Fasilitasi Bakat dan Minat Peserta Didik
Penerimaan siswa dan mahasiswa baru yang menitikberatkan pada performa akademis menyebabkan penekanan penghafalan teori serta rumus dalam proses belajar mengajar. Padahal, Indonesia membutuhkan orang pintar secara kognitif sekaligus memiliki kepedulian sosial.
“Siswa hendaknya diberi kesempatan bereksplorasi untuk mengenal diri dan lingkungan,” kata Guru Besar Pendidikan Anak Usia Dini dan Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta Fasli Jalal di Jakarta, Minggu (10/7).
Menurut dia, pembelajaran mayoritas berfokus kepada hasil berupa angka, bukan proses pengalaman siswa ataupun mahasiswa dalam mencermati permasalahan, menganalisis, mencari jalan keluar, dan mengambil keputusan. Padahal, hal-hal tersebut penting di dalam mengembangkan sosok manusia yang dengan kecerdasan yang utuh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kewajiban menghafal rumus dan teori tanpa kematangan emosi, sosial, dan komunikasi menghasilkan siswa yang frustrasi. “Hal ini terbawa seiring pertumbuhan siswa tersebut. Ia akan mengalami kesulitan untuk berekspresi dan berkinerja secara optimal,” tutur Fasli.
Perhatikan bakat
Menurut Fasli, hendaknya sekolah dan perguruan tinggi bisa menyaring siswa dan mahasiswa baru melalui bakat di luar akademis. Hal ini dilakukan antara lain dengan memberikan beasiswa kepada anak atau remaja yang berprestasi di bidang olahraga serta kesenian.
Di negara-negara maju, mahasiswa berbakat di bidang olahraga dituntut berprestasi secara atletik. Di sisi akademis, tuntutan indeks prestasi adalah cukup pada batas minimal kelulusan, misalnya di angka 2,75. “Agar bisa mencapai angka itu, mereka diberi pelatihan,” ujar Fasli.
Dari sisi ujian masuk, ia mengusulkan untuk menggunakan tes potensi akademik yang menekankan pada kemampuan membaca kritis, menganalisis persoalan, dan berhitung. Selama ini, ujian berkutat pada konten pembelajaran yang akhirnya membuat siswa sibuk menghafal, bukan mengembangkan kemampuan berpikir.
Fasilitasi mahasiswa
Secara terpisah, Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Intan Ahmad, mengatakan, pelaksanaan kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia masih tergolong kaku.
Calon mahasiswa yang berbakat di bidang olahraga dan seni diimbau agar melamar ke perguruan tinggi yang menyediakan program studi terkait keolahragaan dan kesenian. Perguruan tinggi umum rata-rata belum memiliki jalur untuk menampung mahasiswa yang berasal dari jalur non-akademis.
“Meskipun penyaringan dilakukan secara akademis, kampus wajib memfasilitasi kegiatan-kegiatan non-akademis,” ujar Intan. Hal ini dilakukan untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa berorganisasi, bersikap kritis, melatih kepemimpinan, dan menyalurkan ekspresi secara positif. Hal itu juga sesuai dengan tahapan perkembangan jiwa dan pikiran generasi muda yang penuh rasa ingin tahu.
Menurut Intan, sarjana yang dibutuhkan Indonesia ialah sarjana yang memahami persoalan bangsa, antara lain menjaga persatuan di tengah kemajemukan, mengatasi masalah kemiskinan, dan mengeluarkan masyarakat dari pola pemikiran sempit.
“Sensitivitas terhadap lingkungan berkembang melalui hal-hal yang bersifat non-akademis. Maka, faktor tersebut tidak kalah penting dengan mengejar nilai baik,” ujar Intan.
Karena itu, tugas pendidik ialah memastikan setiap proses pembelajaran dan perkuliahan berlangsung sesuai dengan tahap yang semestinya. Hal tersebut sesuai dengan tulisan Martha Nussbaum, filsuf dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, yang menegaskan bahwa pendidikan merupakan seluruh aspek pembentukan manusia yang bertujuan menghasilkan orang-orang kritis, peduli sesama, serta mencari solusi. (DNE)
——
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Juli 2016, di halaman 11 dengan judul “Non-akademis Jadi Alternatif”.