Tahun ini, 53 persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. Jumlah itu akan terus naik seiring tingginya urbanisasi dan perubahan desa menjadi kota. Meski demikian, pembangunan kependudukan dan Keluarga Berencana di kota justru tertinggal dibandingkan di desa. Padahal, makin besarnya tekanan penduduk di kota akan memicu banyak masalah yang menekan kesejahteraan warga.
Survei Kinerja Pemantauan dan Akuntabilitas 2020 pada 2015 menunjukkan, 61,6 persen penduduk desa menjadi akseptor Keluarga Berencana (KB), sedangkan warga kota hanya 57,5 persen. Pada rentang 2012-2015, jumlah akseptor di desa naik hampir enam kali lipat dibandingkan di kota. Jumlah rata-rata anak perempuan di desa pada 1997-2015 turun 0,6 anak, sedangkan di kota hanya 0,2 anak.
Orientasi pembangunan KB sejak akhir 1960-an hingga kini belum banyak berubah, masih fokus ke masyarakat desa. Padahal, struktur dan komposisi penduduk sudah berubah. Kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat juga jauh berbeda dibandingkan saat program KB dirintis dan berjaya di era Orde Baru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kini, jumlah warga yang ingin ber-KB tetapi tak terlayani justru paling banyak di kota. Jarak relatif dekat dan banyak pilihan fasilitas kesehatan yang melayani KB ternyata tak memberi pengaruh besar.
Peningkatan kehamilan remaja umur 15-19 tahun yang terbesar juga terjadi di kota walau prevalensinya masih tetap banyak di desa. Umur median seks pertama dan kehamilan pertama di kota justru turun, sedangkan di desa malah naik. Kasus kehamilan tak diinginkan juga lebih sering terjadi di kota meski kini juga makin menyebar ke pelosok desa.
Masyarakat kota umumnya lebih kritis, lebih sadar akan hak, memiliki akses informasi lebih banyak dan beragam, serta punya banyak pilihan untuk mengakses layanan kesehatan reproduksi. Keterikatan mereka dengan lingkungan sekitar dan pemerintah juga lebih rendah dibandingkan masyarakat desa. Mereka lebih independen, termasuk dalam menentukan jumlah anak ataupun pilihan kontrasepsi.
Jurang kesejahteraan warga kota juga amat lebar. Mereka bisa tinggal di gerobak atau kolong jembatan, perkampungan padat, apartemen, atau perumahan mewah. Rentang pendidikannya pun amat lebar, mulai dari tidak lulus sekolah dasar hingga lulusan program doktoral. Mereka bisa antre zakat atau hewan kurban hingga antre mendapatkan telepon seluler terbaru atau tiket konser musik berharga jutaan rupiah.
Di sisi lain, tekanan ekonomi, sosial, dan lingkungan membuat ikatan kekeluargaan dan kemasyarakatan di kota kian lemah. Masyarakat makin tak peduli sekitarnya. Akibatnya, perhatian pada persoalan remaja rendah sehingga memicu berbagai masalah sosial dan kesehatan remaja.
Tantangan berbeda
Kondisi yang teramat beragam itu membuat pembangunan kependudukan dan KB di kota jauh lebih kompleks. Semua kelompok masyarakat harus dijangkau. Namun, setiap kelompok memiliki karakter berbeda-beda.
Pola promosi KB bagi warga perkotaan tak bisa dilakukan dengan cara konvensional seperti yang biasa dilakukan untuk masyarakat desa. Informasi KB tak bisa disampaikan dengan mengumpulkan massa dan memberikan materi searah. Teknologi informasi dan media sosial bisa dipakai untuk terus menggemakan program kependudukan dan KB. Namun, layanan bersifat privat tetap dibutuhkan karena isu kesehatan reproduksi masih dianggap tabu dibicarakan, termasuk bagi warga dewasa yang sudah menikah.
Selain itu, tingginya kesadaran terhadap kebutuhan diri masyarakat perkotaan membuat perlakuan kepada mereka tak bisa disamaratakan. Pemaksaan untuk menggunakan metode kontrasepsi tertentu sesuai keinginan pemerintah tak bisa dilakukan. Seharusnya pemerintah bertanggung jawab menjamin ketersediaan semua kebutuhan alat kontrasepsi yang menjadi pilihan masyarakat.
Layanan KB pun perlu memperhatikan pola aktivitas dan mobilitas warga kota. Pemerintah perlu proaktif mendekati warga untuk melayani kebutuhan KB mereka. Karena itu, klinik-klinik KB perlu dibangun di dekat pusat aktivitas warga, seperti pabrik, perkantoran, perkampungan padat, dan pusat perbelanjaan.
Waktu operasional klinik pun tak bisa mengikuti pola standar puskesmas saat ini yang umumnya buka pagi hingga siang. Jam buka klinik juga tak bisa diperlakukan sama untuk semua klinik karena jam kerja masyarakat kota sangat bervariasi.
Untuk mendorong masyarakat kota mau ber-KB, keberadaan petugas lapangan atau penyuluh KB sangat penting. Jumlah mereka tak hanya perlu memadai, tetapi mereka juga perlu memiliki kompetensi lebih untuk menjangkau masyarakat kota yang umumnya penduduk muda, produktif, melek teknologi, dan memiliki aktivitas kerja tinggi. Namun, jumlah penyuluh KB saat ini sangat kurang dan umumnya sudah mendekati umur pensiun.
Penyuluh KB juga perlu menjangkau berbagai kelompok keagamaan dan etnis lebih intens mengingat pemahaman pentingnya pengaturan kelahiran dan jumlah anak pada sejumlah kelompok justru memudar. Persoalan yang mengemuka sejak awal tahun 2000-an itu belum ada solusi. Upaya Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional mendekati kelompok kunci masih kurang, tetap terfokus pada mitra-mitra lama.
Melemahnya keberadaan penyuluh KB juga tak terlepas dari lemahnya dukungan pemerintah daerah yang sejak era otonomi daerah wajib mengelola program KB. Namun, sampai kini belum muncul terobosan untuk mengatasi masalah itu. Perkembangan pembentukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota secara menyeluruh sesuai amanat Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga pun amat lambat.
Anak muda dan keluarga
Pembangunan kependudukan dan KB tak bisa melupakan anak muda. Tahun 2015, Indonesia memiliki 65 juta remaja dan penduduk dewasa muda berusia 15-29 tahun. Jumlah yang setara dengan warga Thailand itu jadi modal besar bagi Indonesia untuk mencapai bonus demografi yang puncaknya terjadi pada 2028-2031.
Persoalannya, investasi bagi anak muda masih sangat terbatas, terfokus pada pendidikan dan kesehatan mereka secara umum. Kebutuhan remaja untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman, nyaman, dan tidak mendiskriminasi mereka kerap terabaikan.
Pengetahuan anak muda tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas pun sangat rendah. Akibatnya, berbagai kasus kekerasan seksual, kehamilan tak diinginkan, dan menyebarnya berbagai penyakit menular seksual pun bermunculan. Upaya mendorong pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas secara komprehensif di sekolah-sekolah sampai kini belum terwujud.
Tak hanya isu seksualitas, remaja juga rentan terhadap hadirnya gerakan-gerakan radikal. Jiwa-jiwa mereka yang labil adalah sasaran empuk kelompok kriminal dan teror yang membahayakan ketahanan masyarakat dan negara.
Berbagai persoalan itu bisa dicegah jika keluarga kuat. Namun, meski kunci pembangunan dan perlindungan remaja ada pada keluarga, perhatian pemerintah terhadap pembangunan keluarga sangat kurang. Padahal, Indonesia memiliki 65 juta keluarga. Dibandingkan persoalan kependudukan lain, pembangunan keluarga adalah sektor yang paling tertinggal.
Selain itu, urusan keluarga masih dianggap persoalan privat. Padahal, keluarga adalah pilar penyangga eksistensi bangsa. Keluarga juga merupakan pusat berbagai aktivitas penting manusia sekaligus pendidik pertama dan utama bagi manusia.
Rendahnya perhatian negara terhadap isu keluarga membuat banyak fungsi keluarga tak berjalan. Penurunan nilai-nilai universal keluarga pun jadi terganggu.
Selain muncul berbagai persoalan terkait kenakalan dan kriminalitas remaja, tak berjalannya fungsi keluarga turut memicu meningkatnya kasus perceraian di Indonesia. Selama periode 2010-2014, kasus perceraian meningkat 52 persen atau naik hampir 11 persen setiap tahun. Perceraian itu justru banyak terjadi pada keluarga muda dengan usia perkawinan baru beberapa tahun.
Pernikahan di usia muda, ketidaksiapan membangun biduk rumah tangga, dan kurangnya komunikasi antara suami dan istri jadi pemicu runtuhnya bangunan keluarga. Rendahnya kemampuan menenggang sikap pasangan dan komitmen menjaga keutuhan keluarga merupakan buah dari lemahnya pola asuh di keluarga asal. Kondisi itu membuat pelemahan fungsi keluarga berpeluang terulang pada generasi berikutnya sehingga mata rantainya sulit diputus.
Terpinggirkannya isu pembangunan keluarga di Indonesia justru berkebalikan dengan yang terjadi di sejumlah negara maju. Di negara-negara itu, jam kerja mulai dibatasi untuk memberi waktu lebih bagi keluarga, memberi cuti melahirkan yang panjang bagi ibu dan ayah, serta membatasi jam operasional pusat perbelanjaan dan jam tayang televisi. Negara-negara itu juga mendorong pembangunan fasilitas rekreasi keluarga yang menyehatkan dan aman untuk dijangkau semua kalangan.
Kini, pemerintah mengampanyekan Gerakan Nasional Revolusi Mental untuk memperbaiki karakter bangsa guna mewujudkan bangsa Indonesia yang berdaya saing dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Namun, revolusi itu tidak akan terwujud jika fungsi-fungsi keluarga tak diperkuat. Keluarga yang kuat dan tangguh itu juga tidak akan terbentuk tanpa pembangunan keluarga yang terencana.(M ZAID WAHYUDI)
———–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Desember 2015, di halaman 6 dengan judul “Membangun KB di Perkotaan”.