Moratorium Sudah Ada sejak Era Orde Baru
Pulau Jawa dinilai tidak layak lagi bagi penambangan semen. Itu karena daya dukung pulau ini tidak memadai lagi, terutama tambang semen yang berpotensi merusak cadangan air dalam sistem karst. Wacana moratorium penambangan semen di Pulau Jawa sudah ada sejak 1997.
“Pulau Jawa jelas tidak layak lagi untuk tambang semen baru. Risiko lingkungan dan sosialnya terlalu tinggi. Pulau Jawa seharusnya menjaga karst yang tersisa untuk mengamankan pasokan air di masa datang,” kata Eko Teguh Paripurno, ahli geologi dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Yogyakarta, saat dihubungi Kompas, Minggu (20/12).
Selain persoalan lingkungan, menurut Eko, pembangunan pabrik semen di Pulau Jawa juga akan memicu terjadinya konflik sosial. Hal itu karena kepadatan penduduk di pulau ini sangat tinggi, sebagaimana terjadi di Rembang dan Pati, Jawa Tengah. “Pembangunan seharusnya memasukkan risiko bencana di masa datang,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Data kejadian bencana yang disampaikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) baru-baru ini menunjukkan, frekuensi bencana tertinggi di Indonesia terjadi di Pulau Jawa, yaitu 95 persen merupakan bencana hidrometerologi (karena cuaca dan iklim). Secara berurutan, wilayah yang paling berisiko adalah Jawa Tengah dengan 363 kejadian bencana, Jawa Timur dengan 291 kejadian, dan Jawa Barat dengan 209 kejadian.
Mengacu pada data risiko bencana BNPB itu pula, ahli kehutanan dan lingkungan yang juga Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Hariadi Kartodihardjo, dalam lokakarya tentang karst, pekan lalu, mengatakan, Pulau Jawa tidak layak lagi untuk penambangan semen. “Kawasan paling rawan bencana ini seharusnya tidak lagi dianggap memiliki daya saing untuk investasi industri baru,” ujarnya.
Sekalipun wilayah itu dianggap berisiko tinggi, banyak investor semen hendak membuka lahan tambang baru di Jawa. Mengutip pendataan Rodhial Falah, Fredy Chandra, dan Petrasa Wacana dari Karra Indonesia (2015), saat ini ada lima perusahaan yang sedang mengurus perizinan baru untuk membuka tambang semen di Pulau Jawa, terutama Jawa Tengah. Perusahaan tersebut masing-masing PT Semen Indonesia di Rembang, PT Indocement di Pati, PT Semen Grobogan di Grobogan, PT Semen Gombong di Gombong, dan PT Ultratech di Gunung Sewu.
Wacana lama
Wacana moratorium izin tambang semen di Pulau Jawa sebenarnya sudah digulirkan sejak lama. Dari penelusuran, wacana itu pernah disampaikan Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Sumahadi (Kompas, 9 Agustus 1997).
Alasan Sumahadi waktu itu adalah penjelasan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan yang menetapkan bahwa untuk kemantapan persediaan air dalam jangka panjang diperlukan tutupan hutan minimal seluas 30 persen dari luas daratan. Dalam kenyataannya, luas hutan di Jawa saat itu hanya mencapai 2.938.813 hektar atau lebih kurang 22 persen luas daratan.
Pengamat lingkungan yang juga mantan Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim, dalam kunjungan ke Kompas, Jumat (18/12), mengemukakan hal yang sama. Menteri yang pernah menjabat pada era Orde Baru itu mengatakan, ia pernah mengusulkan moratorium penambangan semen di Jawa dengan alasan menjaga ketersediaan air.
Emil juga pernah menyetop rencana pembangunan pabrik semen di Gombong, Jawa Tengah. “Namun, Jawa Tengah kini kembali dibuka lagi untuk semen, termasuk Gombong. Persoalan lingkungan ini terutama terjadi di daerah, di mana kepala daerahnya hanya memikirkan untuk mendapat keuntungan jangka pendek, tetapi abai dengan risiko di masa mendatang,” tuturnya.
Dulu, kata Emil, penolakan rencana pembukaan karst di Gombong didengarkan Presiden. Saat ini, suara penolakan cenderung didengar ketika ada gejolak di lapangan. “Kalau tidak begitu, tidak didengar,” ucapnya.(AIK)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Desember 2015, di halaman 13 dengan judul “Jawa Tak Layak Lagi bagi Semen”.