Air adalah sumber kehidupan, kita semua sudah tahu. Bukan cuma kesulitan yang didapat, tetapi terbatasnya air juga bisa menjadi sumber perselisihan. Demikianlah pula kondisi Desa Mandalamekar, Kecamatan Jatiwaras, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Puluhan mata air mulai mengering. Air di sembilan mata air tak deras lagi dan puluhan hektar lahan tidur tak terurus.
Kondisi yang memprihatinkan seperti itu tidak serta-merta terjadi begitu saja. Ulah manusia yang tidak bersahabat dengan alam berbalas langsung dari alam itu sendiri, termasuk sulitnya air bersih. ”Penebangan kayu tanpa aturan oleh sebagian anggota masyarakat atau pengusaha membuat banyak pohon besar di sekitar Desa Mandalamekar habis ditebang,” kata Yana Noviadi (45), warga Mandalamekar.
Yana mengatakan, aktivitas itu memicu banyak masalah. Sudah diduga, hilangnya pohon besar membuat daerah resapan air berkurang. Debit air yang terus menurun pun mulai menghantui masyarakat. Persediaan air bersih semakin menurun. Sebaliknya, hujan lebat pun menyimpan kekhawatiran akan membawa longsor dan mengancam sekitar 3.370 warga yang tinggal di kaki Pasir Bentang dan Pasir Badak di kawasan Kecamatan Jatiwaras, Kabupaten Tasikmalaya, itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tidak hanya itu, terbatasnya air juga sering kali memicu perselisihan horizontal antarmasyarakat. Tidak jarang petani merusak saluran air petani lainnya demi mendapatkan air lebih banyak untuk mengairi sawah atau ladangnya. Ironisnya, hal itu dilakukan tanpa rasa bersalah.
Mitra alam
Desa Mandalamekar adalah salah satu wilayah terpencil di Kabupaten Tasikmalaya. Jaraknya sekitar 40 kilometer atau sekitar dua jam perjalanan dari pusat kota. Untuk mencapai kawasan itu, kita harus melewati jalanan rusak dan berbukit-bukit. Desa tersebut dibentuk tahun 1978, dengan luas mencapai 709 hektar. Kini jumlah penduduk di kawasan itu tercatat 3.370 orang. Sebagian besar warga adalah petani kebun dan pembuat gula aren.
Atas dasar keprihatinan yang melanda desa itu, 10 pemuda desa berkumpul untuk mencari cara bagaimana meminimalkan agar persoalan lingkungan di desa itu tidak semakin parah. Mereka lalu membentuk Kelompok Masyarakat Peduli Lingkungan ”Mitra Alam Munggaran” dan mulai berbenah tahun 2002. Para anggotanya sepakat mendaulat Yana sebagai ketua.
Mereka kemudian secara intens melakukan berbagai diskusi dan rembuk desa untuk mencari jalan keluar. Permasalahan dan masa depan desa jika hutan terus dirusak menjadi isu utama. Tidak berhenti pada wacana, para anggota Mitra Alam Munggaran pun mulai melakukan tindakan nyata. Mereka melakukan pemetaan lahan hijau, program bersih sungai, hingga penanaman pohon di lahan tidur. Melihat aksi mereka, banyak warga yang lantas peduli. Namun, ada juga yang mencibir dan tidak peduli.
”Perlahan semakin banyak warga yang mau ikut terlibat. Bila tadinya harus diminta, kini warga secara sukarela menanam pohon. Mereka mulai sadar dengan bahaya dan manfaat terkait keberadaan pohon serta air,” kata Yana.
Kampanye pelestarian lingkungan semakin gencar dilakukan saat Yana terpilih sebagai Kepala Desa (Kades) Mandalamekar periode 2007-2013. Imbauan menanam pohon semakin sering ia sampaikan kepada warga dalam berbagai kegiatan. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah pembibitan pohon dengan menggunakan polybag. Pohon yang dikembangkan berasal dari jenis beringin, picung, dan mahoni.
Tidak itu saja. Yana juga melarang warga desanya untuk melakukan jual beli pohon aren. Aren dinilai baik untuk menyimpan air dan pohonnya bisa disadap penduduk untuk diolah menjadi gula.
Pertemuan Yana dengan Yossy Suparyo—penggiat teknologi informasi pedesaan dan penggiat kesejahteraan desa—menginspirasinya mengembangkan media literasi. Yana kemudian mengembangkan radio komunitas, blog, hingga website menggunakan peranti lunak bebas dan terbuka yang berbasis teknologi dan informasi.
Radio komunitas yang menggunakan kanal 107,8 FM dan diberi nama Ruyuk FM itu dibuat tahun 2007. Dalam bahasa Sunda, ruyuk diartikan ’hutan kecil’. Ide besarnya, radio ini dijadikan sebagai sarana komunikasi warga desa di tengah hutan untuk melestarikan alam sekitarnya. Setiap hari, pukul 18.00-23.00, Ruyuk FM menyebarkan informasi pengetahuan dan keterampilan mengenai pengolahan sumber daya alam, penggunaan bahasa Sunda, kesenian, isu lingkungan, kesehatan, dan perempuan.
”Warga juga dilatih menulis di www.mandalamekar.wordpress.com dan www.mandalamekar.or.id. Mereka bebas mengungkapkan aspirasi dan usulan bagi pembangunan desa,” katanya.
Perjuangannya bersama warga desa tidak sia-sia. Kini, 4 air terjun, 9 goa, dan 81 mata air berhasil diselamatkan. Lahan tidur seluas 81 hektar pun berhasil dihutankan.
Pengembangan teknologi informasi juga membawa perbaikan bagi pelayanan publik dan pemerintahan bersih. Pengawasan dan pelayanan publik bisa dilakukan secara online dan dilihat di mana saja. Bahkan, aplikasi serupa dilakukan di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, serta Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta, dengan nama Gerakan Desa Membangun, sekitar setahun lalu.
”Dari tiga desa, kini ada sekitar 200 desa dari Jabar, Jateng, dan Yogyakarta yang tertarik pada gerakan itu. Untuk memfasilitasinya, kami menggelar Festival Jawa Selatan yang membicarakan pentingnya teknologi informasi di daerah terpencil pada 2-5 Juni 2012,” katanya.
Kemandirian Mandalamekar menjadi perhatian banyak pihak. Tahun 2009 dan 2010 Desa Mandalamekar menjadi juara Konservasi Alam dan Penghijauan Tingkat Kabupaten Tasikmalaya. Provinsi Jabar juga menetapkan Mandalamekar pada posisi terbaik kedua dalam lomba konservasi tingkat Jabar. Bahkan, Irman Meilandi, salah seorang warga Mandalamekar, berhasil mendapatkan Seacology Award 2011 dari Seacology, lembaga nirlaba bidang lingkungan dari Amerika Serikat.
”Saya bersama warga Desa Mandalamekar berharap kiprah kami bisa memberi semangat pada daerah lainnya. Khusus bagi desa terpencil di selatan Jawa, sudah saatnya kita maju dan menghentikan marjinalisasi yang terjadi,” katanya.
Cornelius Helmy Herlambang
Sumber: Kompas, 6 Juni 2012