Catatan Iptek; Dilema Pembangunan

- Editor

Rabu, 28 Oktober 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kebakaran tak terkendali. Dari Sumatera hingga Papua. Sebagian mungkin karena keteledoran, tetapi yakinlah kebanyakan karena kesengajaan. Pastinya ada ratusan perusahaan dan individu tamak yang sengaja membakar hutan.

Sebenarnya tiap tahun juga seperti ini, hutan dibakar untuk ekspansi industri perkebunan. Biasanya hujanlah yang memadamkan kebakaran itu. Namun, tahun ini El Nino mencipta kemarau panjang, menantang kita memadamkannya sendiri. Ribuan tentara dan relawan dikerahkan, bahkan kita telah meminta bantuan pesawat pengebom air dari negeri tetangga.

Namun, api tak kunjung padam. Gambut yang disulut takkan mudah dipadamkan. Padahal, kabut asap telah menewaskan 12 orang serta mengancam kesehatan 43 juta warga negeri ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Jelas bahwa negara ini kedodoran memadamkan bara hasil kebijakan pembangunan dan pilihan investasi keliru sejak bertahun-tahun lalu. Ini kesalahan warisan, tetapi masihkah bersikukuh menganakemaskan investasi dan abai dengan daya dukung alam dan kemampuan kita mengendalikannya?

Industri perkebunan, terutama sawit, memang berkontribusi penting terhadap pertumbuhan ekonomi negeri ini. Produksi minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan turunannya pada 2014 mencapai 31,5 juta ton, mengukuhkan Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia. Produksi ini dihasilkan dari 10 juta hektar perkebunan sawit. Angka ini terus membesar mengingat tiap tahun laju pertumbuhan lahan sawit mencapai 6,96 persen, bertambah 520.000 hektar atau seluas Pulau Bali.

Menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), jumlah tenaga kerja, petani, dan pihak lain dalam mata rantai industri kelapa sawit lebih dari 5 juta orang. Sementara sumbangan devisa ekspor minyak sawit mentah dan turunannya pada periode yang sama sekitar 21 miliar dollar AS.

batubara1-Slide05-copyTidak semua industri sawit melakukan praktik buruk membakar lahan. Namun, jikapun tidak membakar, banyak di antaranya gagal mengendalikan kebakaran di area konsesinya.

Industri sawit memang penuh ironi. Data yang dirilis Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia baru-baru ini, lebih dari separuh dari total luasan perkebunan sawit di Indonesia dikuasai oleh ”hanya” 25 grup perusahaan. Mereka menguasai 5,1 juta hektar konsesi, hampir setengah Pulau Jawa. Jelas, porsi terbesar dari legitnya bisnis sawit dinikmati segelintir orang. Namun, dampak kehancuran ekologinya diderita jutaan orang.

Sejak perkebunan sawit meraksasa, terutama setelah kebakaran hutan besar-besaran satu dekade lalu, masyarakat adat banyak yang permanen kehilangan hutan. Secara sederhana, siklus penghilangan hutan mengikuti alur berikut: awalnya pembalakan hutan, kanalisasi untuk pengeringan lahan gambut, pembakaran lahan, dan akhirnya tanaman monokultur.

dc8df6ddf131497c974ac1e4a15ab22aPembakaran lahan menjadi bagian industri perkebunan. Padahal, mengacu data The International Disaster Database-Centre for Research on the Epidemiology of Disasters, kebakaran yang menghanguskan 25 juta hektar hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan tahun 1997 menempati peringkat pertama bencana paling merugikan ekonomi Indonesia dalam kurun 1900-2014.

Berdasarkan data di atas, kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan pada 1997 mencapai 8 miliar dollar AS, dua kali lipat dibandingkan dengan kerugian ekonomi karena gempa dan tsunami Aceh pada 2004 yang mencapai 4,45 miliar dollar AS.

Padahal, nilai kerugian baru dihitung dari dampak ekonomi langsung berupa hilangnya potensi kayu. Terhentinya kegiatan ekonomi, misalnya terhambatnya penerbangan, pelayanan publik, dan gangguan kesehatan, belum dihitung. Kerugian sesungguhnya bisa berlipat jika hilangnya keragaman hayati dan dampak emisi perubahan iklim turut dihitung. Hilangnya hutan berarti juga rusaknya tata hidup masyarakat adat.

d8b7838506274290faed6ddpb-39297Di tengah penurunan produksi migas, ekspor komoditas berbasis industri perkebunan telah menjadi andalan. Pertumbuhan pembangunan nasional dalam kurun 2008-2013 rata-rata memang 5,86 persen dan melemah menjadi 5,01 persen tahun 2014. Angka itu tergolong tinggi di saat ekonomi dunia lesu.

Namun, ketimpangan ekonomi melebar, ditandai dengan terus naiknya Indeks Gini Indonesia. Bahkan, indeks gini tahun 2013 mencapai 0,413 —tertinggi sejak 1964. Ciptaan ahli statistik Italia, Corrado Gini (1912), itu mengukur kesenjangan pendapatan dan kekayaan. Kian tinggi indeks gini, kian tinggi kesenjangan.

Indeks Lingkungan Hidup (ILH) Indonesia juga buruk. Berdasarkan data Yale University, ILH Indonesia 2014 di peringkat ke-112 dari 178 negara. Angka ini dipastikan anjlok menyusul kebakaran hutan hebat tahun ini. Sementara ketersediaan sumber air bersih Indonesia di peringkat ke-141 dari 178 negara.

Kombinasi dua faktor itu menunjuk ketidakadilan ganda. Mereka yang miskin mendapat bagian kue pembangunan paling sedikit, tetapi menanggung dampak lingkungan terbesar. Kebijakan pembangunan kita selama ini ternyata memperlebar jurang stratifikasi sosial dan memperburuk mutu lingkungan. Pilihan kebijakan ini rasanya tak layak dipertahankan.–AHMAD ARIF
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Oktober 2015, di halaman 14 dengan judul “Dilema Pembangunan”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 0 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB