Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi meluncurkan buku Pedoman Implementasi e-Pilkades Serentak di Indonesia. Pedoman ini merupakan versi kedua sebab BPPT perlu menyelaraskan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang mengamanatkan pemilihan kepala desa serentak. Sosialisasi e-Pilkades sebagai bentuk upaya meningkatkan kejujuran dalam pemilihan.
“Kejujuran penting dalam pilkades karena posisi kepala desa sangat strategis,” ucap Kepala Program Kegiatan E-Services, Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi BPPT, Andrari Grahitandaru di sela-sela Dialog Nasional Inovasi TIK 2015: Meraih E-Nawacita dengan Pelayanan Publik Elektronik yang Inovatif dan Bermutu untuk Sistem Pemerintahan dan Demokrasi.
Turut hadir Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi, serta Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Posisi strategis kepala desa pun didukung oleh pemerintah melalui Nawacita kedua, yakni membangun dari pinggiran, daerah, dan desa. Andrari mengatakan, kepala desa bahkan bertanggung jawab langsung kepada bupati dan pemerintah, bukan kepada camat yang hanya berfungsi dalam koordinasi. Di sisi lain, desa juga menerima kucuran dana desa untuk dikelola bagi pembangunan desa.
Oleh karena itu, BPPT mengusulkan setiap kabupaten menggunakan sistem pemilu elektronik dalam pelaksanaan pilkades. Sistem ini memanfaatkan perangkat elektronik untuk membuat surat suara; menghitung, mengirim, dan menayangkan perolehan suara; serta memelihara jejak audit.
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA–Chief Engineer Program E-Services Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Faisol Baabdullah menjelaskan cara memilih menggunakan sistem pemilihan elektronik, Rabu (29/7), di Gedung BPPT, Jakarta Pusat. Teknologi pemilu elektronik sudah teruji dalam lebih dari 200 pemilihan kepala desa di empat kabupaten sejak 2013.
Dengan demikian, sistem memperkecil potensi kecurangan, yang bisa menimbulkan konflik di antara pendukung calon kades jika kecurangan tidak dicegah sejak awal.
Versi kedua
Andrari mengatakan, BPPT sudah membuat pedoman e-Pilkades tahun lalu sehingga belum disesuaikan dengan UU Desa yang baru. Saat itu, contoh kasus menggunakan pelaksanaan e-Pilkades di Jembrana (Bali), Musi Rawas (Sumatera Selatan), dan Boyolali (Jawa Tengah). Dalam versi terbaru, BPPT menggunakan contoh kasus pelaksanaan e-Pilkades di Kabupaten Empat Lawang (Sumsel) dan Bantaeng (Sulawesi Selatan).
Melalui pedoman tersebut, BPPT juga menunjukkan bahwa pelaksanaan pemilu elektronik bisa efisien karena alat bisa dipakai bergantian antardesa. Hal ini berkat keleluasaan dalam UU Desa bahwa pilkades serentak tidak harus selesai sehari, tetapi bisa bergelombang beberapa kali.
Andrari mencontohkan, Empat Lawang melaksanakan pilkades serentak untuk 101 desa. Setiap desa butuh 4-8 alat untuk tempat pemungutan suara (TPS). Namun, karena Empat Lawang melaksanakan dalam lima gelombang selama seminggu, alat TPS yang dibutuhkan hanya 50 unit. “Jika harus selesai sehari, setidaknya butuh 400 alat. Ini tidak efisien,” ujarnya.
Ketua DPRD Empat Lawang David Aljufri pun menyatakan keterkejutan pemerintah dan legislatif daerah terkait pelaksanaan e-Pilkades. “Tanpa adanya lembaga semacam KPU (Komisi Pemilihan Umum), pukul 13.15 kita sudah tahu seluruh kades terpilih dari 101 desa,” ujarnya.
David menambahkan, minimnya potensi kecurangan dalam pemilihan juga dirasakan Empat Lawang melalui pilkades tersebut. Ini lantaran tidak ada proses rekapitulasi manual yang masih memberi celah kecurangan. Karena itu, sudah saatnya pemilu elektronik ditingkatkan.
“Tidak ada alasan Pemerintah Indonesia tidak melaksanakan pilkada (pemilihan kepala daerah) atau pileg (pemilihan anggota legislatif) menggunakan e-voting,” katanya.
Hal yang sama disampaikan Bupati Bantaeng HM Nurdin Abdullah. “Pilkada Bantaeng tahun 2018, insya Allah sudah e-voting,” katanya.
JOHANES GALUH BIMANTARA
Sumber: Kompas Siang | 8 September 2015