Bagi negara dengan masyarakat kelas menengah yang tumbuh, Indonesia adalah pasar yang menggiurkan bagi industri telepon seluler. Tahun 2014 saja sudah ada 54 juta ponsel yang diimpor dengan nilai mencapai Rp 3 triliun.
Hampir setiap bulan setidaknya 2-3 tipe ponsel baru yang diluncurkan untuk konsumen Tanah Air dengan harga di bawah Rp 1 juta hingga Rp 10 juta. Kegandrungan masyarakat dengan gawai juga ditunjukkan dalam bentuk geliat aktivitas mereka di media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Path.
Dan penting untuk diketahui, di balik beragamnya merek ponsel terdapat produsen chipset yang menjadi otak yang mendefinisikan performa dan kemampuan yang bisa dilakukan perangkat tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Qualcomm adalah salah satunya, yang umumnya dikenal dengan tipe Snapdragon dan diikuti tiga angka seri di lembar spesifikasi. Berdasarkan riset GfK, merek tersebut ada di 80 persen ponsel premium atau memiliki harga 250 dollar hingga 400 dollar AS.
Qualcomm tidak sendiri di Indonesia. Merek prosesor lain, seperti Mediatek, juga kian marak ditemui di lembar spesifikasi ponsel-ponsel dengan harga Rp 1 juta hingga Rp 3 juta, segmentasi yang sedang menarik di Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Belum lagi beberapa produsen ponsel yang mulai mengembangkan prosesornya sendiri, seperti Huawei dengan Kirin atau Samsung dengan Exynos-nya.
Tantangan itu disadari oleh Shannedy Ong, Country Manager Qualcomm Indonesia, dalam perbincangan dengan harian Kompas beberapa waktu lalu. Dia mulai menjabat sejak Maret 2015 setelah sebelumnya berkarya di Ericsson selama 12 tahun. Alasan untuk memegang posisi tersebut adalah mencari tantangan baru dari industri yang masih tergolong satu ekosistem, dari sebelumnya infrastruktur perangkat bergerak lantas menggarap perangkat itu sendiri.
Artikel ini disajikan dalam format tanya jawab mengenai bagaimana Qualcomm melihat tantangan di Indonesia.
Pertanyaan (T): Bagaimana perwakilan Qualcomm di Indonesia melihat pasar Indonesia?
Jawaban (J): Indonesia mendapatkan prioritas sebagai pasar yang besar di Asia Tenggara. Tugas kami adalah bekerja sama dengan produsen ponsel, baik lokal maupun global, untuk membawa perangkat berteknologi tinggi dengan harga terjangkau ke dalam negeri. Kami berkoordinasi dengan perwakilan mereka di Indonesia untuk pengembangan bisnis dan pengujian perangkat karena kondisi setiap negara berbeda. Hal tersebut penting untuk menghindarkan produk mereka dari masalah sewaktu diluncurkan bagi pasar Indonesia.
T: Apa saja yang harus dipersiapkan oleh produsen sebelum meluncurkan ponsel mereka?
J: Yang paling utama, mereka harus memastikan bahwa perangkat tersebut bisa dipergunakan bagi jaringan seluler Indonesia. Terlebih dengan peluncuran layanan 4G oleh operator telekomunikasi, perangkat yang hadir di Indonesia setidaknya harus dipastikan bisa beroperasi di spektrum yang dipakai oleh para operator. Indosat, XL Axiata, dan Telkomsel, misalnya, menggunakan frekuensi 1.800 Mhz, sementara Smartfren memakai 2.300 Mhz. Kondisi tersebut bisa berbeda di negara lainnya, seperti Jepang yang menggunakan frekuensi 700 Mhz. Ada pula fitur yang diterapkan oleh operator yang harus diketahui produsen perangkat, misalnya teknologi carrier aggregation atau menggabungkan dua frekuensi sekaligus untuk mendongkrak kecepatan mengunduh atau mengunggah.
KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO–Shannedy Ong,Country Manager Qualcomm Indonesia.
T: Ada begitu banyak spesifikasi ponsel yang beredar di Indonesia. Bagaimana memfasilitasi seluruh kebutuhan tersebut?
J: Untuk teknologi 4G relatif tidak ada masalah. Kami hanya memastikan agar setiap produsen bisa menggunakan prosesor Qualcomm sesuai segmentasi, misalnya seri Snapdragon 200 untuk kelas pemula atau seri 800 untuk kelas premium. Tantangan hanya satu, yakni pesanan khusus. Misalnya ada operator yang membutuhkan agar ponsel tersebut bisa mendukung fitur yang dimiliki sebelumnya, contohnya bisa mundur ke jaringan CDMA jika gawai tidak mendapatkan sinyal 4G dan proses tersebut diharapkan berjalan mulus. Pengaturan itu tidak melulu soal jaringan, tetapi memastikan bahwa spesifikasi ponsel sesuai dengan yang diinginkan produsen dan dengan harga yang paling kompetitif.
T: Selanjutnya, kerja sama Qualcomm dengan mitra dalam negeri?
J: Saat ini mitra lokal di Indonesia seperti Polytron, yang beberapa waktu lalu merilis ponsel dengan otak Snapdragon. Kami juga terus membina komunikasi dengan produsen lokal lainnya. Selain produk, kami juga menggandeng TSM Technologies yang berlokasi di Batam. Mereka memiliki akses ke teknologi yang dimiliki Qualcomm untuk mendesain ponsel yang nantinya diproduksi. Kami memiliki panduan dalam Qualcomm Reference Design yang memudahkan rumah desain untuk membuat tata letak elektronik ponsel.
T: Bagaimana prospek dari bisnis lisensi yang dimiliki Qualcomm di Indonesia?
J: Saat ini baru TSM Technologies yang menjadi pemegang lisensi di Indonesia meski di masa mendatang kami terus mengulas kemungkinan untuk membuka peluang bagi perusahaan lain bisa mendapat akses yang sama, misalnya ada perusahaan rintisan yang ingin menjadi rumah desain independen. Ada beberapa persyaratan yang harus diikuti. Namun, jika TSM Technologies bisa, seharusnya perusahaan lain bisa. Kami tengah mengupayakan agar persyaratannya diperlonggar.
T: Berbicara mengenai kompetisi produsen prosesor ponsel, apa yang dilihat Qualcomm dari pasar Indonesia?
J: Kompetisi selalu ada karena itulah bagian dari bisnis, yang pasti kami percaya diri karena Qualcomm sudah bergerak di bisnis ini selama bertahun-tahun. Investasi 4 miliar dollar AS setiap tahun untuk riset membuat kami menjadi perintis untuk beberapa hal, seperti prosesor berarsitektur 64 bit atau teknologi dua kartu SIM yang bisa bekerja di jaringan LTE. Diferensiasi yang kami lakukan adalah memberikan dukungan bagi kantor lokal untuk menggarap pasar Indonesia lewat bimbingan teknis, pengujian perangkat, dan menginformasikan rencana pengembangan teknologi Qualcomm di masa mendatang.
T: Apakah Qualcomm masih optimistis dengan pasar ponsel di Indonesia?
J: Pertumbuhan pelanggan ponsel di Indonesia memang melampaui jumlah penduduk, tetapi penetrasinya hanya separuh dari total penduduk. Inilah yang kami lihat sebagai peluang emas. Terlebih lagi dengan teknologi 4G dengan pertumbuhan tahunan yang cukup kencang yang bisa mendorong pengguna di Indonesia untuk lebih banyak menggunakan data. Dari sisi Qualcomm, kami terus mempersiapkan teknologi yang memungkinkan prosesor bisa mengakomodasi berbagai kecepatan akses.
DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO
Sumber: Kompas Siang | 20 Oktober 2015