Pemangkasan anggaran pemerintah yang juga melanda lembaga penelitian dengan misi strategis membuat mereka menjadwal ulang rencana dan target penelitian, termasuk sejumlah program yang gagal berlanjut. Kondisi itu menurunkan daya saing dan membuat Indonesia lebih lama bergantung pada riset dan teknologi bangsa lain.
Ketua Dewan Riset Nasional Bambang Setiadi dalam diskusi ”Masa Kini dan Masa Depan Riset dan Teknologi Indonesia” yang diadakan Kompas di Jakarta, Selasa (6/9), menyesalkan pemotongan anggaran tanpa melihat aspek prioritas dan kepentingan bagi bangsa ke depan.
”Di negara lain, anggaran riset tidak dipotong karena riset akan melahirkan inovasi dan inovasilah yang menentukan daya saing bangsa,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemotongan itu memperburuk porsi anggaran riset Indonesia yang sejak merdeka tidak pernah di atas 0,09 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Bandingkan dana riset Malaysia sebesar 1 persen PDB atau negara Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan (BRICS) dengan pertumbuhan ekonomi tinggi.
Dua kali
Selama 2016, pemotongan anggaran lembaga pemerintah dilakukan dua kali, sebelum APBN Perubahan 2016 dan akhir Agustus lalu. Pada pemotongan kedua, total anggaran kementerian dan lembaga yang bisa dihemat Rp 137,5 triliun. Kini, pemerintah mewacanakan pemotongan ketiga pada akhir tahun.
Dalam dua kali pemotongan itu, anggaran Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang semula Rp 777,5 miliar dipotong Rp 113,5 miliar atau tersisa Rp 664 miliar. Anggaran untuk 2017 diindikasikan Rp 698,7 miliar, lebih rendah dari anggaran 2016.
Kepala Lapan Thomas Djamaluddin mengkhawatirkan kondisi itu mengganggu keberlanjutan riset yang butuh waktu bertahun-tahun. ”Tidak ada riset strategis yang bisa dilakukan hanya dalam satu tahun,” katanya.
Kondisi serupa dialami Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) meski pemotongannya tidak sebesar Lapan. Dua kali pemotongan, anggaran Batan 2016 terpangkas Rp 66,2 miliar dari semula Rp 814,9 miliar jadi Rp 748,7 miliar.
Meski kecil, Kepala Batan Djarot S Wisnubroto mengatakan, pemotongan itu tetap berdampak signifikan pada riset Batan. Selama ini, 57 persen anggaran Batan tersedot untuk gaji pegawai dan operasional lembaga. Sementara dana riset murni hanya 11 persen dari total anggaran.
Ubah strategi
Berkurangnya anggaran membuat sejumlah lembaga penelitian harus mengubah rencana dan menjadwal ulang sejumlah agenda riset. Strategi pengembangan sejumlah teknologi strategis pun diubah.
Menurut Thomas, Lapan menyiasati berkurangnya anggaran itu dengan menunda pembelian sejumlah citra satelit resolusi tinggi yang dibutuhkan untuk pemetaan kawasan dan perencanaan tata ruang wilayah.
Program modifikasi pesawat pemantau wilayah (Lapan surveillance aircraft) dari pesawat berawak satu pilot menjadi pesawat tanpa awak dengan Jerman juga ditunda. Penundaan juga terjadi pada program pengembangan roket sonda untuk penelitian atmosfer dan keantariksaan bersama Badan Administrasi Antariksa Tiongkok yang ditandatangani di depan Presiden Joko Widodo dan Presiden Tiongkok Xi Jinping tahun 2015.
Sementara itu, target program yang mundur antara lain peluncuran satelit eksperimen Lapan A4 dan Lapan A5 yang semula direncanakan 2018 dan 2020.
Adapun program yang kemungkinan besar gagal akibat keterbatasan anggaran adalah pembuatan satelit operasional seri B berbobot 500-1.000 kilogram. Semula, satelit kecil itu akan dikembangkan mulai 2022.
”Lapan mengubah strategi dengan mengembangkan sistem konstelasi satelit mikro yang biayanya lebih murah meski kemampuannya lebih rendah,” kata Thomas.
Sementara itu, Batan menunda program pengembangan kawasan ilmu pengetahuan dan teknologi (STP) yang berguna untuk hilirisasi riset Batan dan menumbuhkan usaha kecil bidang pertanian berbasis inovasi. Menurut rencana, STP itu akan dikembangkan di Jakarta Selatan, Musi Rawas (Sumatera Selatan), Klaten (Jawa Tengah), dan Polewali Mandar (Sulawesi Barat).
”STP merupakan program pemerintah sesuai Nawacita Presiden Joko Widodo, tetapi tidak pernah ada jaminan anggaran secara konsisten,” ujar Djarot.
Meski anggaran berkurang, Lapan dan Batan tak mengurangi program prioritas dan penting.
Lapan, kata Thomas, tetap mengembangkan program pengembangan pesawat kecil berpenumpang 19 orang, N219. Pesawat itu diharapkan menjalani uji terbang akhir 2016 dan siap diproduksi 2017. ”Jika tidak diproduksi 2017, pesaing lain sudah siap menyalip,” katanya.
Program Batan yang tidak mungkin dipotong adalah anggaran keamanan dan keselamatan fasilitas nuklir. Anggaran itu juga untuk mempertahankan kemampuan Batan mengelola reaktor nuklir tanpa kecelakaan di Bandung sejak 1964, Yogyakarta (1979), dan Serpong (1987).
”Alokasi untuk keamanan dan keselamatan reaktor nuklir itu adalah prioritas pertama, tidak boleh diganggu gugat,” kata Djarot. (JOG/YUN/AIK/MZW)
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 September 2016, di halaman 1 dengan judul “Pemangkasan Anggaran Turunkan Daya Saing”.