Bangsa Nusantara Capai Sains sejak Berabad Silam
Sejak berabad silam, bangsa Nusantara mencapai pengetahuan ilmiah sebagai perwujudan paling intim dari percakapan antara nalar manusia dan semesta raya. Namun, sejarah gemilang itu justru ?kini tergerus iklim akademik semu yang memuja formalisme gelar.
Gagasan itu disampaikan pemikir kebudayaan Nirwan A Arsuka? dalam Pidato Kebudayaan 2015 bertajuk “Percakapan dengan Semesta” yang digelar Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Selasa (10/11) malam.
Nirwan, yang kelahiran Sulawesi Selatan itu, membuka pidatonya dengan kisah Karaeng Pattingaloang, Perdana Menteri Kerajaan Makassar, yang memesan dan memanjar bola dunia pada abad ke-17. ?Bola dunia bergaris tengah 68 sentimeter yang dibuat keluarga Blaeu (pembuat peta dan bola dunia hebat) itu pernah dipesan Ratu Christina dari Swedia. Bola dunia yang lantas dikuasai Tsar Peter Agung itu kini tersimpan di Museum Sejarah Negara di Moskwa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Catatan sejarah itu menunjukkan, penduduk Nusantara bergairah besar pada pengetahuan ilmiah sejak dulu. Mereka sudah terbuka pada pengetahuan baru, pada ciptaan akal budi yang memukau. Akar-akarnya bisa ditelusuri sampai puluhan ribu tahun silam.
Pada tahun 2014, jurnal Nature dan Antiquity memuat dua hasil penelitian, yaitu “Pleistocene cave art from Sulawesi, Indonesia” dan “The global implication of the early surviving rock art of greater Southeast Asia”. Penelitian itu menyimpulkan, manusia pra-aksara penghuni Asia Tenggara adalah makhluk kreatif dengan kemampuan artistik. Mereka menciptakan karya seni yang mendahului sekitar 5.000 tahun rock art di Eropa. Ditandaskan, 12 lukisan “babi rusa” di LeangLeang, Maros, telah ada paling tidak sekitar 40.000 tahun lampau.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG–Nirwan A Arsuka menyampaikan pidato kebudayaan berjudul “Percakapan dengan Semesta” yang digelar Dewan Kesenian Jakarta di Teater Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (10/11) malam.
Karya seni itu menunjukkan tingkat kecerdasan otak umat manusia di berbagai penjuru, lebih kurang hampir sama. Nalar umat manusia telah menyala sejak leluhur kita merantau keluar dari Afrika.
Pseudo-nalar menguasai
Pada masa kini, ilmu pengetahuan masyarakat Indonesia justru kurang berkembang, terutama ketika gerombolan pseudo-nalar masih kuat menguasai berbagai ranah kehidupan. “Sumber masalah itu antara lain bercokol di perguruan-perguruan tinggi, yang perlahan-lahan mengubah lembaga ilmiah itu menjadi tempat pemujaan gelar akademik. Kita masih menikmati tontonan sejumlah kaum yang mengaku terdidik menyematkan gelar akademiknya seperti bangsawan feodal mengenakan hiasan dan busana kebesaran. Mereka meminta orang lain untuk selalu menyebutkan gelar-gelar itu dengan takzim,” kata Nirwan.
Ketua DKJ Irawan Karseno mengatakan, pidato kebudayaan adalah ruang untuk menyajikan dan mendiskusikan persoalan- persoalan kebudayaan. Dihelat sejak 1989, tradisi ini telah menampilkan para pemikir dan intelektual dari berbagai bidang, seperti dari Umar Kayam, Emil Salim, BJ Habibie, Fuad Hassan, Ali Sadikin, Sultan HB X, Ahmad Syafii Maarif, dan Rocky Gerung.
“Kami ingin menggugah kita semua untuk mencari jalan keluar dari berbagai masalah kebudayaan,” ujar Irawan. (IVV)
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 November 2015, di halaman 12 dengan judul “Kampus Terlalu Memuja Gelar Akademik”.