Kuliah di Indonesia, Gelar Luar Negeri

- Editor

Minggu, 18 Oktober 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Terpuruknya rupiah yang membuat kebutuhan dollar untuk kuliah di luar negeri meroket tak harus memupus mimpi menikmati pendidikan internasional. Program di pendidikan tinggi kian banyak. Untuk mendapatkan gelar perguruan tinggi luar negeri, misalnya, tak lagi harus kuliah penuh di negara lain.

Dari Indonesia pun gelar sebagai lulusan perguruan tinggi asing bergengsi dapat diraih, dengan biaya yang lebih murah jika dibandingkan dengan secara penuh berkuliah di luar negeri.

Di Universitas Pelita Harapan (UPH), misalnya, Wakil Rektor Marketing, External Relations, and Development UPH Budi Legowo mengatakan, pada awalnya untuk mendapatkan dua gelar sarjana dari dalam negeri dan luar negeri berkembang lewat program dual degree. Mahasiswa berkuliah di UPH dan luar negeri bisa dengan sistem tiga tahun di UPH ditambah satu tahun di universitas partner, atau model dua tahun di UPH, satu tahun di universitas partner, lalu satu tahun berikutnya kembali ke UPH untuk menyelesaikan gelarnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Sekarang pilihan bisa lebih fleksibel dengan model joint degree. Dalam waktu tiga tahun kuliah di UPH, mahasiswa kelas internasional yang ambil joint degree dengan RMIT University di Australia bisa dapat gelar sarjana dari UPH dan RMIT. Ini yang diminati karena jauh lebih murah dibandingkan kuliah di RMIT-nya langsung,” kata Budi.

Untuk menjamin mutu pendidikan, kata Budi, universitas partner, seperti RMIT juga, mensyaratkan standar kualitas tertentu. Bahkan, secara rutin ada dosen tamu dari RMIT yang mengajar mahasiswa.

“Mahasiswa pun harus memenuhi standar masuk yang ditetapkan RMIT. Di UPH, kami menyiapkan mahasiswa supaya terbiasa dengan sistem perkuliahan di RMIT ataupun universitas partner dalam program dual degree,” ujar Budi.

fbfc5f8b21654f4ebce8c6e1dc4dfc38KOMPAS/YUNIADHI AGUNG–Mahasiswa beraktivitas di Kampus Binus International, Jakarta, Kamis (1/10). Mereka mengikuti program ijazah ganda yang memungkinkan untuk mengecap pendidikan dari universitas-universitas luar negeri di Tanah Air. Program tersebut merupakan alternatif yang lebih murah dibandingkan dengan berkuliah di luar negeri.

Pilihan mendapatkan gelar sarjana dari perguruan tinggi luar negeri yang dimulai dari dalam negeri juga ditawarkan Kampus Binus International. Dekan Eksekutif Binus International Firdaus Alamsjah mengatakan, pihaknya mencari rekanan perguruan tinggi yang mau berbagi ilmu, kurikulum, dosen, dan teknologi. “Oleh karena itu, kami perlu mencari rekanan yang tidak menganggap kami sebagai saingan. Rekanan yang mau berbagi gelar sarjana dengan kami,” kata Firdaus.

Saat ini terdapat 1.200 mahasiswa aktif di Binus International yang dibagi-bagi ke dalam 12 program studi. Setiap tahun, Binus Internasional hanya menerima 300 mahasiswa.

Dari segi biaya kuliah, sandwich programme mampu menghemat 30 persen hingga 40 persen uang kuliah dibandingkan dengan bersekolah di luar negeri. Hal ini belum termasuk biaya hidup.

Firdaus menuturkan, pada awal Binus International berdiri tahun 2001, sulit untuk mencari perguruan tinggi rekanan karena mereka belum yakin akan kualitas Binus. Namun, bertambahnya waktu, mutu Binus meningkat. Pasalnya, perguruan tinggi rekanan menyaratkan standar pendidikan di Binus harus sesuai dengan persyaratan yang mereka tentukan.

Setiap dua kali dalam satu tahun, perwakilan perguruan tinggi rekanan datang untuk menginspeksi Binus. Jika mereka menemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan standar, kerja sama akan dihentikan.

Kerja sama dilakukan dengan Universitas Northumbria dari Inggris dan Aso School of Engineering dari Jepang. Kemitraan dilakukan di 12 program studi yang secara garis besar adalah komputer, bisnis, teknologi, dan desain. Meski lokasi perkuliahan di Jakarta, kurikulum yang digunakan berasal dari perguruan tinggi rekanan. “Binus dalam mencari rekanan harus perguruan tinggi yang masuk ke daftar QS 300 karena kualitasnya di atas Binus dan bisa membimbing kami,” ujar Firdaus.

Bentuk perkuliahannya terbagi menjadi dua macam, tergantung dari pilihan mahasiswa. Ada yang selama empat tahun penuh di Jakarta, tetapi dosen-dosen didatangkan dari luar negeri. Bentuk yang kedua adalah berkuliah selama tiga tahun di Jakarta, pada awal semester VII mahasiswa dikirim ke perguruan tinggi rekanan untuk menyelesaikan kuliah. Ketika mereka lulus, baik dari bentuk kuliah pertama maupun kedua, ijazah dikeluarkan dari perguruan tinggi rekanan tanpa ada logo Binus. Jadi, ijazah itu murni bukti berlaku secara global.

Program “pathway”
Alternatif lain untuk memangkas biaya kuliah di luar negeri adalah dengan program pathway yang ditawarkan sejumlah perguruan tinggi di luar negeri. Salah satunya dilakukan Universitas Teknologi Sydney (UTS), Australia.

Direktur Akademik UniSadhuGuna International College Ario Muliawan menjelaskan, untuk berkuliah di luar negeri perlu persiapan, mulai dari bahasa, mental, hingga akademik. Tujuannya, menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.

Untuk persiapan kuliah di Australia butuh Rp 250 juta per tahun. Belum termasuk biaya hidup di Australia sekitar Rp 10 juta-Rp 15 juta per bulan. Jika persiapan dilakukan di Indonesia, butuh dana Rp 106 juta dan biaya hidup dapat disesuaikan. “Dengan biaya yang lebih efisien, dana kemahalan dapat disimpan untuk melanjutkan ke tahap pendidikan yang lebih tinggi,” kata Ario.

Program pathway selama 8-10 bulan. Siswa mengikuti pola belajar yang hampir sama dengan kondisi di universitas tujuan, mulai dari silabus, materi, hingga ruang kelas disesuaikan. “Dengan metode itu, diharapkan siswa tidak kaget saat tiba di UTS,” kata Ario. Menurut Direktur Indonesia Development UTS Insearch Mariam Kartikatresni, kerja sama itu karena Australia adalah negara tujuan yang diminati siswa Indonesia.

Nah, soal biaya hanya merupakan salah satu faktor. Untuk memilih perguruan tinggi, tentu masih banyak hal yang menjadi pertimbangan.(ELN/DNE/B12)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Oktober 2015, di halaman 9 dengan judul “Kuliah di Indonesia, Gelar Luar Negeri”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 57 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB