50 Tahun Manusia di Bulan, Menuju Lompatan Berikut

- Editor

Sabtu, 20 Juli 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pendaratan manusia di Bulan pada 50 tahun lalu jadi tonggak bagi ambisi, pengetahuan dan teknologi manusia. Kini, manusia siap kembali ke Bulan sebagai batu loncatan menuju Mars.

“Satu langkah kecil manusia, satu lompatan besar umat manusia.”

Kalimat yang diucapkan Neil Armstrong saat menginjakkan kaki di Bulan itu menandai pencapaian besar manusia. Bukan hanya soal siapa yang menang dalam perang dingin antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet ketika itu, tapi penanda kemampuan manusia menundukkan keterbatasannya demi menaklukkan semestanya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

NASA–Antariksawan NASA Edwin Aldrin berjalan di Bulan. Anggota misi Apollo 11 itu jadi manusia kedua yang mendarat di Bulan pada 20 Juli 1969 setelah Neil Armstrong.

Pendaratan Neil Armstrong dan Edwin Aldrin di Bulan pada 20 Juli 1969 pukul 22.56 waktu timur AS atau 21 Juli 1969 pukul 09.56 WIB memang sebuah lompatan besar bagi manusia. Namun, itu bukan keajaiban karena ada lebih 400.000 orang yang bekerja mendukung mereka selama lebih delapan tahun, mulai dari pembuat kopi, matematikawan, ahli pemrograman, perawat hingga sang antariksawan.

Kini, saat perayaan 50 tahun pendaratan manusia di Bulan, manusia sudah menyiapkan lompatan besar berikutnya. Menginjakkan kakinya di Mars pada tahun 2033. Namun sebelum target ambisius itu terwujud, manusia ingin kembali ke Bulan pada 2024 yang akan jadi lompatan sebelum perjalanan panjang menuju Mars.

Gagasan besar
Misi ke Bulan pertama kali diungkap Presiden AS John F Kennedy di depan Kongres AS pada 25 Mei 1961. Saat itu, ia mengumumkan bahwa AS akan menempatkan antariksawannya di Bulan dan mengembalikan mereka ke Bumi sebelum akhir 1960an.

NASA–Bumi dilihat dari Bulan. Citra diambil oleh antariksawan NASA Bill Anders pada misi Apollo 8.

Janji itu dibuat setelah enam minggu sebelumnya Uni Soviet jadi negara pertama yang mengirimkan antariksawannya ke luar angkasa, Yuri Gagarin. Itu menjadikan AS ketinggalan dua langkah dalam penerbangan ke luar angkasa setelah pada 1957 Uni Soviet juga jadi negara pertama yang mengirimkan satelit.

Pernyataan itu diucapkan Kennedy saat AS baru punya pengalaman 15 menit terbang ke luar angkasa dengan misi berawak. Namun, Kepala Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional AS (NASA) ketika itu, James Webb dan sejumlah pihak berhasil meyakinkannya bahwa AS bisa mengalahkan Soviet dalam perlombaan menuju Bulan.

NASA yakin mampu mewujudkan misi itu selama didukung sumberdaya memadai. Misi Apollo yang berlangsung antara 1960an-1970an itu butuh dana sekitar 25 miliar dollar AS. Jika pendaratan di Bulan itu dilakukan saat ini, biaya yang dibutuhkan diperkirakan bengkak hingga tujuh kali lipat atau 175 miliar dollar.

Jika dikurskan dengan nilai tukar Rp 14.000 per dollar AS, maka biaya pengiriman manusia ke Bulan saat ini mencapai hampir Rp 2.500 triliun. Pada 1965, dana sebesar itu menyerap 5 persen dari pengeluaran pemerintah AS. Jika dilakukan sekarang, seperti dikutip BBC, Jumat (12/7/2019), biaya itu mencapai 10 persen dari belanja AS.

Sepanjang misi Apollo itu, tercatat 33 antariksawan mengangkasa. Di antara mereka, 27 orang mencapai Bulan, 24 antariksawan mengorbit Bulan, dan hanya 12 orang yang berjalan di permukaan Bulan. Sebanyak empat antariksawan masih hidup hingga kini termasuk Edwin Aldrin yang kini berumur 89 tahun.

Gairah sains
Pendaratan Armstrong dan Aldrin diperkirakan disaksikan 650 juta orang dari 3,6 miliar penduduk Bumi saat itu. Sejenak, dunia yang saat itu terpecah dalam Grup Barat dan Grup Timur bersatu menyaksikan keberhasilan manusia mengunjungi Bulan yang selama ini hanya bisa dipandang.

NASA–Antariksawan Apollo 11 Edwin Aldrin menuruni tangga wahana pendarat Eagle untuk menyusul Neil Armstrong yang telah lebih dulu menginjakkan kakinya di Bulan.

Berita keberhasilan manusia memenuhi sebagian ambisinya untuk menaklukkan bagian kecil Tata Surya itu setidaknya menggeser pemberitaan media massa yang kala itu dipenuhi berita Perang Vietnam atau perang dingin antara sekutu AS dan sekutu Uni Soviet.

Dari gambar yang ditayangkan, kondisi Bulan nyatanya tak seindah jika dilihat dari Bumi. Tanah Bulan kering, tandus, dan berbatu. Bulan yang selalu digambarkan sebagai keindahan dan kelembutan, nyatanya penuh bopeng. Di Bulan juga tak ada dewa-dewi, raksasa atau berbagai tokoh mitologi yang digambarkan berbagai kisah dalam banyak budaya dunia.

Kesuksesan itu menginspirasi satu generasi manusia untuk lebih menyukai sains serta mendorong eksplorasi luar angkasa lebih jauh. Hasrat itu turut mendorong teknologi penjelajahan antariksa makin berkembang. Hingga kini teknologi manusia sudah mampu menjangkau pinggir Tata Surya, wilayah Sabuk Kuiper, hingga ruang antarbintang seperti dijalani wahana Voyager 1 dan Voyager 2.

Tak hanya wahana antariksa yang berkembang, demikian pula teknologi roket meski perkembangannya lebih lambat. Roket Saturn V yang digunakan dalam misi Apollo hingga kini masih jadi roket paling kuat. Roket terkuat berikutnya dan masih digunakan saat ini adalah roket Falcon Heavy milik SpaceX.

Namun, kekuatan Saturn V tetap menginspirasi. Teknologi roket itu kembali diadopsi NASA untuk membuat roket terbarunya, Space Launch System (SLS) atau Sistem Peluncur Antariksa. Roket ini diharapkan membawa manusia kembali ke Bulan, bahkan menjangkau asteroid dan Mars.

Tujuan berikutnya
Kini, NASA bersiap kembali ke Bulan. Bukan untuk mengeksplorasinya lagi karena memang tidak banyak yang bisa dilakukan di sana, namun, menjadikan Bulan sebagai batu loncatan menuju Mars.

NASA–Ilustrasi tentang pendaratan kembali manusia di Bulan melalui program Artemis milik NASA.

Kepala NASA Jim Bridenstine dikutip space.com, Selasa (16/7/2019), mengatakan Presiden Donald Trump telah menyatakan perlunya AS mengirimkan manusia dan menancapkan bendera AS di Mars. “Pencapaian itu akan menginspirasi generasi baru, sama seperti generasi sebelumnya yang terinspirasi oleh keberhasilan Apollo,” katanya.

Misi NASA yang ambisius untuk mengirimkan manusia ke Mars adalah Artemis. Program itu dijadwalkan mengirimkan dua antariksawan ke kutub selatan Bulan pada 2024. Salah satu antariksawan itu ditargetkan seorang perempuan karena dari 12 antariksawan yang menginjakkan kaki di Bulan semuanya laki-laki.

Kutub selatan Bulan diperkirakan memiliki molekul air hingga bisa dijadikan transit, termasuk pengisian bahan bakar, sebelum roket manusia menuju Mars. Jika semua berjalan sesuai rencana, termasuk pendanaan yang belum jelas besarannya, pendaratan manusia di Mars itu ditargetkan bisa terjadi pada 2033.–M ZAID WAHYUDI

Editor EVY RACHMAWATI

Sumber: Kompas, 20 Juli 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB