Internet dan lingkungan hidup, bagaimana keduanya berkelindan? Yang satu disebut ruang maya, yang satunya lagi ruang nyata.
Satu hal pasti, selain perlu pulsa, mengakses internet butuh energi listrik sebab semua jenis gawai pakai baterai. Inilah tautan terpenting antara internet dan lingkungan hidup. Penemuan listrik adalah fondasi perkembangan pesat teknologi. Soal ini tentu tidak krusial. Energi listrik untuk mengisi baterai gawai terlalu kecil dibandingkan dengan yang dikonsumsi papan iklan berhias lampu warna-warni dan film yang bergerak sepanjang hari.
Yang menonjol justru manfaat internet sebagai ruang publik virtual,khususnyamedia sosial, untuk membuka kesadaran publik lebih lebar tentang urgensi perawatanlingkungan hidup. Ekologi media diharapkan meningkatkan kesadaran dan pengetahuanpublik tentang pentingnya pemulihandan atau perawatanlingkungan yang telah rusak parah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Asumsinya, kiantinggi frekuensi media menyiarkan isu lingkungan hidup, kian paham dan sadar publik pengguna media akan urgensi perawatan atau pemulihannya. Kendati pengguna internet, khususnya media sosial, tak seragam soal pemanfaatan internet, ekologi media diharapkan jadi instrumen penyadaran sehinggamendorong aksi nyata.
Tentu ini harapan muluk. Kita tahu lingkungan hidup bukanlah isu seksi dibandingkan korupsi, politik, atau skandal seks yang melibatkan tokoh publik. Masalah ini baru mengemuka jika terjadi bencana besar lingkungan, seperti tsunami, gempa bumi, tanah longsor, erupsi gunung berapi, kekeringan dan kelangkaan air bersih,atau cuaca panas ekstrem yang makan korban manusia dan harta benda dalam jumlah besar.
Sebatang pohon tua yang tumbang melintang di jalan umum tak jadi berita media. Ketika pohon itu menimpa mobil yang tengah melintas kencang, lalu dua orang di mobil tewas seketika, barulah itu berita.Apalagi jika mobilitu milik menteri dan yang tewas sang menteri.Bad news is good news berlaku bagi peliputan bencana alam.
Di sisi lain, publik pengguna internet dan media sosial punya kemauan masing-masing dalam berinternet, dan tak pula selalu positif. Karena itu, internet,selainberpotensi menyadarkan publik tentang kerusakan lingkungan hidup kemudian mendo- rong untuk bertindak,juga menjauhkan kitadari masalah itu.
Data Aliansi Pengguna Jasa Internet Indonesia mencatat separuh pengguna aktif internet di Indonesia 88,1 juta jiwa, sepertiga penduduk Indonesia yang 255,5 juta. Sebanyak 55 persen sudah bekerja, disusul mahasiswa (18 persen) dan ibu rumah tangga (16 persen).Waktu yang dihabiskanberinternet 1-3 jam, bahkan ada yang sembilan jam per hari.
Saya yakin, mengingat internet kini mudah diakses melalui ponsel, pengguna aktif menghabiskan waktu berinternet lebih dari tiga jam. Nah, data ini bisa menunjuk pada isyaratlain: kian lama seseorang berinternet kian kehilangan waktu untuk mengurus lingkungan.
Bukan prioritas
Jika di dunia pers lingkungan hidup bukan isu seksi, dalam kehidupan sehari-hari lingkungan hidup juga bukan prioritas. Ketika kesibukan sehari-hari relatif padat, sementara gawai danmedia sosial jadi kebutuhan sekaligus gayahidup, urusan merawatlingkunganadalah hal pertama yang dikeluarkan dari daftar prioritas.
Memang merawat lingkungan hidup tak mesti berhubungan langsung dengan alam. Mengubah pola hidup, khususnya konsumsi yang ramah lingkungan, juga bentuk kepedulian. Konsumsi yangrakus, yang hanya mengejar pemuasan (want) ketimbang pemenuhan (need), adalah pangkal perusakanalam secara masif. Dengan keugaharian, eksploitasi alam akan direm. Mereka yang tinggal di flat, rumah susun, atau apartemen dengan luas ruangterbatas pasti paham pentingnya membeli sesuatu berdasarkan kebutuhan.
Mereka yang punya uang berlebih memang bisa membayar pekerja untuk mengurus lingkungan. Artinya, merawat lingkungan hidup dengan meminjam tangan orang laindengan duit sendiri. Tentu ini tak salah. Namun, kita—apa pun agama, suku, ras, kaya atau miskin, penguasa atau rakyat,intelektual atau bukan—hidup di Planet Bumi yang satu yang kinirusak parah dan membutuhkan kepedulian kita.
Gelombang panas pada puncak musim panas belakangan menewaskan 1.500 orang di India dan ratusan orang di Pakistan. Sebanyak 100.000 kelelawar jatuh dari angkasa dan mati di Australia, sementara Amerika Serikat beku hingga minus 26 derajat celsius. Ini merupakan peringatan alam yang amat keras bagi seluruh Bumi. Gelombang panas ini juga melanda Jepang dan Inggris dengan korban manusia dan hewan. Di Indonesia, seiring kemarau, terjadi bencana kekeringan, kebakaran hutan, dan kelangkaan air bersih di banyakwilayah.
Di sinilah soalnya:kita yang tak terkena bencana lingkungan cenderungmemelototi gawaisebagai hobi atau kerja ketimbang sejenak menggerakkantangan- tangan kita menghijaukan teras dan pekarangan. Kita lebih memilih membelanjakan uang untuk gawai dan aksesorinya, juga pulsa, ketimbang membeli pupuk, pot, atau tanaman.
Dulu berkebun dan mengurus tanaman adalah kegemaran banyak orang sebagai hobi dan pengisi waktu luang. Sekarang beli pulsa, aksesori gawai; bergaul di media sosial atau menjelajahi internet; pilihan utama.
Di mana-mana kian umum orang berjalan sambil bertelepon atau menggerakkan layar sentuh gawai. Sesama manusia yang duduk di samping atau di depan kita tak dihiraukan. Media sosial jadi ”kitab suci” harian yang tanpanya kita merasa tak mampu menjalani hidup.
Diskusi maya, kerja nyata
Teknologi membuat manusia merasa sanggup hidup tanpa melihat pepohonan dan hewan selama sebulan, setahun. Bukankah aneka tumbuhan, hewan, dan pemandangan alam yang ajaib kini bisa dinikmati sepuasnya dari layar laptop? Ini bukan realitas yang dikonstruksikan dalam film fiksi saintifik, ini kisah nyata manusia netizen. Sehari tanpa gawai atau ponsel ibarat hidup berasa neraka. Ponsel kini ibarat kekasih, suami/istri kedua.
Dalam tempo cepat dunia maya telah jadi bagian penting dalam hidup kita. Sebagian aktivitas kerja, seperti transaksi bisnis dan komunikasi, berlangsung di ruang virtual.
Memang sebagian aktivitas hidup bisa berlangsung di ruang virtual, seperti kampanye, diskusi, obrolan, promosi, atau transaksi bisnis. Namun, merawat atau memulihkan lingkungan hidup hanya dapat dilakukan di dunia nyata. Sudah saatnya kita peduli terhadap dedaunan kering yang gugur perlahan, tumpukan sampah plastik di tepi jalan, puntung rokok yang dibuang lewat kaca jendela mobil, rerumputan yang meranggas di taman kota.
Jangan sampai kiamat ekologis merampas paksa waktu, tenaga, dan uang kita untuk memulihkan yang harus dipulihkan demi kelangsungan hidup di Bumi. Menyikapi Bumi yang kian rusak parah, internet, khususnya media sosial, baru bersifat transformatif jika tak semata membuka kesadaran dan pemikiran, tetapi sekaligus pendorong gerakan dan kerja nyata untuk merawat dan memulihkan lingkungan. Prinsip hubungan internet dan lingkungan hidup adalah: maya diskusinya, tetapi nyata gerakan dan tindakannya!
Rainy MP Hutabarat, Pekerja Media dan Cerpenis
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 September 2015, di halaman 7 dengan judul “Internet dan Lingkungan Hidup”.