Perasaan terkejut juga dialami Dale T Mortensen dan Christopher A Pissarides saat mendapatkan informasi bahwa mereka meraih Hadiah Nobel Ekonomi 2010 yang dipersembahkan The Royal Swedish Academy of Sciences di Stockholm, Swedia, Senin (11/10). Trio ini mendapatkan julukan sebagai ekonom yang ahli ketenagakerjaan.
Mortensen mendapatkan informasi dari e-mail saat berada di Aarhus, Denmark, sebagai profesor tamu di Aarhus University.
Mereka mendapatkan penghargaan berdasarkan riset-riset mereka pada dekade 1970-an, yang barangkali membuat mereka tak bermimpi akan meraih hadiah itu. ”Perlahan-lahan saya menyadari bahwa ini nyata dan bukan halusinasi akibat demam yang saya derita tiga hari terakhir,” kata Pissarides di London, Senin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Diamond, berdarah Yahudi, barangkali lebih tidak percaya lagi. Belum lama dia ditolak di Senat AS saat namanya diajukan Presiden AS Barack Obama untuk menjadi anggota Dewan Direksi Bank Sentral AS.
Senator Richard Shelby (Alabama) adalah anggota senior di Komite Perbankan Senat AS. Beberapa waktu lalu Shelby menentang Diamond untuk dipilih dengan alasan dia tak punya kompetensi.
”Kita paham, Hadiah Nobel Ekonomi adalah penghargaan prestisius. Namun, pilihan The Royal Swedish Academy of Sciences tidak berpengaruh terhadap penentuan anggota Dewan Direksi Bank Sentral AS,” kata Shelby yang tetap tak mau mengalah, Senin di Washington. Shelby dikecam habis-habisan, termasuk oleh harian Huffington Post.
Momentum
Momentum barangkali menjadi salah satu faktor yang membuat komite Nobel, mengambil nama Alfred Nobel si penemu dinamit, menganugerahi mereka penghargaan prestisius itu. Hasil-hasil riset mereka menjelaskan, mengapa tetap ada pengangguran tinggi, padahal kesempatan kerja tersedia. Ini pas dengan keadaan di Amerika Serikat sekarang di mana tingkat pengangguran mencapai 9,6 persen, padahal triliunan dollar AS dana sudah diguyurkan ke pasar. Hal serupa dialami Spanyol, Inggris, Perancis, Italia, dan beberapa negara di Uni Eropa.
Diamond dan Mortensen adalah dua ekonom asal AS. Pissarides adalah warga Siprus kelahiran Nikosia dan sudah menjadi warga Inggris setelah meraih gelar doktor ekonomi di London School of Economics (LSE) pada 1974.
Pada dekade 1970-an, para ekonom dengan teori yang ada, tak bisa menjelaskan mengapa ada pengangguran tinggi. Saat itu, kondisi tersebut dijelaskan berdasarkan teori ekonomi klasik bahwa permintaan tenaga kerja memang tak memadai. Kalaupun ada, para pencari kerja tak mau menerima gaji rendah.
Diamond, yang pintar matematika dan kimia, adalah orang yang selalu gelisah. Dia ingin menemukan teori ekonomi yang tidak lagi didasarkan pada keadaan masa lalu. Diamond menemukan teori friksi, menyebut keadaan di mana para pencari kerja tak puas dengan pekerjaan yang ada dan perusahaan tak bisa merekrut karyawan terbaik. Friksi itu mencakup soal ketidakpuasan individu akan pekerjaan, juga waktu memang diperlukan bagi para pencari kerja hingga menemukan lapangan kerja yang pas.
Teori ini didalami lagi oleh Mortensen bersama istrinya, Beverly Mortensen, yang sama-sama mengajar di Northwestern University, Evanston, Illinois, AS.
Di LSE, ada seorang yang gelisah dan ingin menemukan teori yang bisa diterapkan, yakni Pissarides.
Ketiganya melahirkan model bernama Diamond-Mortensen-Pissarides (DMP). Model ini menyebutkan, santunan kepada penganggur turut membuat pencari kerja enggan bekerja karena toh ada kupon. ”Seharusnya ada sanksi bagi para penganggur, yang mendapatkan kupon bantuan dari pemerintah, agar didorong bekerja setelah mendapatkan kupon selama periode tertentu,” kata Pissarides.
Lalu, mengapa pengangguran tetap tinggi sekarang ini di negara maju? Mortensen mengatakan, stimulus ekonomi lebih banyak dikucurkan ke perusahaan besar yang bergerak di sektor keuangan. Padahal, di sisi lain, perusahaan skala menengah AS, yang menampung 66 persen dari seluruh angkatan kerja di AS, tidak mendapatkan akses pendanaan.
Diamond mendukung dana talangan kepada perusahaan keuangan raksasa. ”Jika tidak, keadaan akan lebih buruk. Namun, kini diperlukan bantuan kepada negara-negara bagian, lewat stimulus ekonomi tahap kedua, agar pemerintahan negara bagian bisa mempertahankan sistem penggajian kepada para guru dan petugas pemadam kebakaran api, misalnya.”
Bagaimana aplikasi dari teori mereka pada keadaan di Indonesia? Model DMP tidak saja berguna untuk urusan ketenagakerjaan, tetapi juga bidang lain dalam lingkup ekonomi.
Kita bertanya, mengapa tidak kunjung muncul investor kelas kakap dari luar ke Indonesia, sebagaimana dialami China, padahal semua investor asing bicara soal potensi besar ekonomi yang dimiliki Indonesia?
Ada friksi, sesuai teori friksi versi Diamond. Misalnya, investor asing yang sudah menjajaki keadaan di Indonesia merasa tak diterima oleh Indonesia, sebagaimana dikeluhkan investor Taiwan. Friksi lain, mereka tak menemukan infrastruktur yang baik, tak menemukan pelayanan birokrasi yang baik, serta ketiadaan perusahaan pendukung yang bisa diandalkan.
Mengapa banyak orang miskin di Indonesia? Teori friksi bisa menjelaskannya, yakni karena sistem pendidikan tak pas dan semakin tak terjangkau oleh orang miskin, yang status sosialnya sebenarnya bisa naik lewat pendidikan. (AP/AFP)
***
Peter A Diamond:
• Lahir: 1940 di New York City
• Status: Menikah dengan dua anak
• Meraih gelar doktor tahun 1963 dan kini menjadi profesor ekonomi di universitas yang sama, Massachusetts Institute of Technology (MIT), Cambridge, MA, USA.
• Meraih gelar BA dari Yale University, dengan predikat summa cum laude (1960) (Matematika). Dale T Mortensen
Dale T Mortensen
• Istri: Beverly Mortense
• Lahir: 1939 di Enterprise, Oregon, AS
• Meraih gelar doktor tahun 1967 dari Carnegie Mellon University, Pittsburgh, Pennsylvania, AS
• Profesor di ekonomi Northwestern University, Evanston, Illinois, ASChristopher A Pissarides
Christopher A Pissarides
• Menikah dengan dua anak
• Lahir tahun 1948 di Nicosia, Siprus
• Meraih gelar doktor ekonomi tahun 1973 dan kini menjadi profesor di universitas yang sama, London School of Economics and Political Science, Inggris
Oleh Simon saragih
Sumber: Kompas, 13 Oktober 2010