Wawancara Andi Hakim Nasution: “Dengan Matematika, Orang Tak Jadi Papan Selancar Politik”

- Editor

Senin, 3 Januari 2000

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Di sebuah rumah tua yang tenang, di kawasan Ciwaringin, Bogor, Andi Hakim Nasution seperti selalu kembali ke masa lalu. Di rumah itu, ayahnya, Anwar Nasoetion Gelar Mangaraja Pidoli—seorang dokter hewan pada zaman Belanda—membesarkan Andi Hakim. Di antara ruang-ruang rumah yang penuh kenangan, Andi seperti tak henti menyimak kembali ajaran-ajaran ayahnya yang adalah juga seorang peneliti. Salah satu wasiat Anwar kepada Andi adalah: tekunilah ilmu pertanian agar cepat mendapat kerja. Anak sulung dari lima bersaudara itu menjalankan wasiat sang ayah dengan patuh. Hasilnya? Ia bukan cuma cepat bekerja selepas kuliah. Lebih dari itu, “ilmu pertanian” ternyata mengantarkan Andi ke tingkat kemasyhuran yang layak diperoleh seorang cendekiawan.

Pria yang lahir pada 30 Maret 1932 ini melewatkan masa kanak-kanaknya di Bogor. Di sana pula ia meraih gelar insinyur pertanian dari IPB pada 1958 dengan predikat cum laude. Sedangkan gelar doktor diraihnya dari North Carolina State University, AS, pada 1964. Setahun kemudian, Andi kembali ke Tanah Air dan resmi menjadi dosen IPB justru ketika kampusnya sedang bergolak gara-gara perang ideologi—menjelang peristiwa berdarah G30S. Pada 1965, Andi diangkat menjadi dekan Fakultas Pertanian (Faperta) IPB hingga 1969.

Ayah tiga anak ini sempat menjadi direktur pendidikan sarjana (1971) dan direktur sekolah pascasarjana di kampus tersebut sebelum menjadi rektor IPB selama dua periode (1978-1987). Sebagai dosen, keberhasilannya tak diragukan lagi. Namun, yang mengangkat nama Andi Hakim begitu tinggi adalah karirnya sebagai guru besar statistika dan genetika kuantitatif—dua ilmu yang selalu ada dalam pikirannya dan karya-karya ilmiahnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ia adalah satu dari amat sedikit ahli statistika dan matematika yang hebat di negeri ini. Ia mendesain dan merintis pengajaran statistika dan matematika dengan cara yang seharusnya: membuat orang berpikir logis, bukan sekadar memahami perihal hitung-menghitung. Tulisan ilmiahnya tersebar di berbagai buku dan artikel, antara lain Daun-Daun Berserakan, Reaching The Best, Landasan Matematik, Aljabar Matrik, dan Teori Statistika. Metode Statistika ditulisnya dalam edisi Indonesia dan Inggris. Menulis memang bukan hal baru baginya. Pada usia 18 tahun, ia menulis buku fiksi berjudul Anak-Anak Bintang Pari.

Dalam usia 67, kegiatan Andi masih padat. Ia kini menjabat rektor Sekolah Tinggi Teknologi Telkom Bandung dan masih mengajar di IPB. Ia juga tetap menulis artikel dan buku, termasuk sebuah buku dakwah. Salah satu keunggulan Andi Hakim adalah ingatannya yang numerik dan kognitif. Ia lektor luar biasa pertama IPB untuk matematika. Tak mengherankan, guru besar ini masih menjadi Ketua Dewan Juri Lomba Penelitian Ilmiah Remaja sejak 23 tahun lalu, serta membimbing anggota Tim Olimpiade Matematika Indonesia.

Namanya juga mengingatkan orang pada berbagai inovasi dalam dunia pendidikan, seperti pembagian pendidikan tinggi dalam tiga strata dan seleksi masuk ke universitas tanpa melalui ujian masuk.

Dua pekan lalu, di rumah tua yang penuh jejak masa lalu itu, Andi Hakim, yang tampak sehat dan awet muda, menerima wartawan TEMPO I Gusti Gede M.S. Adi untuk sebuah wawancara khusus.

Petikannya:

Anda merintis penerimaan mahasiswa tanpa tes di IPB sejak 1976. Bagaimana awal lahirnya ide tersebut?

Ide itu sudah ada sebelumnya. Tapi calon mahasiswa yang dikirim memakai rekomendasi dari mana-mana, seperti gubernur. Ini berbahaya karena bisa menumbuhkan kolusi. Ketika itu saya diangkat menjadi ketua program penerimaan mahasiswa baru IPB 1975. Rektor IPB ketika itu memerintahkan agar IPB menerima seribu mahasiswa untuk tahun ajaran baru.

Kenapa jumlahnya sedemikian melonjak? Kan, IPB biasanya hanya menerima 200 mahasiswa.

Itu permintaan DPR. Menurut mereka, menerima 200 orang tidak seimbang dengan subsidi pemerintah. Tapi saya bilang kepada rektor, calon itu tidak bisa diambil begitu saja karena kita akan menjadi tempat sampah. Tapi rektornya ngotot: pokoknya harus seribu. Akhirnya, saya ajukan kenaikan bertahap, 500 orang tahun pertama dan terus naik sampai 1.000 orang. Saya minta otoritas untuk mengerjakan semua itu menurut cara saya.

Bagaimana menentukan SMA yang layak mengirim siswa terbaik?

Begini. Setiap ujian, mahasiswa saya minta mencantumkan asal dan alamat sekolah di bagian bawah kertas ujian. Kalau sampai ke tingkat empat mahasiswa itu nilainya bagus terus, saya tinggal mengundang sekolah itu untuk mencalonkan siswanya ke IPB—dengan harapan para siswa itu mengikuti jejak kakak-kakaknya. Metode ini berkembang sampai sekarang.

Jika dibandingkan dengan calon yang masuk lewat Sipenmaru (Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru), bagaimana prestasi mereka?

Kalau di IPB, rata-rata lebih bagus. Dari data, kita bisa melihat bahwa siswa yang masuk tanpa tes biasanya dari ibu kota kecamatan. Sedangkan para siswi berasal dari kota-kota besar. Rupanya, di kota kecamatan, menyekolahkan anak perempuan belum jadi prioritas utama.

Apakah ada pejabat yang pernah menitipkan anaknya di IPB melalui program PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan, program masuk tanpa tes) kepada Anda?

Ada. Tapi saya lihat dulu. Kalau nilainya bagus, ya, boleh masuk. Terus terang, pernah ada peristiwa di Akademi Pertanian Ciawi yang melahirkan ide program masuk tanpa tes ke IPB. Sekali waktu, saya mendapat surat dari bupati Kabupaten Curup, Bengkulu. Dalam surat itu, ia mengajukan calon yang katanya satu-satunya calon terbaik kabupaten. Ternyata, nilai anak itu jelek sekali. Sehari sesudah penutupan, seorang siswa berbaju lusuh menemui saya. Ia ingin melamar ke Akademi Pertanian. Pendaftaran sudah tutup. Tapi saya sempatkan melihat rapornya. Bagus. Dan anak ini berasal dari Kabupaten Curup, Bengkulu.

Ha-ha-ha…, jadi bupati itu ternyata “keliru” merekomendasi. Lalu apa yang Anda lakukan pada siswa berbaju lusuh itu?

Saya bilang ke dia supaya melamar dengan mencantumkan tanggal sebelum penutupan. Saya suruh dia agar mengotori sedikit amplopnya dan saya beri catatan surat itu diterima dalam keadaan rusak. Untung, ia mau berbohong dan akhirnya diterima.

Jadi, Anda berdua sama-sama berbohong?

Ya, saya juga berbohong. Dan Anda tahu siapa anak itu? Profesor Mahfuddin Syakhranie. Sekarang ia guru besar kelautan di Universitas Diponegoro, Semarang.

Apakah Anda kerap mengalami kejadian seperti ini?

Ada saja. Peristiwa lain terjadi saat ujian saringan masuk IPB pada 1974. Seseorang datang kepada saya dan bilang, “Pak, saya ini orang jauh dan tidak bermaksud jadi mahasiswa. Bapak saya pensiunan kepala SD, ibu saya pensiunan guru SD. Jadi, mereka tidak akan kuat membiayai saya. Saya cuma ingin tahu apakah otak saya termasuk kelas yang bisa masuk IPB. Saya membiayai sendiri pendaftaran dari tabungan hasil menulis di majalah berbahasa daerah.”

Apa jawab Anda?

Saya pikir, kalau karangannya sudah pernah dimuat di majalah, berarti anak ini punya pikiran yang runtun dan logikanya bagus. Saya buka-buka dokumen yang dia bawa. Ternyata dia seorang pelajar teladan dari Jawa Barat. Saya lantas meminta rektor membebaskan SPP-nya. Lalu saya tulis surat ke bupatinya agar membiayai perjalanan siswa tersebut ke Bogor serta memberikan biaya selama 3 bulan pertama. Selanjutnya, IPB yang akan mencarikan beasiswa buat dia.

Bagaimana hasilnya?

Dia lulus cum laude dalam waktu empat tahun. Setelah itu, ia mengambil gelar master di Amerika. Tadinya, saya pikir dia tidak ingat saya lagi. Ternyata, begitu selesai program doktor, ia datang ke saya sembari membawakan disertasinya. Sekarang anak ini menjadi eselon satu di salah satu departemen dan menjadi pejabat tinggi termuda yang pernah diangkat departemen.

Mengapa Anda berani “potong kompas” untuk menolong anak-anak cerdas seperti ini?

Ini cara saya membayar utang kepada profesor dan dosen-dosen saya. Profesor Boudoin, misalnya, adalah salah satu guru saya. Dulu, ia tukang kebun yang bekerja di Hugo de Vreis, peraih Hadiah Nobel biologi dari Utrecht, Belanda. Sewaktu De Vreis mengajar, si Boudoin mengintip setiap hari dan ikut mencatat di luar jendela. Catatan tukang kebun yang cuma lulus SD itu ternyata lebih rapi ketimbang catatan para mahasiswa. Akhirnya, De Vreis mendidiknya secara pribadi hingga mencapai guru besar.

Mamiek Soeharto, putri mantan presiden Soeharto, barangkali model “kasus” yang lain. Dia masuk Jurusan Statistika IPB—saat Anda masih menjabat rektor—padahal ada pendapat, kemampuannya sangat tidak layak masuk statistika. Apa komentar Anda?

Ha-ha-ha…, yang saya tahu, Mamiek biasanya tidak akan menyelesaikan soal-soal ujian berhitungnya. Tapi logika berpikirnya tetap bagus. Ia menulis skripsi yang membandingkan anatomi tungkai kaki orang Irian, Pengalengan, dan Siantar, memakai metode statistika.

Anda menerima tawaran menjadi rektor IPB pada 1978. Apakah ini juga cara “membalas jasa” kepada para guru besar?

Begini ceritanya. Suatu ketika, menjelang pemilihan rektor, saya dipanggil Daoed Joesoef (Menteri P dan K 1978-1983). Ia meminta saya menjadi kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan (Litbang) di P dan K, bukan rektor IPB.

Dan Anda menolak?

Saya bilang, banyak yang bisa jadi kepala Bagian Litbang tapi tidak banyak yang bisa jadi guru besar statistika. Saat itu, saya satu-satunya guru besar statistika. Kalau tidak jadi rektor pun, tidak apa-apa.

Anda, toh, tetap dicalonkan dan berhasil menjadi rektor IPB, bahkan dalam dua periode.

Ya. Saya tidak melihat prosesnya karena sedang mengantar anak saya ke dokter gigi ketika pemilihan itu berlangsung. Sjarifudin Baharsjah (Menteri Pertanian 1993-1998) yang pertama menyalami saya karena terpilih sebagai rektor IPB.

Bukankah Anda menang dengan suara telak?

Kemenangan saya sangat besar, 250 : 40 suara. Lama-lama saya tahu apa alasannya. Ketika itu keadaan sedang kacau. Mereka mengangkat saya sebagai rektor saat dunia kampus Indonesia bergolak karena program NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) 1978-79 yang mensterilkan kampus dari politik. Jadi, ini seperti tahun 1966, saat saya diangkat sebagai dekan Faperta, selepas ribut-ribut G30S-PKI.

Sebagai rektor IPB, apa sikap Anda terhadap penerapan NKK/BKK?

Saya katakan pada mahasiswa-mahasiswa itu, silakan ngomong apa saja tapi yang bisa diterima logika. Kalau enggak ada logikanya, buat apa? Saya harus keras sama mereka dan jangan sampai “membakar rumah sendiri”.

Maksud Anda?

Kalau IPB ditutup, mereka mau apa? Banyak yang protes. Dalam acara pelantikan sarjana, mereka mengusung keranda bertuliskan “Demokrasi Sudah Mati di Kampus Ini.” Saya katakan kepada mereka, demokrasi sudah mati di Indonesia, bukan di kampus ini. Kampus tidak lagi bisa menjadi suaka di tengah-tengah keadaan seperti itu.

Anda juga melarang mahasiswa memakai cat kuning di kampus IPB. Apa karena jengkel dengan Golkar?

Waktu itu, Lawalata IPB (kelompok mahasiswa pencinta alam) memang saya larang pakai warna kuning karena asosiasinya, kan, Golkar. Pokoknya, pada zaman saya, semua partai politik tidak boleh masuk ke kampus.

Jadi, Anda berusaha agar kegiatan akademis tetap berlangsung. Tapi, apakah tidak ada yang protes?

Tentu ada. Suatu ketika, ada yang datang kepada saya dan menanyakan, setelah sekian lama menjadi birokrat, apakah saya masih seorang ilmuwan. Saya jawab, soal ilmuwan atau tidak itu orang lain yang menilai. Tapi menjaga agar kegiatan akademis tetap berlangsung secara optimal adalah tugas saya sebagai rektor.

Tampaknya, itu memang periode yang kacau. Bagaimana menurut Anda?

Memang. Suatu siang seorang menteri—lulusan IPB—menelepon ke kantor saya. Mula-mula ia memuji melulu sehingga saya langsung waspada. Eh, benar. Buntutnya, dia menyuruh saya agar menekan Aunu Rauf, seorang dosen di Faperta, agar tidak bicara soal hama kutu loncat lagi. Waktu itu Aunu diwawancarai Kompas soal kutu loncat.

Anda mengabulkan permintaannya?

Tentu tidak. Saya katakan kepadanya, dosen itu hanya menjalankan kewajibannya sebagai ilmuwan. Dan kalau ia terus memaksakan kehendak, mau dikemanakan integritas akademik almamaternya? Akhirnya, ia minta maaf.

Mengapa menteri itu sedemikian memaksa?

Masalahnya, wereng cokelat itu kan dibawa ke Indonesia oleh mantan Presiden Soeharto tanpa vektornya dan tanpa karantina. Ketika terjadi wabah, kita tidak tahu apa obatnya.

Omong-omong soal menteri, benarkah Anda dicalonkan menggantikan almarhum Nugroho Notosusanto (Menteri P dan K 1983- 1985), tapi ditolak karena punya friksi dengan penguasa saat itu?

Tidak. Tapi, kalau Anda punya musuh besar dan ingin ia tersiksa di dunia, doakanlah dia menjadi menteri pendidikan.

Kenapa begitu?

Sebab, siapa pun yang jadi menteri, pasti tidak akan bisa berbuat apa-apa. Kondisi pendidikan kita sudah seperti benang kusut yang kita tidak tahu lagi harus diurai dari mana. Kita ini menganggap orang Indonesia paling pintar di dunia, jadi semuanya harus masuk ke perguruan tinggi.

Mengapa? Karena kita tidak pernah mengajarkan alternatif lain di luar perguruan tinggi?

Persis. Di Vietnam saja, hanya lulusan SMU yang nilainya baik yang boleh masuk perguruan tinggi. Sebagai gantinya, mereka menyediakan sekolah kejuruan yang bagus sehingga keluar dari situ bisa bekerja. Contoh lain adalah Amerika. Masuk perguruan tinggi bukan lagi jadi cita-cita utama. Banyak juga yang ingin menjadi manajer pompa bensin atau sopir bus.

Mengapa anak-anak muda Amerika tertarik dengan “pekerjaan kasar”?

Untuk apa dia capek-capek kuliah kalau penghasilannya sama dengan orang sekolahan? Pada 1964, misalnya, gaji seorang sopir trailer adalah US$ 30 ribu per tahun tapi naiknya agak lambat. Sedangkan gaji permulaan seorang doktor US$ 10 ribu per tahun dengan dua bulan libur dan naiknya cepat, tergantung juga proyek yang mereka kerjakan. Kalau keduanya kita integralkan, gaji total selama hidup keduanya akan sama.

Tapi ini bukan tanpa akibat jelek: bukankah mahasiswa yang pintar di AS sekarang adalah orang-orang asing?

Betul. Tapi lihat juga akibat dari tidak adanya pendidikan alternatif. Di Indonesia, bus akan disopiri orang yang tidak mengerti fisika. Sudah jelas kecepatan maksimumnya 100 kilometer per jam—artinya jarak amannya 100 kilometer—tetap saja ia mengebut. Atau, ketika pesawat mendarat, orang Indonesia sudah berdiri ambil koper, walau tanda sabuk pengaman masih menyala. Kalau kita tahu kaidah fisika, kita akan paham massa kita relatif kecil dan velositasnya besar. Dan semua akan terpelanting kalau pilot mengerem kendati pesawatnya berjalan lambat.

Tentang pengajaran matematika. Pernah terjadi perdebatan di DPR agar matematika tidak boleh diajarkan di SD dan hanya berhitung. Apa pendapat Anda?

Ada dua kesalahan dalam pemikiran itu. Pertama, berhitung adalah bagian dari matematika. Kedua, mereka menganggap berhitung bagian dari pengajaran kemampuan penilaian kuantitatif. Itu tidak benar. Karena kemampuan kuantitatif adalah kemampuan menafsirkan apa yang ada di balik angka. Jadi, guru harus tahu apa yang mereka ajarkan.

Seburuk apa pengalaman Anda dalam mengajar matematika?

Saya kasih Anda satu contoh. Sekali waktu, saya memberikan materi matematika untuk para dosen fakultas pertanian di sebuah universitas negeri di Malang. Saya ajukan pertanyaan, “Satu dibagi nol hasilnya berapa?” Semuanya menjawab, “Tak terhingga.” Bayangkan, mereka dosen tapi tidak tahu satu dibagi nol jawabannya adalah tidak didefinisikan. Itu teori dasar matematika tetapi tak ada yang tahu.

Sebetulnya, apa perlunya memahami matematika?

Dengan matematika, orang bisa diajak berpikir logis. Dan, karena berpikir logis, orang tidak akan menjadi papan selancar politik, tidak akan bisa dijadikan massa mengambang oleh pihak lain.

Minat Anda pada matematika begitu besar. Tapi, tatkala belajar ke Amerika pada 1961, mengapa justru memilih statistika?

Kalau saya ambil matematika, itu artinya matematika murni. Mau ngapain saya di Bogor kalau jadi dosen matematika murni? Matematika saya pelajari untuk memberikan landasan pemikiran dan analisa kuantitatif. Jadi, bidang yang saya pilih di North Carolina University adalah statistika untuk pemuliaan tanaman. Dengan statistika, saya bisa mendidik orang menjadi ahli matematika. Itu terjadi pada angkatan di bawah saya. Sarjana statistika ternyata relatif mudah meraih gelar doktornya di luar negeri.

Adakah materi kuliah di IPB yang Anda ubah setelah masuk ke lembaga itu pada 1965?

Saya mengubah pengajaran matematika yang tadinya hanya terdiri dari kalkulus. Ilmu kalkulus itu hanya matematika yang mengabdi kepada perhitungan. Padahal, matematika seharusnya mendidik cara berpikir yang betul.

Perubahan yang Anda lakukan itu apakah tidak ditentang?

La, cuma saya sendiri yang ahli statistika waktu itu. Tapi memang ada yang bilang IPB tidak usah ada matematikanya. Saya diam saja tapi saya tetap mengajarkan matematika kepada mahasiswa saya. Di tingkat dua, mereka belajar statistika, perancangan percobaan, dan aljabar matriks. Di tingkat tiga, saat mau mengadakan penelitian, para mahasiswa itu mulai mengkritik kesalahan yang diajarkan dosen-dosennya. Lalu datanglah para dosen itu kepada saya, minta diajarkan statistika. Kursus-kursus bersertifikat itulah awal progam pascasarjana di IPB.

Bidang matematika apa lagi yang Anda ajarkan?

Pra-kalkulus. Namanya landasan matematika, yang mengajarkan matematika bukan sebagai alat hitung, tapi alat berpikir kuantitatif. Landasan matematika dapat dipakai untuk membuktikan kebenaran sebuah pernyataan.

Benarkah model- model pengajaran matematika di atas adalah ciptaan Anda sendiri?

Saya mengadopsi ilmu itu dari pencipta bahasa pemrograman komputer Basic. Saya bikin dua macam: matematika untuk berpikir atau queen of science dan matematika untuk melayani perhitungan semata-mata atau the servant of science. Dengan model itu, IPB yang pertama mengajarkan matematika itu di tingkat satu.

Sampai sekarang Anda masih mengajar di IPB. Tapi mengapa memilih mengajar tingkat satu?

Sebab, di tingkat satu, kita mengajarkan dasar-dasar. Di Massachusetts Institute of Technology, dosen biologi tingkat satu adalah pemenang hadiah Nobel biologi, Salvador Lorea. Lalu Linus Pauling, pemenang Nobel kimia, pernah mengajar kimia di tingkat satu di Berkeley. Menurut saya, harus lebih banyak lagi guru besar yang mengajar di tingkat satu.

Dulu Anda rektor IPB, kini rektor Sekolah Tinggi Telkom Bandung. Kok, suka benar jadi rektor?

Terus terang saja, saya butuh tambahan penghasilan. Salah seorang anak saya diputus beasiswanya, jadi harus dibantu. Di IPB saya merasa sudah tidak dipakai lagi, mungkin karena sudah terlalu tua.

Apa kegiatan Anda di luar urusan akademis?

Kalau Minggu, saya masih menyempatkan jalan kaki bersama Istri keliling Kota Bogor—sembari hunting foto dengan kamera Olympus kesayangan saya. Memotret segala sesuatu, terutama tanaman dengan lensa mikro. Di luar itu mengasuh cucu. Memandang dan memiliki mereka adalah kebahagiaan paling besar.

Majalah Tempo, 03 Januari 2000

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Agus Purwanto: Sains Bukan Milik Barat
Teuku Jacob Sang Maestro Paleoantropologi
Mewujudkan Kemandirian Industri di Bidang Kesehatan
Bersatulah, Indonesia Sudah Darurat Korona
Buat Internet Lebih Aman bagi Anak
Mengingat Kembali Teori “Inovasi yang Mengganggu”
Belajar Bertransformasi dari L’Oreal
Pilih Muda atau Tua?
Berita ini 568 kali dibaca

Informasi terkait

Selasa, 20 Juli 2021 - 16:06 WIB

Agus Purwanto: Sains Bukan Milik Barat

Senin, 19 April 2021 - 17:09 WIB

Teuku Jacob Sang Maestro Paleoantropologi

Kamis, 2 Juli 2020 - 15:35 WIB

Mewujudkan Kemandirian Industri di Bidang Kesehatan

Rabu, 15 April 2020 - 12:15 WIB

Bersatulah, Indonesia Sudah Darurat Korona

Jumat, 13 Maret 2020 - 12:01 WIB

Buat Internet Lebih Aman bagi Anak

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB