bahkan tak jarang ia harus pulang tanpa membawa hasil.
Apalagi, ia masih berutang Rp 1,7 juta kepada tengkulak. “Makanya, anak saya harus sekolah terus biar tidak kayak bapaknya,” ujar Carum yang tidak mampu melanjutkan pendidikan ke SMP karena terkendala biaya.
Guru SD Inpres Slangit 2, Kabupaten Cirebon, Subroto (57), mengatakan, salah satu kendala yang dialami guru dalam proses belajar-mengajar adalah minimnya pelatihan dari pemerintah daerah atau pusat. “Tahun ini, enggak ada pelatihan. Repotnya, satu kelas seorang guru harus menghadapi 10-22 siswa,” ujarnya. Selama ini, lanjutnya, pelajaran membaca masih diajarkan hingga kelas III SD.
Tinggal kelas karena belum bisa membaca, menulis, dan menghitung (calistung) pun terjadi di SDN 1 Kecamatan Tulang Bawang Tengah, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung.
Guru Bahasa Inggris dan Seni Budaya Keterampilan, Nurul Fajri Sanusi, menyatakan, belum mampu membaca menjadi penyebab utama siswa tinggal kelas. Pada tahun ajaran ini, dua siswa kelas I dan seorang siswa kelas II SD tinggal kelas.
Pendampingan oleh guru kepada anak-anak yang belum bisa membaca juga terbilang minim. Guru hanya mendampingi pada jam sekolah, yakni pukul 07.30 sampai 12.05. Selebihnya, mayoritas guru bekerja tambahan karena honor tak mencukupi.
Berdasarkan Ikhtisar Data Pendidikan 2015/2016 yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah siswa yang mengulang atau tidak naik kelas tahun 2015 di SD mencapai 422.082 orang. Jumlah siswa mengulang di kelas I tertinggi, yakni 194.967 orang. Di kelas II, jumlahnya 89.561 orang, sedangkan di kelas III angkanya 65.493 orang(Kompas,10/10).
Pedekatan individual
Pengamat pendidikan Doni Koesoema menilai, penilaian siswa SD harus berorientasi pada perkembangannya sebagai individu. Karena itu, pengajaran di SD hendaknya dilakukan dengan mengedepankan pendekatan individual secara kontinu, sejak awal hingga akhir tahun ajaran.
Doni menilai, terdapat dua faktor penyebab tingginya angka tidak naik kelas ini. Pertama, tidak sinkronnya kebijakan pendidikan antara tingkat TK dan SD. Kedua, sistem pendidikan yang belum berorientasi pada minat dan bakat siswa.
Doni menilai, pemerintah harusnya menyelaraskan kebijakan antartingkat itu sehingga tugas guru TK dan SD jadi jelas. Kegagalan naik kelas karena belum bisa calistung harus ditiadakan karena anak akan menguasai calistung sesuai waktunya.
Dalam pendekatan individual, penilaian yang diberikan juga berupa deskripsi perkembangan siswa. “Jangan kemudian siswa dibandingkan dengan standar kriteria ketuntasan minimal (KKM) atau dengan teman-temannya. Ini bisa membuat siswa demotivasi,” ujarnya.
Ia menegaskan, pada tingkat SD, guru dan orangtua bertanggung jawab terhadap pembelajaran yang dialami anak. Ini berbeda dengan tingkat SMP, ketika siswa sudah bisa bertanggung jawab atas kegiatan belajarnya di sekolah. (IKI/C01)
——–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Oktober 2016, di halaman 12 dengan judul “Belum Bisa Baca, Siswa Mengulang”.