“Tempat itu dulu dalamnya segini,” kata Azhar, warga Kabupaten Ogan Komering Ilir, sambil memberi tanda di pundaknya, Selasa (8/9). Ia bercerita soal lahan kehitaman yang sangat luas akibat kebakaran di depan mata kami. Belasan tahun lalu, lahan itu rawa gambut penghasil puron atau rumput pandan, bahan anyaman tikar masyarakat.
Di pinggir padang puron yang tampak seperti padang ilalang itu terdapat kanal selebar 1,5 meter yang cukup rapi. Lengkap pula dengan perahu kayu air gambut coklat kehitaman.
Air gambut itu sedalam 10 sentimeter, sedangkan tinggi permukaan air ke lapisan gambut teratas lebih dari 1 meter (maksimal tinggi 40 cm atau masuk kategori rusak menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Ekosistem Gambut).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Puron masih dimanfaatkan sebagian warga untuk atap tradisional. Bahkan, melapis atap seng guna mengurangi panas radiasi sinar matahari. Lalu, mengapa warga membakarnya? “Sudah pasti bukan warga,” kata Azhar yang juga Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten OKI.
Setelah ditelusuri, lahan itu berada di Desa Pulo Geronggang, Kecamatan Padamaran Timur, yang diduga lahan hak guna usaha perusahaan perkebunan sawit PT WMA. Kepastian kepemilikan itu masih akan diverifikasi penyidik pegawai negeri sipil Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PPNS KLHK) kepada pemda maupun Badan Pertanahan Nasional.
Di lokasi itu saja, luas lahan yang terbakar mencapai 500 hektar. Petugas PPNS KLHK memasang pelang dan segel garis “PPNS KLHK” sebagai tanda dimulainya pengumpulan barang bukti dan keterangan sebagai bahan penyelidikan.
Hari itu, selain di Padamaran Timur, petugas juga menyegel lahan PT Tempirai Palm Resources (bukan Tempurai seperti diberitakan sebelumnya) yang sempat terbakar hebat dan masih menyisakan asap dan lahan menghitam. Di lokasi itu, yang dua hari sebelumnya, 6 September 2015, dikunjungi Presiden Joko Widodo, hingga kemarin masih terlihat puluhan petugas BNPB ataupun kepolisian/TNI.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Penegak hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Selasa (8/9), mendatangi lokasi kebakaran di lahan konsesi perkebunan sawit di Padamaran Timur, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Mereka memasang segel dan memproses hukum kasus kebakaran hutan dan lahan yang telah menyebabkan bencana asap tersebut.
Kebakaran hutan dan lahan di Ogan Komering Ilir mendominasi di Sumatera Selatan. Lokasi itu menjadi sumber kabut asap mengingat 70 persen gambut di Sumatera Selatan berada di Kabupaten OKI. Hampir semua lahan gambut dibebani konsesi perkebunan.
Secara nasional, lahan gambut di provinsi atau daerah lain pun menghadapi kondisi hampir sama. Semuanya terancam konversi menjadi hutan tanaman industri ataupun perkebunan. Pun lahan gambut di kawasan konservasi, seperti di Giam Siak Kecil dan TN Tesso Nilo di Riau, tak luput dari api.
Menurut organisasi Wetlands International, luas gambut Indonesia mencapai 20,6 juta hektar atau terluas keempat di dunia. Namun, data Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2014) menyebutkan, luas gambut “hanya” 14,9 juta hektar.
Badan Litbang dan Inovasi KLHK memetakan, sekitar 3 juta hektar dari lahan gambut tersebut digunakan untuk berbagai penggunaan pertanian. Namun, 4,2 juta ha lahan gambut dalam kondisi terbuka, belum dimanfaatkan, dan tertutup semak belukar.
Arief Yuwono, saat menjabat Deputi Menteri Lingkungan Hidup awal Januari 2015, mengakui, lebih dari 30 tahun pengelolaan lahan gambut kurang menerapkan prinsip pemanfaatan berkelanjutan. Itu menimbulkan berbagai masalah, seperti 2.669 juta ha atau 37 persen lahan gambut di Sumatera rusak dan tidak produktif.
Kerusakan akibat eksploitasi gambut yang dikeringkan tanpa mempertimbangkan sisi sifat hidrologis gambut, membuat gambut sangat kering pada musim kemarau. Tak heran, gambut yang kubahnya telah diiris-iris mirip “kue lapis” dilihat dari udara jadi mudah terbakar yang menimbulkan kabut asap.
Contoh paling nyata adalah ekosistem gambut di Riau yang telah dibagi habis menjadi izin konsesi perusahaan besar dan kecil. Riau Forest Watch mencatat, hanya sebagian kecil yang dilindungi kebijakan moratorium penundaan pemberian izin baru atau berstatus hutan alam dan kawasan hutan konservasi.
Kanal dan kekeringan
Ketua Kelompok Kerja Kebakaran Hutan dan Lahan Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) Azwar Maas menunjukkan, ekosistem gambut di Riau telah mengalami “pendarahan” (over-drained) sehingga jadi lebih rentan terbakar. Tak lain, itu karena pengeringan lahan gambut yang tak memperhatikan ekohidrologinya.
Dari dua faktor paling mengancam gambut itu, ia menunjukkan perkebunan sawit yang paling masih menguras air. Dalam luasan per 1 kilometer persegi, kanal hutan tanaman industri membutuhkan 14,6 kilometer kanal, sedangkan perkebunan sawit 46,3 kilometer.
Artinya, kebun sawit membangun lebih banyak kanal. Jika ini dilakukan di kubah gambut, sumber air bagi seluruh badan gambut pun bakal terkuras.
“Aturan pengelolaan air berbasis neraca lengas (air) tidak berbasis satuan hidrologis, tetapi berdasar atas satuan konsesi atau penguasaan,” katanya.
Tudingan pengeringan gambut sebagai langkah pembukaan lahan dengan cara membakar pun menemukan penjelasannya. Pembakaran akan menghasilkan rata-rata abu 500 kilogram per hektar. Abu itu memiliki fungsi sebagai pengganti dolomit, pupuk penangkal asam.
Sayangnya, cara mudah dan menurut pelaku pembakar murah, tak sebanding dengan dampak kerugiannya. Selain melepaskan lebih banyak karbon, yaitu sekitar 57,10 ton per hektar, pemadamannya pun susah dan sangat mahal.
“Tidak mungkin menanggulangi kebakaran. Peluang mencegah kebakaran lebih mungkin dikerjakan,” kata pakar gambut Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu.
Dasarnya, pemadaman satu titik panas atau sekitar 1 kilometer persegi pada gambut yang kering membutuhkan 12.000 ton air (setara 12.000.000 liter air). Helikopter pengebom air hanya berkapasitas 500 liter air sekali angkut dengan tarif Rp 30 juta hingga Rp 50 juta.
Dari sisi kerugian negara, pengerahan sumber daya serta sarana pemadaman pun memakan biaya tak murah. Setidaknya, untuk penanganan bencana asap tahun ini, BNPB mengalokasikan Rp 385 miliar. Angka ini belum termasuk kerugian ekonomi akibat gangguan penerbangan dan biaya kesehatan serta kerusakan lingkungan tak ternilai.
Sepatutnya pengalaman puluhan tahun kita mengeksploitasi gambut dan 18 tahun menuai bencana asap menjadi pelajaran berharga. Saatnya gambut diperlakukan dengan baik dan benar: menjaga gambut tetap basah.
Itu bisa terjadi jika kubah gambut terlindungi sehingga menjamin cukup air untuk membasahi badan gambut di tempat rendah. Kanal yang telanjur dibuat seharusnya disekat agar tak lagi mengalami “pendarahan”. Penanganan saat sudah terbakar sebenarnya terlambat.–ICHWAN SUSANTO
————————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 September 2015, di halaman 14 dengan judul “Gambut Diabai, Bencana Dituai”.