Sebuah artikel berjudul ”Inikah Senjakala Kami…” ditulis oleh wartawan harian Kompas, Bre Redana, memantik diskusi yang cukup hangat di media sosial. Tulisan yang dimuat hari Minggu (27/12) itu menyebut soal senjakala atau masa menjelang akhir dari surat kabar cetak dengan beberapa parameter yang disebut, seperti perkembangan teknologi digital, transisi pendidikan jurnalistik, hingga era baru industri media.
Tidak ketinggalan, tulisan tersebut juga memasukkan dikotomi antara media konvensional yang diwakili oleh cetak dan media digital yang bisa diakses secara daring (online). Muncul beragam reaksi dari pengguna media sosial maupun praktisi media massa sejak tulisan tersebut naik cetak dan versi digitalnya disebarkan melalui tautan Inikah Senjakala Kami…
Umumnya reaksi yang muncul adalah mempermasalahkan generalisasi yang dibuat dalam tulisan tersebut, yakni media konvensional yang bekerja dengan peralatan konvensional, seperti pena, buku catatan, serta hadir, mewawancarai secara langsung, dengan media baru yang memanfaatkan gawai untuk mencatat, merekam, dan melakukan beberapa hal secara bersamaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari beberapa respons tersebut, pesan yang ditangkap dari tulisan Bre Redana adalah asumsi bahwa media konvensional memiliki kualitas dan etos kerja dari para wartawan yang lebih baik dari media digital, seraya menuding bahwa tulisan tersebut mengabaikan fakta bahwa tren industri media mulai bergeser ke arah digital.
Beberapa penyimpulan yang didapat dari tulisan tersebut dianggap tidak mewakili kenyataan di lapangan karena ada beberapa produk jurnalistik digital yang mencapai standar kualitas di atas rata-rata. Simplifikasi inilah yang memicu polemik luas. Beberapa di antaranya membuat tulisan di media masing-masing untuk menanggapi tulisan Bre Redana.
Yang menarik adalah tulisan ini lantas memancing beberapa tulisan balasan dari para praktisi media massa, sebagian besar memang berupaya untuk membantah poin-poin yang mereka anggap tidak sesuai. Tudingan bahwa media digital yang menjual kecepatan dan mengorbankan akurasi adalah salah satu pergulatan untuk mencari bentuk guna mencari titik keseimbangan baru demi menghadirkan produk jurnalistik yang memiliki kredibilitas.
Begitu pula dengan masalah mengenai kualitas tulisan yang dihasilkan oleh media digital yang tetap mempertahankan kedalaman dan dikemas secara apik dengan pendekatan multimedia. Pesan yang ingin disampaikan bahwa jurnalisme bukanlah soal medium yang dipergunakan, melainkan keterampilan untuk mengumpulkan serpihan fakta dan mengolahnya menjadi reportase yang memberi informasi bagi para pembacanya.
Wisnu Prasetya Utomo menanggapi tulisan Bre Redana dengan menulis ”Jangan Bersedih, Pak Bre Redana…”.
”Sekadar menyebut beberapa contoh, di tengah gejala global penurunan pembaca cetak, mutu jurnalisme Guardian, New York Times, Washington Post toh tetap terjaga. Kita akan dengan mudah menemukan liputan-liputan bernas di edisi daring media-media ini. Tidak hanya reportase investigasi yang mendalam, tetapi juga tulisan-tulisan yang dikemas dengan multimedia dan interaktif,” papar Wisnu dalam tulisannya.
Wisnu menyajikan contoh bahwa media cetak tetap bisa eksis. ”Meski edisi cetaknya menurun, mereka tidak kehilangan pembaca dan mampu mengantar para pembaca untuk beralih medium. Salah satu buktinya, tengok saja jumlah angka pelanggan New York Times yang justru meningkat,” papar Wisnu.
Gugatan terhadap tulisan Bre Redana juga dibuat oleh Irwan Bajang dengan tulisan berjudul ”Badai Senjakala Media Cetak Memang Sudah Dekat, Kapten Bre Redana”.
Senada dengan Irwan Bajang, Bayu Galih membuat tulisan gugatan dengan judul ”Kami Tak Pernah Cengeng dan Bilang, ’Ini Senjakala Kami…’”.
Dari beberapa tulisan yang juga disebar melalui media sosial, pembaca yang lain setidaknya bisa menikmati pertukaran ide antara mereka dan pembuat tulisan awal. Begitu pula di media sosial yang menghadirkan diskusi mengenai masa depan jurnalisme cetak, termasuk tantangan yang dihadapi seperti penurunan iklan dan transisi medium ke digital.
Apa pun pendapat yang muncul dari tulisan ini, satu manfaat yang bisa ditarik adalah munculnya tukar pikiran yang dinamis mengenai relasi media, kalau boleh disebut, konvensional dan digital. Melalui perdebatan setidaknya bisa muncul pemahaman baru yang memberi maslahat bagi semua.
DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO
Sumber: Kompas Siang | 30 Desember 2015