Hasrat tertentu, berupa hobi atau keahlian, yang berbeda dengan disiplin ilmu atau bidang pekerjaan yang digeluti, pada masa lalu cenderung hanya dimaknai sebagai kegiatan sampingan atau sambilan tidak menghasilkan. Akan tetapi, di masa konvergensi media pada saat ini, orang-orang dengan beragam hasrat tadi bisa menjadi ahli pada bidang-bidang yang sebelumnya dianggap sampingan atau sambilan.
Mereka bisa saja memublikasikan beragam konten tentang hal tersebut di berbagai pelantar media sosial, beroleh perhatian dan kerumunan komunitas yang tertarik, dan lantas menikmati keuntungan finansial dari monetisasi terhadap konten-konten tersebut. Semua orang pada saat ini bisa menjadi penerbit dari segala macam konten yang dimiliki dan bisa dihasilkannya.
Konten dengan basis teks, foto, audio, video, dan permainan bisa dihasilkan secara relatif mudah. Lalu, konten-konten tersebut pun bisa dengan relatif mudahnya pula dipublikasikan, didistribusikan, dan disebarkan melalui beragam aplikasi media sosial dengan tulang punggung internet.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saat penggunaan media sosial cenderung makin masif, terdapat pula kebutuhan untuk mengisi konten pada berbagai pelantar media sosial tadi. Konten yang bisa menarik pengguna lain untuk mampir dan menggunakan beragam hal tadi sesuai dengan ketertarikan, aktivitas, dan kebutuhan yang dimiliki tiap-tiap orang dalam persilangan atau konvergensi berbagai media.
Perubahan mendasar
Ini memungkinkan terjadinya sejumlah perubahan mendasar dalam industri media yang sudah mapan ataupun regulasi yang menjadi landasan guna mengaturnya. Konvergensi ini meliputi pula yang terjadi pada media, pelaku komunikasi, perangkat, dan konvergensi terkait perlintasan komunikasi interpersonal dan komunikasi massa. Berdasarkan paparan konsep di atas, yang merujuk pengertiannya pada bentuk user generated media (UGM), kita bisa melihat sejumlah contoh.
TOTO SIHONO–Salah satu blog yang ditulis dan dikelola ahli geologi Rovicky Dwi Putrohari dengan nama “Dongeng Geologi”.
Misalnya saja seperti dipaparkan dalam buku berjudul The Social Media Bible: Tactics, Tools & Strategies for Business Success edisi kedua yang ditulis Lon Safko pada 2010. Sejumlah contoh ini terkait dengan konsep pemaknaan bahwa content is the king. Ini seperti terjadi pada Arnold Kim yang saat menjalani studi medisnya juga mengelola situs MacRumors.com dan menjadikan laman itu sebagai laman paling populer dengan 4,4 juta pengunjung per bulan.
Spekulasi, gosip, rumor, tips pengguna, dan informasi lain mengenai Apple Computer, misalnya, dan produk-produk lain menjadi kekuatannya. Semula dimulai sebagai hobi pada 2000, sebelum istilah blog mendunia.
Harga situs itu ditaksir berada pada kisaran harga sekitar 25 juta dollar AS atau bahkan lebih. Sejumlah pengiklan, kecuali tentu saja Apple, berhasrat untuk memasang produk mereka di dalam laman tersebut.
Ini juga yang terjadi dengan DailyCandy.com, sebuah layanan newsletter gratis melalui e-mail secara harian dengan edisi nasional dan 12 edisi kota-kota khusus yang berisikan layanan kepada pelanggan dengan konten seperti restoran-restoran baru, karya-karya desainer, dan tempat-tempat yang memesona di kota Anda. Situs ini akhirnya dibeli Comcast seharga 125 juta dollar AS.
Mommy Blogs dengan alamat dooce.com berupa blog tentang ibu rumah tangga dan memiliki basis pembaca sebanyak 850.000 orang. Ini berisikan tentang wawasan, saran-saran, dan berbagai perspektif yang cenderung bernuansa humor tentang ibu-ibu di era kehidupan modern.
Sejumlah perusahaan seperti Walgreens, JCPenney, Crate & Barrel, dan W Hotels telah membayar untuk menarik audiens dari Dooce. Atau misalnya DivorcingDaze.com berupa situs yang isinya ihwal menjalani kehidupan setelah perceraian dengan sisi penceritaan dari sejumlah mantan istri.
Di Indonesia terdapat pula contoh serupa. Misalnya saja blog yang ditulis dan dikelola Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Rovicky Dwi Putrohari dengan nama “Dongeng Geologi”. Blog tersebut ditulis dalam bahasa ringan dan Rovicky membahasakan dirinya sebagai “Pakdhe” guna mengakrabkan diri dengan audiensya.
Tema yang paling digemari pembaca soal bagaimana mencari air. Berdasarkan catatan Kompas, tema tersebut dikunjungi rata-rata 50 orang per hari dan total sudah dilihat lebih dari 100.000 kali. Pengunjung blognya melonjak saat bencana. Misalnya, tulisannya soal Kelud telah dikunjungi 90.000 pembaca. (Arif, 2014)
Model pembuatan konten berikut pengelolaan serta pendistribusiannya secara mandiri ini mengubah pula lanskap bisnis secara keseluruhan. Ini termasuk pada bagaimana dunia bisnis mesti meresponnya.
Dalam contoh kasus MacRumors.com yang membahas segala ihwal tentang produk-produk Apple di atas, nyaris tidak ada yang bisa dilakukan Apple untuk menghentikannya. Bagaimana cara mengatasinya bisa dilakukan seperti yang dikatakan Safko (2010) sebagai social media judo. Ini tentang bagaimana memanfaatkan sisi lain atau memperlakukan apa yang dipergunakan para penyerang sebagai kekuatan untuk melakukan balasan, yang tentunya bisa pula dimonetisasi.
Misalnya saja seperti dicontohkan dengan kemungkinan menulis versi cerita dari para suami yang terkait dengan konten di dalam DivorcingDaze.com
Dalam kaitannya dengan UGM yang pengertiannya berkelindanan dengan produksi konten dari kaum nonprofesional, Safko (2010) menyarankan agar cara berpikir seperti seorang penerbit perlu dimiliki pada era konvergensi saat ini.
Di dalamnya termasuk pada upaya mencari dan memiliki konten yang bernilai bagi audiens. Upaya mengenali audiens, membedakan konten, dan menjalankan konsep coopetition (cooperation dan competition), mengetahui pesaing, dan membangun komunitas adalah beberapa upaya yang penting dilakukan.
Jangan ragu mencoba
Dalam upaya-upaya tersebut itulah, sejumlah konsep yang juga dipaparkan Jenkins (2006), seperti kultur partisipatif dan intelegensia kolektif, dapat menemukan habitatnya yang paling sesuai. Inteligensia kolektif merujuk pada beragam pengetahuan dan keahlian dari banyak orang yang dikumpulkan dalam satu wadah tertentu untuk bisa dipergunakan secara bersama-sama.
Ditekankan pula agar jangan ragu untuk melakukan percobaan karena sampai hari ini belum ada formula yang efektif terkait dengan pengelolaan konten di media sosial. Karena konsep dan pelaksanaan konvergensi yang masih terus mencari bentuk, maka tidaklah mengherankan jika relatif masih banyak terjadi benturan di sana-sini.
Termasuk sejumlah kasus pemidanaan sejumlah orang karena dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Hingga tahun 2015, sudah ada 118 orang yang menjadi korban UU ITE. Sebagian karena mencurahkan isi hatinya di media sosial, sebagian lagi karena sekadar mengunggah status di aplikasi obrolan.
Akan tetapi, tentu saja ini tidak boleh menciutkan keberanian dan karya para pembuat konten. Karena kebutuhan konten, yang juga menjadi industri, bakal turut mendefinisikan laju industri media interaktif di masa selanjutnya bersama-sama industri komputasi (komputer, perangkat lunak, dan server) dan industri komunikasi (penyedia layanan satelit, jaringan nirkabel, dan sebagainya).
Jadi, selamat datang penghasil dan penyedia konten di mana saja Anda berada!
INGKI RINALDI
Sumber: Kompas Siang | 19 November 2015