Kesalahan kebijakan pembangunan memicu kehancuran daya dukung Pulau Jawa sehingga penduduknya di tingkat risiko bencana tertinggi. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana membuktikan, 52 persen bencana nasional terjadi di Jawa.
Banjir dan longsor baru-baru ini terjadi di Purworejo, Kebumen, dan Banjarnegara, Jawa Tengah, menambah buruk posisi pulau tersebut di peta bencana nasional. Ada 56 orang meninggal, 9 orang hilang, 22 orang terluka, dan 395 orang mengungsi.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengemukakan hal itu, Kamis (23/6), di Jakarta. Jawa ialah pulau yang terbanyak dilanda bencana di Indonesia dalam kurun waktu 2002-2016 dengan angka 52 persen, jumlah korban meninggal 12.191 jiwa, dan terluka 203.354 orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Intensitas bencana terbesar kedua terjadi di Sumatera 21 persen, Kalimantan 9 persen, Bali dan Nusa Tenggara 6 persen, serta Maluku dan Papua 2 persen. “Dari jumlah bencana ini, 95 persen merupakan hidrometeorologi, terutama banjir dan longsor,” ujarnya.
Data itu, menurut Sutopo, menunjukkan intensitas bencana di Indonesia berbanding lurus dengan kepadatan penduduk dan tingkat pembangunan suatu wilayah. Artinya, kian banyak intervensi pembangunan dan kepadatan penduduk, intensitas bencananya meningkat. “Jumlah penduduk di Jawa saat ini sekitar 59 persen secara nasional. Sementara PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Jawa terhadap nasional 60,12 persen jika dengan minyak dan gas atau 64,5 persen jika tanpa migas,” ujarnya.
Kebijakan pembangunan
Ahli geologi dan pegiat pengurangan risiko bencana dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno, menyatakan, kenaikan risiko bencana di Jawa mengindikasikan kekeliruan pendekatan pembangunan. Terkait banjir dan longsor di sejumlah daerah di Jawa Tengah, itu mencerminkan kegagalan mengelola sumber daya lahan dan alam berbasis daerah aliran sungai (DAS).
“Masalahnya, pembangunan saat ini tak melihat daya dukung. Bahkan, pembangunan selalu melemahkan daya dukung lingkungan. Ini meningkatkan risiko bencana,” ucapnya.
Dengan bertambahnya penduduk di suatu daerah, kata Eko, seharusnya yang dilakukan ialah pemulihan dan peningkatan kapasitas ekologi. “Namun, yang terjadi saat ini, pembangunan di Jawa melemahkan daya dukung lingkungan,” katanya.
“Pemberian izin industri ekstraktif di Jawa, terutama industri pertambangan, menunjukkan paradigma pembangunan masih eksploitatif. Jawa seharusnya moratorium tambang karena daya dukung ekologinya sudah terlampaui,” katanya.
Menurut Eko, intervensi pembangunan saat ini hanya berorientasi mengambil keuntungan jangka pendek dengan mengabaikan daya dukung lingkungan. Misalnya, dulu hutan di Merapi mencukupi kebutuhan air bagi warga Kota Yogyakarta.
Namun, saat jumlah penduduk di Yogyakarta bertambah dan eksploitasi air tanah dilakukan, hal itu tak diiringi dengan penambahan luas daerah tangkapan air di hulu. Hal yang justru terjadi adalah eksploitasi di kawasan hulu. “Akibatnya, kota-kota seperti Yogyakarta defisit air dan sebaliknya pada musim hujan rentan banjir. Situasi ini juga terjadi di Purworejo dan kota lain di Jawa,” ujarnya. (AIK)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Juni 2016, di halaman 14 dengan judul “52 Persen Bencana Terjadi di Jawa”.