Upaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan di sejumlah daerah sulit dan berisiko mengancam keselamatan petugas di lapangan. Untuk meminimalkan kecelakaan dalam penanggulangan bencana itu, dikerahkan pesawat tanpa awak atau PUNA jenis Wulung yang dikembangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Menurut Direktur Pusat Teknologi Industri Pertahanan dan Keamanan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Samudro, Senin (9/11) di Bandung, Jawa Barat, untuk memantau titik api di lahan yang tertutup kabut asap, Wulung dilengkapi dengan sistem forward looking infrared (FLIR). Penggunaan PUNA juga untuk menekan pencemaran kabut asap.
Pengoperasiannya terutama di sekitar bandara untuk membantu meningkatkan jarak pandang saat pendaratan pesawat. Untuk itu, muatan kamera pada wahana itu diganti dengan bahan aerosol yang disebarkan ke udara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Wulung bisa membawa aerosol hingga 25 kilogram. Dari penyebaran gas itu, partikel karbon di udara akan terikat dan mengendap ke permukaan tanah.
Ada sejumlah keunggulan wahana tanpa awak (unmanned aerial vehicle/UAV) ini dalam penanganan kebakaran lahan dan pencemaran asap. Selain relatif murah dan mudah, penggunaan pesawat itu meminimalkan risiko bagi petugas di lapangan.
Produksi PTDI
Menurut rencana, Wulung diproduksi PT Dirgantara Indonesia serta telah dipesan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan sebanyak tiga unit. Unit itu akan dioperasikan TNI AU untuk patroli di daerah perbatasan di Kalimantan Barat. “Atas instruksi Menkp Polhukam, Wulung diuji coba di Sumatera Selatan untuk memantau titik panas,” kata Direktur Teknologi dan Pengembangan PTDI Andi Alisyahbana.
Wulung yang dikembangkan BPPT sejak 2003 adalah wahana terbang dilengkapi kendali jarak jauh oleh pilot atau dikendalikan sistem program komputer di pesawat. Keunggulan lain adalah pesawat itu mampu terbang selama 8 jam serta merekam gambar lalu dikirim ke stasiun pusat. “Karena punya ekor horizontal, pesawat ini lebih stabil saat manuver di udara,” ucap Samudro.
“Wulung dalam proses mendapat sertifikat kelaikan terbang dari IMAA (Indonesian Military Airworthiness Authority),” ujarnya. Sertifikat diterbitkan setelah uji terbang tiga prototipe Wulung di Bandara Nusawiru, Pangandaran. Dalam pengujian itu, wahana tersebut telah menempuh penerbangan dari Pangandaran ke Yogyakarta berjarak sekitar 150 kilometer di ketinggian 10.000 kaki atau 3 km.
Untuk tujuan nonmiliter, uji terbang perlu dilakukan demi mendapat izin dari Direktorat Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan. Sementara di lingkungan TNI AU, skuadron PUNA dibentuk di Makassar, Sulawesi Selatan, terdiri dari PUNA buatan PTDI dan 4 unit produk luar negeri.
Tahun depan, PUNA Alap-alap juga akan ditawarkan ke industri. Wahana yang punya ekor vertikal itu mampu menjangkau jarak hingga 80 km dan membawa muatan 5 kg. (YUN/MZW)
————-
Pesawat ini bermotif loreng hijau tosca dan abu-abu.
Wulung ini medium. Terbang bisa mencapai waktu 4 jam. Dan muatannya cukup hingga bisa dipakai untuk membuat hujan buatan maupun penyebaran benih.
Kalau Wulung ini misi terbangnya itu high-high-high. Ke depan kita akan eksplorasi lagi untuk kebutuhan lain.
Spesifikasi pesawat:
– wingspan 6.360 mm
– MTOW (maximum take off weight) 120 kg
– cruise speed 60 knot (111.12 km/jam)
– endurance 4 jam
– range 120 KM
– length 4.320 mm
– height 1.320 mm
———————
Pesawat ini bermotif loreng dengan warna hijau tua dan hijau muda tentara. Alap-alap adalah wahana udara nirawak jarak menengah dengan konfigurasi desain inverted V-tail dan double boom menggunakan landasan sebagai sarana take off.
“Alap-alap didesain long race. Untuk kebutuhan surveilance saja,” kata Dahsyat.
Spesifikasi pesawat:
– wingspan 3.510 mm
– MTOW (Maximum Take Off Weight) 18 kilogram
– cruise speed 55 knot (101,86 km/jam)
– endurance 5 jam
– range 140 kilometer
– altitude 7.000 feet
– payload = gymbal camera video.
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 November 2015, di halaman 14 dengan judul “Pesawat Tanpa Awak Dikerahkan”.