Pengguguran kandungan tidak aman karena sulit mengakses layanan kesehatan masih terus terjadi. Hal itu berkontribusi pada tingginya angka kematian ibu.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2007 menyebutkan, aborsi tidak aman menyumbang 14 persen angka kematian ibu (AKI). Menurut studi dokter spesialis obstetri dan ginekologi Gulardi Wignjosastro, aborsi tidak aman berkontribusi 11-50 persen terhadap AKI.
Terkait hal itu, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) mendorong agar layanan pengguguran kandungan atau aborsi secara aman diperluas. Tujuannya adalah meningkatkan akses perempuan dengan kehamilan tidak diinginkan. “Harapannya, layanan aborsi aman tidak hanya di kota besar,” kata Ketua Pengurus Nasional PKBI Sarsanto Wibisono Sarwono dalam jumpa pers, Jumat (4/12), di Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Perempuan yang tidak mau meneruskan kehamilan akan melakukan segala cara untuk menggugurkan kandungan,” ujarnya. Di 12 klinik milik PKBI, lebih dari 50 persen pasien menggugurkan kandungan dengan beragam cara sebelum ke klinik itu. Cara yang ditempuh antara lain minum jamu ataupun obat serta pergi ke dukun.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan melarang aborsi kecuali dengan dua syarat, yakni ada indikasi kedaruratan medis mengancam nyawa ibu atau janin serta kehamilan akibat pemerkosaan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, indikasi kedaruratan medis mencakup ancaman terhadap kesehatan ibu dan janin.
Sekretaris Pengurus Nasional PKBI Ramona Sari menyebutkan, dari 32.729 klien di klinik PKBI, 83,4 persen ialah perempuan menikah. “Alasan terbanyak menggugurkan kandungan ialah punya cukup anak, yaitu jarak usia anak terlalu dekat, gagal program KB, dan persoalan ekonomi,” ujarnya. (HRS)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Desember 2015, di halaman 13 dengan judul “Aborsi Tak Aman Memicu Kematian Ibu”.