Saat bencana melanda, potret wilayah terdampak dari luar angkasa membantu penanggulangan bencana. Dari citra satelit, identifikasi wilayah terdampak, pendeteksian posisi korban untuk mempercepat evakuasi, hingga antisipasi bahaya susulan bisa dilakukan.
Saat bencana besar terjadi, setiap negara bisa mengaktifkan akses untuk mendapat citra satelit di wilayah bencana dalam kerangka Perjanjian Internasional tentang Keantariksaan dan Bencana Besar (ICSMD). Penyediaan data penginderaan jauh bagi kemanusiaan itu digagas Badan Antariksa Eropa (ESA) dan Pusat Studi Antariksa Nasional Perancis (CNES) pada 1999.
Kini, ICSMD beranggotakan banyak badan antariksa dari berbagai negara. Satelit yang bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan informasi geografis di wilayah bencana pun mencapai lebih dari 30 satelit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Satelit itu antara lain Envisat milik ESA, SPOT serta Pleiades kepunyaan CNES, dan Radarsat milik Badan Antariksa Kanada (CSA). Ada pula satelit Badan Geologi Amerika Serikat (USGS) Landsat dan Quickbird, ALOS dari Badan Eksplorasi Antariksa Jepang (JAXA), dan Kompsat-2 milik Lembaga Penelitian Antariksa Korea Selatan (KARI).
Indonesia belum jadi anggota ICSMD. Namun, Indonesia tetap bisa mengaktifkan akses untuk mendapat citra satelit-satelit ICSMD melalui Sentinel Asia, yakni kolaborasi antara badan antariksa, badan penanggulangan bencana, dan sejumlah badan internasional, untuk menyediakan data penginderaan jauh pendukung penanggulangan bencana di Asia Pasifik.
“Pengambilan citra satelit itu mengandalkan satelit negara lain. Sebab, satelit Lapan A2/Orari masih tahap uji agar citra yang diperoleh bermutu,” kata Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) M Rokhis Khomarudin, seusai membuka Lokakarya ASEAN Ke-4 untuk Pelatihan Simulasi Panduan Berbagi Informasi Keantariksaan Selama Tanggap Darurat, di Bogor, Selasa (19/4).
Satelit eksperimen Lapan A2/Orari yang diluncurkan pada September 2015 itu salah satu penggunaannya untuk penanganan bencana. Jika satelit itu beroperasi, kerja sama dengan lembaga-lembaga pemilik satelit lain tetap diperlukan.
Data dari sejumlah satelit dalam kerangka ICSMD itu akan dikirimkan ke badan antariksa atau badan penanggulangan bencana di tiap negara untuk diolah agar penanggulangan bencana bisa segera dilakukan.
ASEAN
Sebagai kawasan yang tumbuh, tiap bencana yang terjadi di negara-negara ASEAN memengaruhi pertumbuhan ekonomi kawasan. Apalagi, ASEAN punya banyak potensi bencana karena ada di jalur cincin api, dikelilingi samudra yang berpotensi banyak badai, hingga terjadi perubahan lingkungan sebagai konsekuensi aktivitas ekonomi.
Di ASEAN, Lapan ditunjuk menjadi kantor pendukung regional Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pemanfaatan Informasi Keantariksaan guna Penanganan Bencana dan Masa Tanggap Darurat (UN-SPIDER). Jadi, Indonesia bertanggung jawab memajukan pemakaian data satelit untuk penanggulangan bencana di ASEAN.
Selain itu, Lapan sebagai anggota kelompok Data Analysis Node (DAN) di Sentinel Asia bisa mengolah data penginderaan jauh saat bencana di negara ASEAN jika diminta negara itu. Menurut Rokhis, kemampuan para ahli Indonesia untuk mengolah data penginderaan jauh lebih baik dibandingkan negara-negara ASEAN lain.
“Ahli-ahli Lapan mampu mengotomatisasi pengolahan data penginderaan jauh sehingga analisis yang semula butuh waktu seharian kini hanya butuh 7 menit,” ujarnya.
Namun, pertukaran data penginderaan jauh tingkat ASEAN itu belum dilakukan karena prosedur dan panduannya baru disusun. Menurut Rokhis, meski kemampuan Indonesia mengolah citra satelit cukup baik, kerja sama pertukaran data dengan negara ASEAN diperlukan untuk pertukaran pengetahuan. Apalagi, dalam pengelolaan data penginderaan jauh tertentu, kadang perlu pengetahuan khusus yang belum dimiliki Indonesia.
Kerja sama antarnegara ASEAN itu juga bisa dimanfaatkan untuk pertukaran data antarsatelit milik negara-negara ASEAN. Makin banyak data satelit diperoleh, citra yang didapat lebih banyak dalam waktu berbeda. Jadi, penanggulangan bencana bisa lebih akurat.
Secara terpisah, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho memaparkan, citra satelit hasil penginderaan jauh dari Lapan bermanfaat dalam penanggulangan bencana secara cepat dan tepat. Selama ini, data itu jadi acuan kerja BNPB sebelum bencana, saat tanggap darurat, ataupun sesudah bencana.
Meski demikian, BNPB selaku otoritas penanggulangan bencana di Indonesia berharap juga memiliki akses mengaktifkan data satelit lewat Sentinel Asia. Dengan kewenangan itu, BNPB cepat memeroleh citra satelit sesuai kondisi terkini.
Selain itu, selama ini BNPB mendapat citra satelit yang diolah dari Lapan dalam format JPEG (joint photographic experts group). Akibatnya, BNPB kesulitan menganalisis citra itu lebih lanjut. Agar pemanfaatan citra satelit itu lebih optimal, BNPB berharap citra yang dikirim dalam format TIFF (temporary instruction file format).
Namun, upaya itu harus dibicarakan lebih dulu dengan Lapan ataupun lembaga terkait lain, seperti Badan Informasi Geospasial ataupun Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jika nanti BNPB berwenang mengaktifkan data satelit untuk penanggulangan bencana, BNPB tetap perlu bekerja sama dengan Lapan untuk menganalisisnya karena tenaga yang dimiliki BNPB masih terbatas.
“Dengan kewenangan memperoleh data mentah citra satelit format beragam, BNPB bisa dengan cepat menganalisis citra sesuai kebutuhan,” ujarnya. (MZW)
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 April 2016, di halaman 6 dengan judul “Memotret dari Luar Angkasa, Menanggulangi Bencana”.