Penanganan bencana di Indonesia dinilai mengabaikan kebutuhan perempuan terhadap layanan kesehatan reproduksi. Hal itu menimbulkan masalah pada kehamilan, penularan penyakit, dan kekerasan seksual terhadap perempuan korban bencana.
“Dalam situasi bencana, kebutuhan perempuan akan layanan kesehatan reproduksi kerap terlupakan. Padahal, dalam situasi apa pun, kebutuhan itu seharusnya dipenuhi,” kata Wakil Kepala Perwakilan Dana Kependudukan PBB (UNFPA) di Indonesia Martha Santoso Ismail di sela-sela peluncuran Laporan Situasi Kependudukan Dunia 2015, Senin (7/12), di Yogyakarta.
Menurut Martha, saat bencana, perempuan dan anak-anak paling rentan terdampak. Namun, dalam penanganan bencana, khususnya pada fase awal, kebutuhan perempuan terkait kesehatan reproduksi kerap diabaikan. Hal itu karena layanan kesehatan reproduksi dianggap bukan prioritas saat bencana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Padahal, saat layanan kesehatan reproduksi diabaikan, perempuan rentan terkena dampak negatif. Perempuan hamil, misalnya, tidak menerima layanan kesehatan optimal. Data UNFPA menyebutkan, saat gempa bumi melanda Padang, Sumatera Barat, pada 2009, ada ibu hamil dibawa dengan mobil bak terbuka, persalinan dilakukan di luar ruang dengan alat seadanya.
Sesudah letusan Gunung Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2010, ada ibu terpaksa melahirkan di dalam mobil saat proses evakuasi warga. “Saat bencana, ibu hamil butuh layanan kesehatan reproduksi,” kata Martha.
Selain itu, pengabaian layanan kesehatan reproduksi memicu kekerasan berbasis jender. Pada kondisi tidak stabil saat bencana, perempuan kerap mengalami kekerasan karena status mereka dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Setelah gempa Padang pada 2009, menurut UNFPA Indonesia, terjadi tiga kasus pemerkosaan di pengungsian.
Sementara Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menyebutkan, setelah tsunami di Aceh pada 2004, terdapat empat kasus kekerasan seksual terhadap korban tsunami di pengungsian. Dampak buruk lain ialah penularan penyakit, termasuk infeksi menular seksual dan human immunodeficiency virus (HIV).
National Programme Officer on Humanitarian UNFPA di Indonesia Rosilawati Anggraini mengatakan, Kementerian Kesehatan dan UNFPA bekerja sama mengembangkan model penyediaan layanan kesehatan reproduksi pada situasi bencana. Layanan itu disebut Paket Pelayanan Awal Minimum Kesehatan Reproduksi. Program itu diadopsi dalam kebijakan pemerintah lewat Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2013.
Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X menyatakan, kebutuhan perempuan dan anak harus diperhatikan dalam penanganan bencana. Pihaknya akan menerbitkan surat keputusan gubernur tentang layanan bagi perempuan dan anak pada situasi bencana. (HRS)
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Desember 2015, di halaman 14 dengan judul “Layanan Kesehatan Reproduksi Masih Terabaikan”.