UNIVERSITAS Indonesia (UI) genap berusia 45 tahun pada tanggal 2 Februari tahun ini. Pada kehidupan manusia usia 45 tahun umumnya sudah bisa dikatakan lebih dari pada dewasa meskipun ada ungkapan di sebagian orang bahwa life begins at 40.
Bagi UI yang kini berkampus di Depok Jawa Barat, ungkapan hidup ini dimulai pada usia 40 agaknya sebagian berlaku juga untuk UI. Baru di atas usia 40 tahun itulah semua fakultas akan diupayakan bisa berkumpul di kampus Depok setelah sekian lama terpencar di Rawamangun dan Salemba.
Sejak resmi pindah ke Depok pada tahun 1987 sampai dengan tahun 1995 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fak. Hukum, Fak. Ekonomi, Fak. Sastra, Fak. Psikologi, Fak. Kesehatan Masyarakat, Fak. Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, dan Fak. Teknik sudah melaksanakan kegiatannya di Depok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sedangkan Fakultas Kedokteran, Fak. Kedokteran Gigi, Kantor Pusat Pascasarjana dan Program Magister Manajemen masih berlokasi di kampus Salemba, Jakarta Pusat.
Kepindahan UI ke Depok memang sudah direncanakan sebelum tahun 1980. Salah satu alasannya antara Iain untuk mempermudah integrasi keseluruhan sivitas akademlka UI. Oleh karena itulah di masa kepemimpinan Prof Dr Mahar Mardjono sebagal rektor UI (1973-1982) desain dan perencanaan kampus Depok sudah disusun sedemikian rupa sehingga akan bisa mengintegrasikan seIuruh keluarga besar UI. Mahasiswa di universitas ini sekarang 25.484 orang.Jumlah lulusan termasuk yang diwisuda akhir Januari lalu sebanyak 340.084 orang baik sarjana maupuh pasca sarjana, politeknik dan program non-gelar.‘
”Dulu maksud saya untuk integrasi itu, bahwa dari Salemba yang terpisah, kita kemudian membuat suatu kampus yang lain, yaitu kampus yang terintegrasi. Dalam kata lain ada beberapa yang bisa dipakai bersama-sama, misalnya perpustakaan pusat, ruang olahraga, ruang kuliah yang bisa dipakai semua fakultas,” jelas Mahar.
Untuk itu sudah dipikirkan bahwa agar jarak antarbangunan tidak terlalu jauh. Bahkan dalam maket yang sudah dibuat terlihat bahwa fakultas-fakultas dan rektorat berada dalam satu koridor besar. Desain bangunan seperti itu diungkapkan Mahar, memang mirip dengan Universitas Kebangsaan di Bangli, Malaysia.
”Dari satu fakultas satu ke fakultas lainnya tidak perlu keluar, sehingga kalau hujan para mahasiswa bisa tenang berjalan dari bangunan satu ke bangunan lain. Dengan itu juga maka mahasiswa dan dosen lebih dekat satu sama lain,” katanya. Di samping soal bangunan Mahar manambahkan dulu juga dipikirkan ada beberapa mata pelajaran yang sebetulnya bisa dikelola oleh satu fakultas untuk fakultas lain. Misalnya di Kedokteran ada ilmu-ilmu dasar biologi,fisika, kimia. ”Dulu karena sejarahnya Fakultas Kedokteran (FK) yang paling tua, maka FK punya staf sendiri untuk mengajar ilmu-ilmu itu. Kalau melalui pola integrasi, maka kita ambil orang-orang yang ahli dari MIPA untuk memberi kuliah di FK, tentu dengan tambahan pengetahuan untuk kedokteran,” tuturnya.
Harapan dan cita-cita integrasi itu, kini memang mulai mewujud di Kampus Depok melalui pendirian sejumlah bangunan megah. Akan tetapi apakah integrasi sudah terjalin di UI? Kalau pertanyaan itu diajukan ke Mahar, dia menjawab bahwa integrasi di UI sampai saat ini belum terjadi.
”Sekarang yang terjadi di Depok sama dengan yang terjadi di Salemba dulu. Masing-masing fakultas saling berjauhan satu sama lain. Integrasi di UI sekarang ini belum terjadi,” ungkap Mahar.
Mantan rektor yang memimpin UI di masa pergolakan Malari dan NKK/BKK itu menuturkan, jauh sebelum diangkat sebagai rektor Mahar sudah menginginkan UI bukan hanya kumpulan fakultas saja melainkan merupakan perguruan tinggi nasional yang mempunyai wibawa nasional.
Tapi yang terjadi sampai sekarang menurut Mahar, adalah orang-orang UI diambil oleh industri atau pemerintahan sementara universitasnya sendiri kehabisan orang karena tenaga intelektualnya tidak lagi mengabdikan dirinya di UI. Itu artinya UI baru mampu menghasilkan individu-individu yang bisa menonjol di tingkat nasional maupun internasional. Akan tetapi sebagai sebuah lembaga UI belum banyak bisa menampikan diri.
INTEGRASI memang merupakan program strategis jangka pendek dan jangka panjan bagi UI. Hal itu disampaikan langsung oleh Rektor UI saat ini, Prof dr MK Tadjudin. Upaya untuk mewujudkan integrasi itu terus dilakukan bersama-sama dengan peningkatan kualitas pendidikan secara umum.
Akan tetapi, diakui juga oleh Tadjudin, integrasi bukan persoalan yang mudah. Untuk mewujudkannya tidak bisa dilakukan secara sekaligus melainkan harus secara bertahap. Oleh karena itulah kini di UI dikembangkan upaya dalam rangka menumbuhkan integrasi. Antara lain melalui pendaftaran mahasiswa terpadu mulai semester genap tahun 1995, dan pembentukan unit pelaksana teknis (UPT) tersendiri untuk menangani mata-mata kuliah umum, yaitu Kewiraan, Agama, Ilmu Budaya Dasar, dan Ilmu Sosial Dasar.
”Sebelumnya memang tidak terintegrasi seperti itu. Mulai tahun ajaran ini, pelaksanaannya akan terpadu,” ungkapnya. Di bidang pengabdian kepada masyarakat, ditambahkan Rektor UI, sudah dipikirkan pula untuk mengembangkan kebijakan satu pintu. ”Pengabdian masyarakat selama ini ada yang dilakukan terpusat, tetapi ada juga yang dilakukan oleh unit-unit. Kami saat ini sedang mencoba menginventarisasi pelayanan apa saja yang bisa diberikan kepada masyarakat, sehingga akan lebih efektif. Ini juga dalam rangka menumbuhkan keterpaduan antar mahasiswa dalam melaksanakan pengabdian kepada masyarakatnya,” jelas Tadjudin.
Untuk perencanaan seluruh fakultas di Kampus Depok Rektor UI yang guru besar di bidangi ilmu kedokteran itu mengungkapkan, pada masa datang memang direncanakan pula untuk memindahkan Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi ke Depok. Persoalannya adalah kedua fakultas itu harus dekat dengan rumah sakit sebagai tempat praktek utamanya. ”Oleh karena itu kami akan mengkonsolidasi fakultas yang sudah ada dulu. Kalau dananya sudah memungkinkan, kami akan mencoba membangun rumah sakit di Depok, sehingga kedua fakultas kedokteran itu bisa pindah juga,” katanya.
Integrasi di bidang keilmuan, dijelaskan Prof Dr Juwono Sudarsono –mantan dekan FISIP UI, saat ini terus dilanjutkan sebagaimana konsep integrasi yang disampaikan Mahar Mardjono ketika menjabat sebagai rektor UI. “Kami terus mengembangkan ilmu-ilmu yang betul-betul integral,” ungkapnya.
UNIVERSITAS Indonesia yang integral memang bukan dambaan sivitas akademika UI semata, tetapi juga dambaan masyarakat di sekitarnya yang mengharapkan lebih banyak lagi sumbangan pemikiran UI terhadap keadaan yang terjadi di sekitarnya.
Ke dalam, terpadunya UI penting untuk menghadapi tantangan berat, yang menurut Juwono, mulai merasuki perguruan tinggi di mana pun. Tantangan berat itu adalah apa yang diungkapkan juga oleh Mahar, yaitu ditariknya para lulusan terbaik ke sektor-sektor di luar pendidikan terutama sektor-sektor industri.
Juwono melihat penyebab gejala itu adalah lebih cepatnya perkembangan di luar kampus dibandingkan dengan di dalam kampus. Daya tarik yang begitu besar dari luar kampus, antara lain melalui kesempatan mengembangkan diri dan meraih penghasilan lebih besar, merupakan hukum pasar yang tidak bisa dicegah. Untuk itulah link and match perlu ditumbuhkan sehingga kesempatan untuk bekerjasama dengan lingkungan di luar kampus terbuka tanpa harus mengorbankan jam medidik di kampus.
“Itu bisa dilakukan kalau masing-masing fakultas pikirannya sama. Kalau masing-masing perpikiran sendiri-sendiri, dan maju sendiri sedangkan yang lain ketinggalan, maka tidak akan bisa. Itu makanya integrasi penting. Itu yang saya impikan,” ungkap Mahar.
Untuk bisa ”melawan” tantangan yang begitu besar dari lingkungan di luar kampus itu, menurut Mahar, semuanya harus dikembalikan kepada integrasi seluruh sivitas akademika. Semua memang tergantung kepada UI sendiri. Para pimpinan, staf pengajar, staf administrasi, mahasiswa, alumni harus mengembangkan sikap untuk saling berintegrasi. Jangan lagi karena merasa di atas angin, sebuah fakultas enggan untuk berintegrasi dengan lainnya. Ini memang tugas berat bagi para pimpinan pasukan jaket kuning. Memang butuh waktu. Namun hendaknya persoalan yang sama jangan sampai masih menjadi ”beban” UI di usianya yang setengah abad, lima tahun mendatang.(Rakaryan Sukarjaputra/Salomo Simanungkalit)
Sumber: Kompas, 2 Februari 1995