Nama-nama besar ilmuwan sosial di Indonesia tanpa terasa makin lama makin berkurang. Dulu, begitu mudah menyebut nama ilmuwan sosial di Indonesia. Sebutlah Soedjatmoko, Selo Soemardjan, Kuntowidjoy, Koentjaraningrat, Sartono Kartodirdjo, dan Miriam Budiardjo.
Dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, muncul nama-nama seperti Alfian, Taufik Abdullah, AB Lapian, Thee Kian Wie, Lie Tek Tjeng, Melly G Tan, dan sederet nama lainnya. Pada masa itu muncul jurnal Prisma, dengan segala kekurangan dan kelebihanya menjadi forum teknokrat dan ilmuwan yang cukup disegani. Kini dunia ilmu sosial di Indonesia serasa sepi, terlalu sulit untuk menyebut ilmuwan sosial baru yang disegani karena komitmen pada keilmuannya.
Kegelisahan akan menghilangnya nama-nama besar ilmuwan sosial itu dirasakan oleh Thung Julan, generasi baru peneliti ilmu sosial di LIPI. Kesan kuat yang muncul sekarang, para peneliti ilmu sosial dan politik berlomba-lomba menjadi komentator, muncul di koran dan televisi, muncul dalam seminar-seminar, tak ubahnya seperti selebriti.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hampir-hampir tidak terdengar peneliti ilmu sosial yang menyendiri, bergulat dengan keilmuannya, dan hanya sekali-sekali muncul menyampaikan inspirasi perubahan pada masyarakat. Tidak terdengar lagi seorang peneliti sosial Indonesia yang terjun di lapangan selama berbulan-bulan hingga beberapa tahun untuk melakukan riset.
”Kalau LIPI masih berdiri sampai sekarang, itu karena perjuangan perorangan beberapa nama besar. Tetapi, jumlah mereka makin lama makin berkurang dan tidak ada penggantinya, ” kata Julan
Akan tetapi, menurut sosiolog Ignas Kleden, penelitian ilmu sosial berjalan biasa-biasa saja. Tidak ada penurunan hebat bila dibandingkan pada masa Orde Baru. Perkembangan penelitian, kata Kleden, sangat berkait dengan perhatian publik terhadap penelitian. Apabila perhatian terhadap suatu penelitian tidak meningkat, mutu penelitian juga tidak akan meningkat. Bila pekerjaan penelitian mendapatkan perhatian publik, peneliti akan bekerja lebih serius.
Krisis ilmu sosial dan ilmuwan sosial di Indonesia sudah dibicarakan pada tahun 1970-an, ketika banyak ilmuwan sosial dan politik memilih masuk atau berkompromi dengan kekuasaan dan mengerjakan proyek-proyek pesanan untuk menopang proses pengambilan kebijakan.
Banyak sekali penelitian suruhan, kata Soedjatmoko dalam sebuah kongres ilmu sosial di Medan, Januari 1977. Riset-riset suruhan itu terjadi sampai saat ini. Pesanan tidak hanya datang dari lembaga-lembaga pemerintah, tetapi juga institusi donor dari luar negeri yang lebih suka pada riset kebijakan, pemetaan, atau yang bersifat permukaan. Birokrasi mengontrol ketat peneliti, baik di lembaga-lembaga riset pemerintah maupun universitas, dikaitkan dengan syarat-syarat kemanfaatan dan tidak ada tempat bagi riset untuk pengembangan ilmu itu sendiri.
Selama ini, menurut Julan, perhatian lebih banyak dititikberatkan pada pengembangan ilmu sosial yang cenderung terbatas pada hal-hal yang praktis, bahkan statis. Banyak cabang iImu sosial yang tidak berkembang di Indonesia seperti studi tentang keluarga, pemuda, atau tentang kelompok lansia.
”Yang harus dilakukan pemerintah adalah memberikan perhatian pada penelitian demi pengembangan ilmu pengetahuan, bukan untuk melayani kebijakan pemerintah,” kata Kleden.
Terpaksa ”ngamen”
Akan tetapi, jangankan perhatian kepada penelitian untuk pengembangan ilmu pengetahuan, perhatian untuk peneliti pun tidak serius diperhatikan. Seorang calon peneliti ilmu sosial hanya menerima gaji sekitar Rp 700 .000 per bulan.
Gaji dan tunjangan fungsional seorang bertitel profesor penelitian sekitar Rp 2,5 juta. Honorarium yang diperoleh dari satu proyek riset yang dibiayai dari dana daftar isian proyek (DIP) sekitar 500.000 per bulan. Tahun-tahun sebelumnya bahkan kurang dari Rp 200.000 per bulan. Jangka waktu riset di lapangan hanya dua minggu. Dalam situasi seperti itu, hampir tidak ada peneliti sosial yang tidak tergoda mengamen di mana-mana atau mengerjakan tawaran penelitian yang tidak relevan dengan bidang keahliannya.
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Ikrar Nusa Bhakti mengatakan, kehidupan ilmuwan sosial dulu dengan sekarang jauh berbeda. Pada masa itu ilmuwan sosial belum menghadapi persoalan konsumerisme yang dihadapi peneliti zaman sekarang. Ilmuwan sosial dulu, kata Ikrar, tidak miskin-miskin amat. Mereka memperoleh rumah dinas yang cukup nyaman. Sekarang, sekalipun secara nominal gaji dan honor peneliti naik berkali lipat, untuk memenuhi kebutuhan dasar saja tidak cukup.
”Akibatnya, seorang peneliti harus mencari penghasilan tambahan untuk hidup. Pragmatisme yang kemudian berkembang. Idealisme sebatas tidak menerima sogokan. Kalau cuma bekerja dalam satu bidang, pasti hidupnya melarat,” tutur Ikrar.
Kegagalan kaderisasi
Tidak ada sistem yang dibangun untuk melahirkan ilmuwan sosial yang tangguh. Proses perekrutan yang dipercanggih pun kalang kabut. Seorang yang melamar menjadi peneliti masuk dalam bidang yang lain sama sekali dengan bidang ilmu yang ia pelajari di universitas. Bahkan, ada yang salah masuk ke perpustakaan atau bagian administrasi. Seorang lulusan Fakultas Hukum dari Yogyakarta diterima sebagai pegawai perpustakaan. Padahal, potensinya untuk menjadi peneliti dan ilmuwan bisa ia buktikan. Ia berhasil mendapatkan beasiswa untuk belajar hukum ekonomi di London School of Economics, universitas bergengsi di Inggris.
Apa yang bisa diperoleh dari seorang calon peneliti yang digaji sekitar Rp 700.000 di Jakarta? Paling banter uang sebesar itu hanya bisa untuk membayar kos dan makan sehaIi-hari. Tidak ada biaya untuk uang transpor.
Ketika ia mulai masuk bekerja, belum tentu ia kebagian ruangan dan mendapatkan meja kursi. Itu bisa terjadi berbuIan-bulan. Banyak di antara yang bingung harus melakukan apa. Mereka baru mendapatkan gambaran apa yang harus dilakukan setelah berhasil menjalin hubungan dengan peneliti yang lebih senior. Mereka langsung terlibat dalam proyek riset tanpa melalui proses pelatihan terstruktur sebagai calon peneliti.
Try Rainny Syarifrani (27), alumnus Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung, sempat kecewa ketika menjalani minggu-minggu pertamanya berkantor di LIPI. Bayangannya tentang lembaga riset itu terlalu berlebihan. Ternyata urusan perpustakaan dan internet saja jadi urusan panjang. Ternyata tidak ada pusat belajar, laboratorium komputer atau perpustakaan yang memadai. ”Rasanya malu juga bila mau mau mencari data harus menggantungkan pada institusi lain, ” kata Rainny.
Dhani Agung Dharmawan (24) yang baru bergabung di Pusat Penelitian Ekonomi LIPI cukup beruntung. Begitu masuk ia bisa memilih ruangan sendiri dan langsung mendapatkan meja kursi. Akan tetapi, tidak ada lain-lainnya. Kosong melompong. Tidak ada buku, tidak ada telepon, tidak ada komputer, dan jalur internet. Ia hanya pasrah dan bersabar. Dengan penghasilan yang tidak memadai, ia memang memiliki keleluasaan bergerak di luar. Ia bergabung dengan kelompok-kelompok di luar. Dari situlah ia bisa me masang sambungan telepon sendiri, membayar tagihan tiap bulan, membeli komputer, dan hal-hal lain yang harusnya menjadi tanggung jawab negara.
Anak-anak muda pilihan yang lolos menjadi calon peneliti ilmu sosial tidak ubahnya seperti seekor anak ayam kehilangan induk. Tidak tahu apa yang harus dilakukan sampai datang seorang penyelamat.
Menurut Julan, apakah seseorang akan menjadi seorang peneliti profesional berjalan sendiri-sendiri dan tergantung pada komitmen masing-masing. Hampir-hampir tidak ada kontrol dan hukuman terhadap seorang peneliti yang melalaikan tugasnya. Tidak ada manajer penelitian yang bisa mengenali kelemahan dan kekurangan anak buahnya, yang bisa memberikan motivasi dan membimbing menjadi seorang peneliti yang benar.
Sarah Nuraini Siregar (26), lulusan program master Ilmu Politik UI, mengatakan, ia akan mencoba mengatasi situasi yang sulit. “Keinginan untuk menjadi ilmuwan pasti ada, tetapi keadaan seperti ini. Yang bisa saya lakukan adalah menyelesaikan apa yang menjadi tugas saya di sini dengan komitmen semaksimal mungkin,” tuturnya.
Ilmu sosial adalah anak tiri dari ilmu pengetahuan di Indonesia; baru ditempatkan sebagai aksesori. Tanpa ada perubahan kebijakan, ilmuwan sosial besar tidak akan terlahir lagi. Ilmu sosial di Indonesia tidak hanya berada dalam situasi krisis, tetapi sedang berjalan menuju liang kubur.
Oleh: P BAMBANG WISUDO dan INDIRA PERMANASARI
Sumber: Kompas, Rabu, 3 Mei 2006