Bekal Keterampilan dari Kampus di Australia

- Editor

Kamis, 15 Oktober 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Memiliki prestasi akademik saja semakin dianggap tidak cukup untuk memasuki dunia kerja. Karakter positif, motivasi tinggi, sikap dan perilaku yang baik menjadi persyaratan yang mendapat porsi penilaian lebih. Keterampilan nonteknis atau softskill itulah yang kini semakin ditekankan di jenjang pendidikan tinggi sebagai bekal mahasiswa masuk ke dunia kerja dan berkontribusi pada masyarakat.

Keterampilan nonteknis atau softskill merupakan keterampilan seseorang dalam berhubungan dengan dirinya dan orang lain. Sesungguhnya kecakapan ini melekat pada setiap diri kita, tetapi kerap belum terasah. Untuk itu, jenjang pendidikan tinggi semakin menyadari perlunya mengasah keterampilan nonteknis seperti komunikasi, berpikir kritis, menghargai orang lain, bekerja dalam kelompok, memiliki etika dan moral, santun, serta motivasi.

Penekanan pada pengembangan softskill ini terasa kental di tujuh perguruan tinggi di Sydney dan Melbourne, Australia, yakni University of Technology Sydney (UTS), University of New South Wales (UNSW), Macquarie University, Le Cordon Bleu Australia, Swinburne University of Technology, Monash University, dan Deakin University, saat Kompas berkunjung ke tujuh kampus itu pada awal Juli lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Para penyedia kerja menilai calon pekerja secara utuh. Tidak melulu capaian akademik atau keterampilan teknis, tetapi kemampuannya berhubungan atau berkomunikasi dan bekerja dengan orang lain,” kata Sam Berry, Konsultan Karier Senior untuk Murid Internasional di bagian Pengembangan Karier dan Ketenagakerjaan di University of New South Wales.

Dari survei yang mereka lakukan, terdapat empat keterampilan yang selalu menjadi kebutuhan utama dari penyedia lapangan pekerjaan. Keempat hal itu adalah keterampilan berkomunikasi, komitmen dan dorongan pribadi, keterampilan intrapersonal, serta keterampilan analitis. Untuk menguasai semua keterampilan ini, kata Berry, perguruan tinggi selalu mengeksplorasi potensi setiap mahasiswa sejak awal ia masuk kuliah. “Mahasiswa tidak kita biarkan bingung mau kerja apa dan di mana setelah lulus. Kita harus tahu keinginan dan potensi kekuatan anak,” ujarnya.

Proses pendampingan dan perencanaan karier mahasiswa ini bahkan bisa sampai membantu menulis lamaran pekerjaan hingga cara menjawab saat wawancara pekerjaan, terutama saat ditanya mengenai jumlah gaji yang diharapkan. Hal-hal teknis seperti ini yang menurut Senior Regional Manager Channel Management Monash University Nicholaas So ikut membantu lulusan terserap ke industri.

Pembelajaran kolaboratif
Agar bisa bertahan hidup pada era sekarang, menurut Vivek Sokhal, Regional Team Leader University of Technology Sydney, mahasiswa harus mampu berinteraksi dan berkolaborasi. Melalui pembelajaran kolaboratif, perguruan tinggi diyakini akan mampu menghasilkan lulusan yang mampu memimpin, mengambil keputusan, kreatif, menyelesaikan konflik, bekerja sama, sekaligus rendah hati dan percaya diri. “Kriteria SDM seperti itu yang dibutuhkan industri atau perusahaan,” ujarnya.

86387e30184e4b5db84be2436dcc25fcKOMPAS/LUKI AULIA–Model dan pendekatan pembelajaran di perguruan tinggi mulai bergerak ke arah partisipatif dan interaktif yang menekankan diskusi dan bekerja sama. Gaya kuliah tradisional satu arah dengan jumlah mahasiswa besar dan ruang kuliah yang luas mulai ditinggalkan karena tidak efektif mengembangkan potensi peserta didik. Untuk mengakomodasi perubahan pendekatan pembelajaran itu, tata ruang infrastruktur ruang kuliah, bahkan gedung, pun perlu berubah. Langkah itu dilakukan University of Technology Sydney, Australia. Kampus ini menyediakan beragam bentuk ruang untuk berdiskusi dan bekerja sama antarmahasiswa serta antara mahasiswa dan dosen.

Pembelajaran kolaboratif ini salah satu contohnya adalah dengan menjalin kerja sama dengan pihak industri. Manager Regional Relations Swinburne University of Technology Struan Robertson menekankan pentingnya membekali mahasiswa dengan hard skill dan softskill serta bekerja sama dengan industri sejak awal masuk kuliah seperti halnya metode pembelajaran yang dilakukan di pendidikan vokasi atau politeknik. “Belajar dan bekerja. Gabungan keduanya ini yang kami lakukan terus-menerus agar mahasiswa nantinya mampu bertahan di era ekonomi global,” kata Robertson.

Karena hubungan perguruan tinggi dengan industri amat penting, Marketing Officer (South East Asia) Swinburne University of Technology Nick Marriott mengatakan, kampusnya memiliki tempat khusus untuk mempertemukan mahasiswa dengan industri. Ruangan, yang disebut dengan the Factory of the Future, itu merupakan satu ruangan besar yang dilengkapi dengan ruangan rapat berbentuk bola besar terbuat dari kayu dan mesin cetak 3D untuk membuat benda atau produk jadi.

“Ruangan ini untuk kolaborasi mahasiswa dari jurusan desain, teknik, dan bisnis. Mahasiswa berbagi ide dan konsep mulai dari desain hingga bentuk jadinya. Nanti mahasiswa bisnis yang akan menjualnya,” kata Robertson.

Robertson menambahkan, di ruangan seluas lapangan basket itu, mahasiswa diharapkan bisa bertemu langsung dengan industri dan mengerjakan proyek. Ini menjadi kekuatan Swinburne University of Technology, yakni menggabungkan antara akademik dan pendidikan vokasi (kejuruan).

Ketujuh perguruan tinggi yang dikunjungi sama-sama menekankan pembelajaran kolaboratif melalui pengerjaan proyek bersama antarsesama mahasiswa, antara dosen dan mahasiswa, ataupun antara mahasiswa dan industri. Jalinan kerja sama dengan industri ini yang akan membiasakan mahasiswa menangani persoalan riil sehingga tak canggung masuk ke dunia kerja atau bahkan menjadi penganggur.

Untuk membekali mahasiswa dengan pengetahuan dan keterampilan terkini sesuai kebutuhan industri atau pasar kerja, semakin banyak perguruan tinggi di Australia yang gencar menggandeng industri dan asosiasi profesi. Kedua pemangku kepentingan pendidikan tinggi itu sudah dilibatkan sejak awal, mulai dari penyusunan materi ajar atau kurikulum hingga memberikan kesempatan mahasiswa untuk praktik kerja atau magang di industri.

“Materi ajar di-update setiap dua tahun sekali. Awalnya, selama enam bulan kami rutin bertemu melalui diskusi kelompok terarah dengan industri untuk betul-betul tahu apa saja yang mereka butuhkan, lulusan seperti apa yang mereka butuhkan,” kata Wakil Kepala Departemen Akuntansi dan Corporate Governance Fakultas Bisnis dan Ekonomi Macquarie University Rahat Munir.

Dari hasil diskusi dengan industri itu kemudian diketahui bahwa mereka membutuhkan lulusan perguruan tinggi atau SDM yang terlatih dan memiliki pengalaman sehingga siap kerja 100 persen. Kebutuhan ini kemudian diakomodasi dalam program-program yang diberikan selama proses pembelajaran. “Kami menjanjikan lulusan yang sudah bisa langsung bekerja dan profesional di bidangnya. Sudah bukan zamannya lagi mahasiswa hanya diajari teori-teori akademis. Sudah kuno. Lebih penting membiasakan mereka untuk berpikir kreatif dan inovatif,” kata Rahat.

Untuk membiasakan mahasiswa dengan pekerjaan nyata di industri, industri datang ke kampus membawa persoalan yang membutuhkan solusi. Persoalan itulah yang, kata Rahat, menjadi tugas bagi mahasiswa untuk dicarikan solusinya.

Metode belajar dan bekerja seperti itulah yang menurut Mark Caile, mahasiswa Jurusan Bisnis dan Hukum Deakin University, dibutuhkan sebagai bekal oleh mahasiswa selepas lulus kuliah. Proses pembelajaran berbasis pekerjaan tidak hanya akan menambah pengalaman mahasiswa bersentuhan dengan dunia nyata dan memperluas jaringan. Namun, itu juga seperti mengabdi pada masyarakat.

Nah, selama di kampus pun mahasiswa sudah bersinggungan dengan dunia nyata dan tak canggung menghadapinya.–LUKI AULIA
————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Oktober 2015, di halaman 24 dengan judul “Bekal Keterampilan dari Kampus di Australia”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB