Mentari terbit belum gagah benar, Rabu (17/9), ratusan siswa Sekolah Dasar Negeri 12 Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, sudah berbaris di lapangan. Dengan mengenakan seragam pramuka, mereka bersiap mengikuti arahan untuk menjalankan misi hari itu.
Kepala SDN 12 Hidayat berdiri di depan siswa, memberi aba-aba untuk mulai bekerja. “Ayo kita mulai,” kata Hidayat dengan pengeras suara. Siswa pun bergegas mengisi posnya masing-masing. Marsha Chantikha Maharani (11) dan Dishta Hanifah (11), siswi kelas VI, menyasar sebuah lubang biopori. Keduanya adalah pandu biopori. Mereka bertugas memastikan kondisi lubang masih berfungsi.
Dengan tangan telanjang, Dishta memasukkan daun kering ke lubang biopori. Alhasil, tangan yang tadinya bersih kini berubah coklat berlumuran tanah. Namun, tak ada rasa jijik sama sekali karena ia sudah terbiasa. Adapun Marsha menekan daun dengan tongkat biopori sepanjang 120 cm agar masuk lebih dalam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Anak-anak taruh daunnya di sini,” seru Rahmayani kepada anak-anak yang bertugas mengumpulkan daun kering untuk dimasukkan dalam lubang. Pekerjaan pun terus berlangsung.
Hari itu, para murid menjalankan misi pembiasaan Adiwiyata yang merupakan kegiatan pemeliharaan lingkungan sekolah yang semua aktivitasnya dilakukan siswa. Tujuannya, untuk menumbuhkan sikap cinta lingkungan sejak dini. Siswa yang berpartisipasi dibagi dalam 12 pandu. Ada pandu pertamanan, pandu energi, pandu jumantik, dan lainnya.
RHAMA PURNA JATI–Murid Sekolah Dasar Negeri 12, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, tengah menata kebun raya mini di sekolah mereka, Rabu (16/9). Kegiatan itu merupakan salah satu metode pembelajaran untuk membuat anak dekat dengan lingkungan.
Nah, di kolam ikan, ada Alizania Alfiahur Nugrahati (9), siswi kelas IV memegang saringan besar. Sembari mengayunkan saringan berganggang kayu itu, Alizania menjaring daun-daun dan kotoran di kolam yang berisi ikan mas itu. Selanjutnya, semua sampah dibuang ke tong biru yang sudah tersedia. Tak butuh waktu lama, kolam pun bersih. “Kasihan ikannya kalau kolamnya kotor,” kata Alizania.
Tak jauh dari sana, terdengar suara mesin pencacah plastik tengah bekerja. Siswa mengerumuni mesin itu untuk melihat prosesnya, mereka tidak boleh mendekat karena dianggap berbahaya. Yophie, seorang anggota staf tata usaha sekolah, mempraktikkan cara kerja mesin itu. Setiap plastik yang telah dikumpulkan dimasukkan satu per satu untuk dicacah menjadi remah-remah.
Satu jam berlalu, tepat pukul 07.30, kegiatan adiwiyata dihentikan. Semua pemimpin pandu melaporkan hasil pekerjaannya. Laporan selesai, satu per satu siswa kembali ke kelas untuk memulai pelajaran pertama.
Tak hanya kurikulum, sekolah pun berwawasan lingkungan. Semua dirancang bak sebuah kebun raya. Memasuki gerbang sekolah, sebuah lapangan basket yang dikelilingi tanaman hijau menyejukkan mata. Di sepanjang lorong yang berada di sisi kanan lapangan terasa teduh karena cahaya matahari terhalang dedaunan pohon rindang.
Di sebelah kiri lapangan, ada kebun raya mini yang berisikan tanaman sayur, buah, dan palawija dijajarkan berdasarkan kelompoknya. Ada tanaman kankung, kedondong, mangga, cabai, dan beragam tanaman lainnya. Pihak sekolah menanamnya untuk berbagai kepentingan, selain untuk digunakan, sebagian hasil “kebun” sekolah dijual dan sebagai media pembelajaran.
Gemericik air terdengar di sekitar sekolah. Asalnya dari tiga kolam ikan yang dibangun untuk berbagai fungsi. Kolam gizi berisikan ikan yang dapat dikonsumsi seperti ikan lele, ikan gurame, dan ikan mas. Ada pula kolam hias yang disediakan untuk mengenal berbagai ikan, terakhir adalah kolam pembenihan yang digunakan sebagai tempat pengembangbiakan.
Suasana tak kalah asri berada di sisi belakang sekolah, di kawal pohon tinggi, terdapat dua untuk aktivitas belajar, di depannya terdapat kolam yang berisikan ikan lele. Di samping pondokan, ratusan tanaman obat seperti sirih, suji, lidah buaya ditanam. Suasana ini membuatnya seperti hutan di tengah kota. Tanaman itu sengaja dipelihara sebagai media belajar dan dimanfaatkan untuk keperluan medis.
Berwawasan lingkungan
Hidayat mengatakan, kurikulum berwawasan lingkungan telah diterapkan sejak 2008. Saat itu, sekolah ditetapkan sebagai calon Adiwiyata. Terus konsisten dengan aktivitasnya, status sekolah meningkat menjadi Adiwiyata Mandiri pada 2011. Alhasil, sekolah ini pun menjadi percontohan bagi sejumlah sekolah lain soal suasana, pembelajaran, dan kegiatan yang mengedepankan lingkungan.
Kurikulum yang sama diterapkan oleh Sekolah Kristen IPEKA Plus BSD yang berlokasi di BSD City, Tangerang Selatan. Dengan mengusung konsep ecoliteracy studies, sekolah ini memanfaatkan situs alam sebagai media pembelajaran siswa.
RHAMA PURNA JATI–Seorang siswi Sekolah Kristen IPEKA Plus BSD sedang menggunakan teropong bintang, Sabtu (12/9), yang merupakan media pembelajaran di sekolah itu. Penggunaan situs alam menjadi media pembelajaran bagi siswa untuk memecahkan permasalahan.
Ada lima situs yang disediakan yakni situs cuaca dan iklim, situs ilmu pertanian, situs konservasi air, situs energi baru terbarukan, dan situs daur ulang. Dipilihnya kelima situs ini karena berhubungan langsung dengan masalah lingkungan yang dihadapi saat ini.
Sekolah menyediakan sejumlah “alat peraga” yang bisa mengarahkan siswa menerapkan langsung ilmu yang didapatinya di kelas, seperti adanya peternakan ayam, hidroponik, alat pembuat kompos, pengukur curah hujan, panel surya, kincir angin, tanaman berbagai varietas, pengolahan air limbah, dan fasilitas lainnya.
Direktur Operasional I bidang Pendidikan, Yayasan IPEKA Santosa Setiadji mengatakan, selama ini sistem pembelajaran di Indonesia lebih menekankan pada penguatan konsep materi hanya dari penjelasan semata. Siswa hanya diam di kelas dan membayangkan materi yang diajarkan oleh guru. Akibatnya, saat lulus nanti mereka hanya pintar memaparkan konsep tanpa mampu menerapkannya.
Belajar dari masalah itu, kata Santosa, pihaknya berupaya mengembangkan konsep Ecoliteracy studies, yakni metode pembelajaran dengan memberikan kesempatan pada siswa berinteraksi langsung dengan alam.
“Siswa tidak hanya mendapatkan materi pelajaran di kelas, tapi mereka juga dapat merasakan dan menerapkannya secara langsung di alam,” ujarnya.
Untuk ilmu pertanian, misalnya, dari situs ini siswa diperkenalkan proses pertumbuhan tanaman mulai dari benih hingga panen, bahkan sampai ke tahap penjualan. Dari sini diharapkan siswa dapat memiliki bekal untuk bertani dan lebih menghargai lingkungan.
Untuk pembelajaran energi baru terbarukan, siswa belajar kinerja dari sebuah panel surya yang mengubah sinar matahari menjadi listrik. “Semua situs yang tersedia akan disesuaikan atau diintegrasikan dengan semua mata pelajaran dari semua tingkatan kelas dari TK sampai SMA,” ujar Santosa.
Otentik
Tersedianya fasilitas pembelajaran yang bersentuhan langsung dengan lingkungan dapat meningkatkan kesadaran siswa. Sistem pembelajaran ini dinamakan metode pembelajaran otentik.
Pengajar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta Suryadi Nomi mengatakan, proses belajar-mengajar otentik terbukti mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam menyerap materi. Itu karena siswa berhadapan langsung dengan sumber masalah di lapangan. Sekolah diharapkan dapat menggunakan metode tersebut agar proses pembelajaran semakin efektif.
Suryadi mengatakan, pembelajaran otentik adalah pendekatan belajar yang memungkinkan siswa menggali, mendiskusikan, dan membangun secara bermakna konsep yang melibatkan masalah nyata dengan proyek yang relevan.
Dengan metode ini, siswa tidak hanya dihadapkan pada penjelasan materi dari guru mata pelajaran, tetapi langsung turun ke lapangan untuk merasakan masalah yang terjadi. “Siswa dihadapkan pada kondisi riil di lapangan sehingga mereka bisa mendapatkan jiwa dari materi itu sendiri,” kata Suryadi.
Penerapan model belajar seperti ini dinilai mampu meningkatkan daya serap siswa terhadap materi hingga 80 persen. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hanya sekadar melalui penjelasan materi di kelas yang daya penyerapannya hanya 20-30 persen atau pembelajaran yang menggunakan media untuk memaparkan materi yang daya penyerapan hanya 60 persen.(B12)
————————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 September 2015, di halaman 9 dengan judul “Lingkungan Sekolah Pun Jadi Laboratorium”.