Pemerintah Buka Program Percepatan Studi Doktoral
Untuk kesebelas kali, kongres ilmuwan digelar sejak yang pertama tahun 1958. Kali ini, 600 peserta hadir dari 57 perguruan tinggi dan puluhan industri, termasuk pembicara dari luar negeri. Namun, penyelenggaraan empat tahunan itu dibayangi pengabaian atas rekomendasi.
Sejauh ini, sejumlah rekomendasi yang dihasilkan belum berdampak besar bagi solusi masalah bangsa. Bahkan, cenderung masih diabaikan.
Menurut Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Dr Iskandar Zulkarnain, pada dasarnya kontribusi ilmu pengetahuan ditujukan sebagai motor utama peningkatan daya saing bangsa. Namun, dari sisi jumlah peneliti, di Indonesia masih sangat kurang. “Dari 1 juta orang, hanya 40 orang yang jadi peneliti,” katanya di sela pembukaan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (Kipnas) XI di Jakarta, Kamis (8/10). Tahun ini bertema “Signifikansi dan Kontribusi Ilmu Pengetahuan bagi Indonesia Sejahtera”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemegang kebijakan, katanya, cenderung memilih jalan pintas dengan mereduksi aktivitas ilmu pengetahuan untuk penguatan industri dan ekonomi tanpa melihat proses yang harus dilalui. Meski Indonesia tumbuh sebagai negara yang berkembang baik, anggaran belanja riset masih 0,08 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Standar Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unesco), anggaran riset ideal setidaknya mencapai 2 persen terhadap PDB negara. Di Indonesia, 2 persen setara dengan Rp 200 triliun.
Dalam pidato pembukaan Kipnas XI, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani menegaskan, meski besaran anggaran riset belum ideal, penelitian tetap harus berjalan. Sinergi anggaran riset sejumlah institusi untuk hasil bersama bisa mengefisienkan anggaran.
Ia mencontohkan, penggabungan sektor riset dan teknologi dengan pendidikan tinggi dalam Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi merupakan upaya pemerintah mengoptimalkan ketersediaan dana riset. “Kedua sektor harus sinergis, tidak egosektoral. Apa yang dihasilkan segera bermanfaat dan diimplementasikan,” kata Puan.
Mantan Menteri Riset dan Teknologi serta Menteri Pendidikan Tinggi Pakistan Atta-ur- Rahman memaparkan, selain gencar mengirim mahasiswa belajar ke luar negeri, Pemerintah Indonesia juga perlu memikat para lulusan agar bekerja di dalam negeri. Di Pakistan, setiap lulusan luar negeri yang pulang ke Pakistan ditawari hibah riset 100.000 dollar AS (Rp 1,3 miliar).
Jumlah doktor
Di Bandung, Menteri Ristek dan Dikti Muhammad Nasir menyatakan, pemerintah terus mendorong akselerasi memperbanyak jumlah dosen berpendidikan doktor atau S-3, setidaknya minimal 20 persen dari jumlah seluruh dosen perguruan tinggi. Itu untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi, sekaligus memperkuat inovasi nasional dan daya saing bangsa.
Salah satu yang dilakukan membuka Program Pendidikan Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) dengan lama pendidikan 4 tahun (1 tahun magister, 3 tahun doktoral). Selama ini, pendidikan doktoral rata-rata 6 tahun.
“Ini percepatan. Diharapkan dengan program ini pendidikan tinggi nasional makin berkualitas,” kata Nasir.
Koordinator Tim PMDSU, Dahrul Syah menjelaskan, mahasiswa yang diterima dalam PMDSU akan menerima beasiswa untuk Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan Rp 45 juta, biaya hidup Rp 2 juta per bulan, dan biaya riset tiga tahun Rp 180 juta, yang ditotal selama pendidikan 4 tahun sekitar Rp 321 juta. (JOG/B09/SEM)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Oktober 2015, di halaman 14 dengan judul “Kongres Ilmuwan Menanti Dampak”.