Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup mencanangkan tema Hari Lingkungan Hidup tanggal 5 Juni 1989 adalah ”Membangun Negeri dengan Keanekaragaman Hayati.” Pemilihan tema ini karena beberapa tahun terakhir keprihatinan orang sedunia akan keanekaragaman hayati itu semakin meningkat.
Kekhawatiran ini didasarkan pada kenyataan, pengurasan sumber daya alam hayati berlangsung terus tanpa kendali, bahkan di beberapa bagian dunia eksploitasi sumber daya yang sebenarnya terbarukan itu melaju dengan cepat. Sayangnya pemanenan itu tidak disertai upaya menjamin kelangsungan keberadaan sumber daya hayati sehingga mampu terus menyediakan bahan yang dibutuhkan manusia.
Tema yang dilontarkan di atas tentu saja merupakan angin segar buat para biologiwan dan penganjur kelestarian alam. Tema ini memberi pijakan mapan untuk gerakan dan kegiatan melestarikan hewan dan tumbuhan langka sekaligus membina lingkungan yang lebih nyaman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Masalah utama yang dihadapi sekarang adalah bagaimana menggalang keikutsertaan aktif segenap masyarakat, mulai pengambil putusan tertinggl sampai masyarakap umum. Upaya ini tidak akan berhasil tanpa dukungan nyata mereka.
Apalagi bila diingat keanekaragaman hayati bagi sebagian besar masyarakat, termasuk kebanyakan bilogiwannya sendiri, konsep ini masih asing sehingga seolah-olah sulit dipahami, dihayati dan diamalkan. Sebenarnya keanekaragaman hayati hanya ungkapan pernyataan adanya bermacam jenis mahluk, penampilan sifat dan perilakunya. Sekalipun kekayaan jenis merupakan pumpunan perhatian, tipe ekosistem yang terbentuk oleh keragaman jenis yang menjadi unsurnya dan variasi genetika yang menyusun jenis-jenis itu sendiri tercakup dalam keanekaragaman hayati itu.
Ancaman menakutkan
Dalam kehidupan sehari-hari kita pasti pernah bersinggungan dengan berbagai bentuk keangkaragaman tadi. Seorang petani yang menanam jambu mawar di pekarangan rumahnya, mengusahakan jambu bol, jambu air, kupa dan duwet di kebunnya, dan menanam padi cisadane, Pelita II, IR 36 atau rajalele di sawahnya sebenarnya secara nyata sudah memanfaatkan keanekaragaman hayati.
Petani ini telah menggunakan berbagai tipe ekosistem (sawah, kebun, pekarangan) sesuai dengan sifatnya membudidayakan beranekaragam jenis tanaman yang barkerabat (Jambu-jambu bol, air, mawar, kupa dan duwet yang semuanya merupakan anggota Syzygium) dan memanfaatkan variasi genetika kultivar padi yang ditanamnya.
Banyak para amatir, terutama yang berkecimpung dalam bidang anggrek atau ikan hias, yang pantas mendapatkan penghargaan. Berkat kegiatan mereka maka koleksi yang ada telah dikawinsilangkan untuk menciptakan silangan atau kultivar baru. Di tangan mereka keragaman plasma nutfah meningkat dan bermanfaat untuk pembangunan.
Di balik kemilau keberhasilan ini tersembunyi ancaman yang menakutkan. Sumber daya hayati merupakan penyedia utama untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia Indonesia. Tekanan untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari sumber daya itu seakan berlangsung tanpa bendungan. Celakanya dalam mengeksploitasi sumber daya alam tadi, terjadi gangguan dan kerusakan yang sulit dipulihkan.
Umumnya gangguan ini terjadi karena keteledoran kita melaksanakan rencana permanen dan kekurangpatuhan pada aturan perundangan yang berlaku sehingga muncul beberapa penyimpangan yang fatal. Selain itu, di sana-sini memang terlihat ketidaktepatan perencanaan yang belum memperhitungkan kelestarian sumber daya hayati untuk menyediakan kesinambungan bahan kebutuhan manusia di masa depan.
Dalam jangka panjang, kerusakan ini menimbulkan dampak luas. Hutan yang terganggu secara drastis, keragaman yang terdapat di dalamnya berangsur-angsur tapi pasti akan punah selamanya.
Seperti sudah diduga orang, kerusakan hutan di Indonesia yang merupakan satu di antara tiga kawasan utama hutan tropik dunia, akan mengganggu corak iklim global.
Karena ulah kita sekarang, menjelang, tahun 2000 (yang tinggal 10 tahun lagi), puluhan bahkan ratusan jenis tumbuhan, hewan, dan jasad renik yang belum kita kenal apalagi diketahui potensi manfaatnya, akan punah selamanya. Malahan jenis yang sudah dikenal akan tererosi keragaman plasma nutfahnya karena teknologi budi daya mutakhir menuntut keseragaman kultivar untuk keseragaman mutu produksi.
Kecondongan ini akan membuat padi campa yang berberas merah tapil berproduksi rendah, mangga pesing yang, langka dengan buah kusam, kecil, berbau sengak dan agak kecut rasanya, atau rambutan Citangkui yang biarpun rasanya enak tapi malas berbuah, akan kalah bersaing dengan kultivar unggul baru. Mereka akan hilang musnah ditelan kemajuan zaman.
Ironi
Memang merupakan ironi bahwa sampai kini biologiwan belum tahu persis jumlah keanekaragaman di dunia, atau di Indonesia. Taksiran jumlah jenis makhluk yang ada di dunia saat ini bervariasi dari 2 juta, 5 juta, atau 30 juta, tergantung dari pakar yang akan dianut pendapatnya. Tetapi semua sepakat, dengan eksploitasi hutan tropik, yang merupakan gudang terbesar keanekaragaman hayati dunia, sepesat sekarang, hampir 10 persen di antara keanekaragaman haiyati itu tidak akan pernah melihat matahari tahun 2000.
Taksiran konsevatif kekayaan jenis mahluk yang ada di Indonesia berkisar 325.000 dengan serangga sebagai kelompok terbesar berjumlah 250.000 jenis. Jumlah tersebut yang merupakan 16,25 persen jenis yang ada di seluruh dunia, menunjukkan kekayaan Indonesia karena luas Indonesia tidak sampai 1 persen luas muka bumi keseluruhan.
Kalau ada yang bertanya, mengapa dengan kekayaan tersebut Indonesia tidak tergolong bangsa yang kaya dan maju dibandingkan negara Barat yang keanekaragamannya jauh lebih kecil. Ternyata faktor sumber daya manusia dengan sumber daya teknologi yang dikuasai untuk mengelola keanekaragaman itu, sangat menentukan.
Di pihak lain, kemajuan bangsa Barat di belahan bumi Utara terjadi berkat sumbangan keanekaragaman hayati yang disumbangkan dari Selatan. Gandum dan kentang yang menjadi makanan pokok bangsa Barat, berasal dari kekayaan plasma nutfah Timur Tengah dan Amerika Selatan.
Karena itu kalau ingin meraih manfaat maksimum dari keanekaragama hayati yang kita miliki, harus disiapkan satu batalyon pemulia tanaman dan hewan yang berkualifikasi. Padahal pemulia tanaman kini masih merupakan kelompok profesi yang masih langka.
Melestarikan
Banyak negara di dunia kini mengurangi atau bahkan menghentikan sama sekali eksploitasi hutannya. Thailand sudah mencanangkan larangan penebangan kayu hutan karena mengakibatkan erosi dan tanah longsor yang dahsyat. Jepang sudah lama tidak memanen hutannya sendiri, dan Australia bermaksud melestarikan hutan alamnya untuk warisan genera berikut. Negara-negara ini bermaksud mengimpor saja kayu dari negara tetangga, termasuk Indonesia.
Sebagai pemilik dan penanggung jawab keanekaragaman hayati Indonesia, kita berkewajiban menggariskan kebijaksanaan yang tidak semata-mata mendasarkannya pada nilai rupiah yang dimiliki kayu.
Kita juga harus memperhitungkan nilai yang belum terukur atau tidak pernah dapat diukur dengan rupiah yang sencara hakiki sebenamya terkandung dalam hakikat keanekaragaman hayati itu. Salah satu kritikan yang selama ini dilontarkan terhadap penganjur konservasi sumber daya alam hayati adalah kesempitan pandangan bahwa jenis itu harus dilestarikan hanya demi kelestariannya saja.
Kita bisa mengerti, sikap demikian tidak akan mendapat dukungan pemerintah dan masyarakat umum yang memang sangat memerlukan manfaat yang dihasilkan sumber dayahayati tadi.
Karena itu dalam buku putih, (lihat D.S. Sastrapradja,S. Adisoemarto, K. Kartwinata, S. Sastrapradja & MA. Rifai, 1989. Keanekaragaman Hayati untuk Kelangsungan Hidup Bangsa. LIPI-Bogor. 98pp) yang dikeluarkan sehubungan gerakan ”Membangun Negeri dengan Keanekaragaman Hayati”, ditekankan perlunya mempertahankan dan menjamin kelangsungan pemanfaatan keanekaragaman sumber daya alam terbarukan tadi melalui pelestariannya.
Mien A. Rifai, dari Herbarium Bogoriense, Puslitbang Biolongi-LIPI, Bogor.
Sumber: Kompas, 7 Juni 1989