Klinik Chiropractic First Ditutup Terkait Dugaan Malapraktik
Konsil Kedokteran Indonesia belum pernah menerbitkan surat tanda registrasi bagi dokter asing yang bekerja di Indonesia. Itu berarti dokter di Klinik Chiropractic First dipastikan berpraktik tanpa izin atau ilegal. Klinik chiropractic juga tak mengantongi izin dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Prof Bambang Supriyatno, Kamis (7/1) di Jakarta, menegaskan, KKI belum pernah memberi izin dokter asing berpraktik di Indonesia kecuali bagi tiga keperluan, yakni untuk belajar, bakti sosial, dan alih teknologi. Surat tanda registrasi (STR) bagi tiga keperluan itu ialah STR bersyarat.
“KKI pernah menerbitkan STR dokter asing untuk belajar, STR untuk bakti sosial, dan alih teknologi. Sementara STR bagi dokter asing bekerja di Indonesia nol, belum pernah. Jadi, yang tak punya STR pasti ilegal,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika ada dugaan malapraktik oleh dokter yang praktik ilegal, korban bisa mengadukan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia). Dokter bersangkutan juga terjerat hukum karena praktik tanpa izin.
Standar kompetensi
Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Peningkatan Pelayanan Prof Akmal Taher menjelaskan, dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN, praktik dokter lintas negara dimungkinkan. Namun, pemangku kepentingan dari tiap negara masih membahas standar kompetensi dokter antarnegara ASEAN. Karena belum ada hasil final saling pengakuan standar kompetensi, dokter asing belum bisa berpraktik di Indonesia.
KOMPAS/PRIYOMBODO–Klinik Chiropractic First di Pondok Indah Mall 1, Jakarta Selatan, yang telah tutup disegel dengan garis polisi, Kamis (7/1). Penyegelan dilakukan karena klinik itu tak memiliki izin dan dugaan malapraktik yang mengakibatkan pasien bernama Allya Siska meninggal.
Kemarin, Kepolisian Daerah Metro Jaya menutup tujuh Klinik Chiropractic First di Jakarta, yakni di Mal Pondok Indah, FX Senayan, Grand Indonesia, Emperium Pluit, Taman Anggrek, Kota Kasablanka, dan Kelapa Gading. Di Mal Pondok Indah, klinik ini beroperasi sejak dua tahun lalu, menyediakan terapi untuk atasi sakit kepala, sakit punggung bawah, nyeri sendi, dan cedera saat berolahraga.
“Klinik beroperasi tanpa izin,” kata Kasubdit Remaja, Anak, dan Wanita Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Suparmo. Klinik seharusnya beroperasi dengan surat izin dari Dinas Kesehatan dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta. Pengajuan izin lewat pelayanan terpadu satu pintu DKI Jakarta.
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedia Priharto memaparkan, di Amerika Serikat, chiropractic termasuk pengobatan tradisional. Di Jakarta, izin usaha pijat tradisional, spa, dan salon dikeluarkan dinas pariwisata, izin pengobatan tradisional diterbitkan dinas kesehatan.
Menurut hasil investigasi, Klinik Chiropratic First beroperasi tanpa izin usaha dari Pemprov DKI Jakarta serta tak mencantumkan papan nama dan jadwal praktik. Klinik itu mempekerjakan dokter asing, dr Randall Cafferty, yang tak punya dokumen praktik kedokteran resmi.
Menurut informasi di situs Board of Chiropractic Examiners State of California, dr Randall Cafferty diberi sanksi disiplin tiga tahun karena tindakan tak profesional, dan jadi tersangka kasus kriminal. Pengganti dr Randall, Marek Magnowski, asal Polandia, pun tak bisa menunjukkan dokumen praktik kedokteran resmi. “Kami akan mengecek 9 klinik serupa di Jakarta, jika tak ada izin, akan kami tutup,” ujarnya.
Agustus lalu, Allya Siska Nadya (33), karyawati perusahaan migas, meninggal, diduga karena malapraktik yang dilakukan dr Randall Cafferty, terapis Klinik Chiropratic First. Terapi dilakukan di klinik Mal Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Alfian Helmi, ayah korban, menuturkan, Siska meninggal pada 7 Agustus 2015. Sehari sebelumnya, Siska menjalani terapi dua kali di Klinik Chiropratic First, Mal Pondok Indah, untuk mengatasi nyeri leher dan tulang belakang. Saat diterapi, dr Randall Cafferty mengangkat dan memutar kepala Siska ke kiri dan ke kanan serta menarik dan memutar pinggul korban.
Setiba di rumah, Siska mengeluhkan sakit pada leher. Ia lalu dibawa ke Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Menurut catatan medis, Siska kesemutan di leher hingga lengan, leher membengkak diduga karena pembuluh darah pecah. Pada 7 Agustus 2015, pukul 05.00, Siska kehilangan kesadaran dan denyut jantungnya melemah hingga akhirnya meninggal.
(ADH/DNA/MKN/RAY/FRO)
———————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Januari 2016, di halaman 14 dengan judul “Praktik Dokter Asing Ilegal”.
———-
Manfaat dan Bahaya “Chiropractic”
Beberapa hari ini, masyarakat dihebohkan dengan berita meninggalnya seorang perempuan muda, Allya Siska Nadya, akibat chiropractic. Perempuan yang hendak menempuh pendidikan S-2 di Perancis itu mengeluhkan pegal leher. Agar kesehatannya prima, ia melakukan pemeriksaan medis, kemudian memutuskan menjalani terapi chiropractic untuk menghilangkan keluhannya. Setelah dua kali terapi dalam sehari, Allya merasa kebas. Malamnya ia terserang nyeri hebat sehingga dibawa ke rumah sakit. Namun, jiwanya tak tertolong, pagi hari Allya meninggal dunia.
Terapi yang selama ini diklaim mampu menyembuhkan sejumlah gangguan kesehatan tanpa operasi, ternyata tak luput dari efek samping. Apa itu chiropractic dan bagaimana terapi itu dilakukan?
Menurut laman Lembaga Kesehatan Nasional (NIH) Amerika Serikat, kata chiropractic berasal dari bahasa Yunani cheir (tangan) dan praxis (melakukan), artinya melakukan perawatan dengan tangan. Terapi ini mendasarkan pada keyakinan bahwa hubungan struktur tubuh (terutama terkait tulang belakang) dan fungsinya yang dikoordinasi oleh sistem saraf bisa memengaruhi kesehatan.
Chiropractic diklaim bisa menyembuhkan nyeri leher, nyeri punggung, nyeri otot tubuh, migren, sakit kepala, sindrom carpal tunnel (nyeri pergelangan), gangguan tidur, radang sendi, pembengkakan kantong cairan sendi, serta nyeri punggung bawah yang menjalar ke kaki. Bahkan, dinyatakan bisa mengurangi keluhan asma.
Terapi chiropractic dikembangkan oleh Daniel David Palmer, kelahiran Kanada tahun 1845 yang bermigrasi ke AS pada 1865. Pada 18 September 1895, Palmer memperbaiki tulang belakang seorang pembersih kantor yang mengalami ketulian. Terapi ini diklaim mampu memulihkan pendengaran orang tersebut. Menurut laman www.sciencebasedmedicine.org, berdasarkan pengalamannya, Palmer menyimpulkan semua penyakit disebabkan oleh gangguan sistem saraf yang terhubung dengan sistem tulang. Dalam hal ini, 95 persen terkait tulang belakang, sisanya terkait tulang lain.
Pemeriksaan dan terapi
Dalam pelaksanaan terapi, biasanya pada kunjungan pertama, chiropractor akan menanyakan sejarah kesehatan serta melakukan pemeriksaan fisik terutama pada tulang belakang. Jika dinilai perlu terapi, chiropractor akan membuat rencana terapi.
Seorang perempuan meninggal setelah menjalani terapi chiropractic. Allya Siska Nadya mengalami kesakitan di bagian leher setelah menjalani chiropractic, sehingga dilarikan ke Rumah Sakit Pondok Indah. Meski mendapat pertolongan medis, kondisi Siska terus menurun dan tak sadarkan diri. Siska mengembuskan napas terakhir pada 7 Agustus 2015. Keluarga korban telah melaporkan kejadian ini ke polisi.
Selanjutnya chiropractor akan melakukan koreksi tulang belakang, baik dengan tangan maupun dengan alat. Tujuannya untuk meningkatkan rentang dan kualitas gerakan sendi yang diterapi dan memperbaiki kesehatan. Koreksi tulang belakang dipercaya membuat saraf-saraf tubuh bisa bekerja maksimal dan memperbaiki gangguan kesehatan.
Umumnya terapi dilakukan dengan upaya mengembalikan sendi pada tempat seharusnya dengan tangan. Dalam perkembangannya, terapi ini memanfaatkan sejumlah alat kedokteran modern. Antara lain, electromyography untuk mengoreksi saraf otot, laser, dan alat ultrasonografi untuk mengurangi peradangan sendi.
Sebuah kajian bukti-bukti ilmiah terkait terapi ini pada tahun 2010 menyimpulkan, koreksi tulang belakang bisa membantu sejumlah gangguan kesehatan termasuk nyeri punggung, migren, sakit kepala, nyeri leher, serta gangguan pada persendian tubuh. Kajian juga mengidentifikasi sejumlah kondisi di mana koreksi tulang belakang tidak menunjukkan manfaat. Antara lain pada asma, hipertensi, dan nyeri menstruasi. Selain itu, ada sejumlah bukti yang tidak cukup kuat untuk memastikan bahwa chiropractic membantu penderita nyeri otot tubuh (fibromyalgia), nyeri punggung tengah, sindrom premenstruasi, nyeri punggung bawah yang menjalar ke kaki, serta gangguan sendi rahang dan otot wajah.
Menurut NIH, terkadang terjadi efek samping antara lain sakit kepala, keletihan, ketidaknyamanan pada bagian tubuh yang diterapi. Meski jarang, ada pula laporan komplikasi serius akibat terapi ini seperti kejadian stroke, sindrom saraf terjepit, serta memburuknya dislokasi ruas-ruas tulang belakang. Menurut laman www.sciencebasedmedicine.org, meski sangat langka tercatat ada kejadian tak diinginkan akibat tindakan koreksi tulang belakang berupa cedera arteri vertebrobasilar sehingga menyebabkan stroke, kelumpuhan, bahkan kematian.
Sistem pendidikan
Di AS, chiropractic dianggap sebagai pengobatan komplementer. Menurut Survei Wawancara Kesehatan Nasional (NHIS) 2007, termasuk survei komprehensif penggunaan pengobatan komplementer oleh warga AS, 8 persen orang dewasa (lebih dari 18 juta) dan 3 persen anak-anak (lebih dari 2 juta) mendapat terapi chiropractic atau osteopathic dalam kurun setahun. Hal itu dikombinasi dengan terapi fisik dan perbaikan postur tubuh. Analisis data biaya kesehatan dari NHIS menunjukkan, warga AS mengeluarkan 11,9 miliar dollar AS untuk berobat pada pelaku pengobatan komplementer, 3,9 miliar dollar AS di antaranya dibayarkan ke chiropractor.
Di AS, pendidikan chiropractic diakreditasi oleh Konsil Pendidikan Chiropractic (CCE) untuk program dokter chiropractic (DC). Pendidikan ini mencakup 90 satuan kredit semester untuk pendidikan sarjana, terutama untuk ilmu pengetahuan. Pelatihan chiropractic berlangsung 4 tahun, meliputi teori di kelas dan praktik pada pasien. Selanjutnya, untuk pendidikan chiropractic spesialis perlu 2-3 tahun.
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
Sumber: Kompas Siang | 7 Januari 2016