Benih, keragaman hayati, dan kemerdekaan adalah satu tarikan napas. Rezim paten dan dominasi atas benih yang memperlakukan pangan sebagai penimbun kapital adalah penjajahan baru yang menyasar kedaulatan dan kemerdekaan negara-bangsa.
”Tantangan terberat saat ini terkait kemerdekaan kita adalah perlindungan atas benih dan keragaman hayati yang kita miliki,” tegas Vandana Shiva.
Filsuf, tokoh ekofeminisme dari India, penulis buku kritis terkait rezim perusak Bumi itu menegaskan, benih adalah esensi. Kemerdekaan bangsa adalah kemerdekaan petani menyimpan dan mereproduksi benih dan kemerdekaan individu atas pangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penerima The Right Livelihood Award atau Penghargaan Nobel Alternatif 1993 itu membumikan pemikirannya dengan mendirikan jaringan penyimpanan benih lokal, Navdanya, tahun 1987.
Navdanya membantu pembentukan bank benih pada 54 komunitas di India di 16 negara bagian. Melalui programnya, Earth University telah melatih 500.000 petani sejumlah negara tentang kedaulatan pangan dan pertanian berkelanjutan.
Vandana Shiva beberapa waktu lalu berada di Indonesia atas undangan Yayasan Kehati dan Mantasa. Dia ditemui di Jakarta, beberapa waktu lalu, seusai bertemu para pemangku kepentingan di bidang pangan dan lingkungan.
Ancaman serius
Tokoh yang menolak keras benih hasil rekayasa genetika (GMO) itu sering dianggap ”musuh bersama” korporasi trans-nasional di bidang benih. Dia konsisten mengkritisi gerak Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Dia mempertanyakan kerja sama perdagangan terkait hak-hak intelektual dalam WTO yang memicu monopoli benih dan pembajakan keragaman hayati yang mematenkan keragaman hayati dan pengetahuan lokal. Juga, perjanjian perdagangan bebas baru terkait hak-hak investor dalam perselisihan dengan pemerintah. Ia mengingatkan, konstitusi lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan perdagangan.
Selain perubahan iklim, pangan, dan peak oil, apa lagi krisis terbesar saat ini?
Tiga area kritis itu ada dalam buku saya, Soil not Oil (2008). Setelah Arab Spring, saya menambahkan disintegrasi sosial dan politik yang sangat terkait dengan tiga krisis itu. Pemicu Arab Spring adalah seorang pemuda yang tak bisa menjual sayuran tanpa lisensi di Tunisia menyusul tingginya harga pangan.
Krisis di Suriah berawal dari kekeringan. Mereka marah, protes, dan menjadi isu sektarian, padahal sebelumnya tak ada masalah dengan Syiah dan Sunni. Di Mesir krisis berawal dari kenaikan harga pangan.
Di Irak, yang terjadi adalah perang dan kontrol sumber daya. Isu perang terkait soal minyak ketika negara Barat datang. Selain soal minyak, yang tak banyak diketahui adalah diloloskannya Iraqi Order 81 oleh Paul Bremer (Administrator The Coalition Provisional Authority, yang membentuk pemerintahan transisi pasca-invasi AS di Irak tahun 2003), dan membuka pintu Irak bagi GMO milik korporasi benih.
Dalam perubahan rezim, seluruh struktur Irak hancur. Iraqi Order memaksa petani membeli benih. Penggunaan benih lokal dianggap melanggar hukum. Padahal Irak adalah rumah budaya pertanian sejak peradaban Mesopotamia.
(Dalam situs Navdanya dicatat, sebelum menjadi tempat penyiksaan, Abu Ghraib adalah pusat bank gen benih Irak, warisan keragaman hayati dari peradaban. Nama itu bahkan digunakan untuk jenis gandum Irak terbaik. Mutasi fungsi ini menunjukkan penghancuran brutal sampai ke akar.)
Militerisme
Dalam pandangan Vandana, isu penting di Irak adalah intervensi militer yang meremukkan semuanya, termasuk penghidupan ekonomi. Rasa tidak aman yang diciptakan membuat orang mudah dimanipulasi dengan identitas sempit.
Bisa lebih dijelaskan?
Ketika orang kehilangan tanah, penghasilan, terusir, militer menembaki dan menahan anak-anak, Anda kehilangan diri. Dalam ketidakstabilan, orang bergantung pada identitas negatif, yang seperti seutas tali rapuh. Sebelum itu, Irak tak punya persoalan dengan isu agama. Di India, partai sayap kanan dan kelompok radikal-fundamentalis tumbuh tahun 1992 ketika Bank Dunia memberlakukan Program Penyesuaian Struktural yang menghancurkan ekonomi kami.
Warga di satu desa di Nigeria kehilangan miliknya yang sedikit karena perubahan ekonomi. Alih-alih melawan kekuasaan yang memolarisasi ekonomi masyarakat, yaitu korporasi dan ekonomi global, mereka malah memusuhi kelompok beda agama yang bisa bertahan karena berpendidikan. Identitas negatif digelembungkan Boko Haram dengan menolak pendidikan karena dianggap pengaruh Barat. Dia menggunakan identitas negatif untuk memecah belah, mengesahkan kekerasan dan menindas yang paling rentan, perempuan, anak perempuan, dan komunitas suku.
Apa kaitan rezim pertanian dan perdagangan ini dengan perang?
Semua bahan kimia yang digunakan dalam pertanian berakar pada perang. Pabrik pupuk dikembangkan dari pabrik bahan peledak yang kehilangan pasar setelah perang berakhir. Pestisida awalnya digunakan sebagai gas saraf di kamp konsentrasi (dikenal sebagai Zyklon B, pestisida berbasis sianida). Agent orange (dioksin) yang dipakai dalam perang Vietnam menjadi herbisida. Apa yang dikerjakan dalam perang? Membunuh, bukan?
Nah, pertanian pun dibunuh dengan bahan-bahan kimia, membunuh serangga, kupu-kupu, jasad renik, dan lain-lain. Sekitar 75 persen penyerbuk alami musnah. Semua racunnya memasuki tubuh, membunuh manusia dengan kanker, semakin banyak kasus autisme pada anak dan alzheimer pada lanjut usia.
GMO yang konon tahan serangga, penyakit, pestisida buatan, dan memberi sumbangan besar pada dunia yang makin lapar sebenarnya merusak jaringan alamiah kehidupan, mengancam keragaman hayati, lingkungan, dan membahayakan kesehatan.
Bagaimana dengan isu overpopulation?
Pertumbuhan penduduk bukan isu biologis, melainkan fenomena ekologi terkait isu lain, seperti perampasan sumber daya dan keterusiran. Mereka yang tak punya jaminan keamanan cenderung punya banyak anak. Di India, jumlah penduduk meningkat akhir abad ke-18 ketika Inggris masuk. Di Kerala, pertumbuhan populasi hampir negatif karena peraturan ketat distribusi lahan.
PDB dan perempuan
Dasar utama model liberalisme baru, menurut Vandana, adalah komodifikasi. Semua punya harga, tetapi tidak punya nilai. Seluruhnya memasuki masyarakat tradisional patriarkhi, menciptakan yang disebutnya ”super-virus patriarkhi”.
Bagi Vandana, pertanian di mana perempuan terlibat di dalamnya adalah kebudayaan. Semua mengikuti proses hidup, seperti pembuatan kompos, kontrol pestisida, dan menyiapkan makanan bergizi.
Semua itu dihilangkan dalam penghitungan produk domestik bruto (PDB) yang dijadikan indikator kemajuan. Produktivitas hanya dihitung jika ada kegiatan jual-beli.
Rezim pertumbuhan yang berakar dari mobilisasi perang itu menciptakan konstruksi kesejahteraan yang menegasikan sumbangan alam dan ekonomi perempuan serta mereka yang tekun bekerja untuk keberlanjutan. Maka, PDB bisa saja naik di atas kertas, tetapi masyarakat makin kehilangan daya bertahan dan kemampuan memenuhi kebutuhan secara mandiri.
”PDB tak bisa menghidupi kehidupan, sebaliknya mendorong proses yang menghancurkan,” tegas Vandana.
Rezim PDB memaksa Indonesia menjual sumber daya alamnya, memaksa India menghancurkan petaninya. Sekitar 350.000 petani India bunuh diri setelah globalisasi, terutama di seperempat wilayah yang dimonopoli benih GMO.
”Ekonomi kehidupan adalah ekonomi kesejahteraan yang mengukur kemajuan taraf hidup,” lanjutnya, ”Bhutan menciptakan ukuran pertumbuhan atas dasar kesejahteraan dan kebahagiaan warganya.”
Bagi Vandana, keputusan publik model ekonomi patriarkhi yang hanya memperhitungkan korporasi dan yang kuat adalah politik kekuasaan. Substansi demokrasi runtuh.
Konvergensi kekuatan politik dan ekonomi itu menyingkirkan perempuan dan melahirkan kelas dengan imunitas dan impunitas. Mereka melakukan kekerasan di berbagai tingkat dan mempermainkan hukum. Pemerkosaan terjadi di semua ranah, terhadap bumi, sumber daya alam, dan perempuan.
Apakah masih ada harapan akan masa depan?
Harapan hanya tumbuh pada identitas positif. Kami katakan, ”tumbuhkan kebunmu”. Anda punya tangan, menanamlah. Lalu, bocah di sampingmu, apa pun agama, suku, dan kelompoknya, juga sedang menanam. Bagi Bumi, semua itu tak ada bedanya. Kau dan anak itu saling menanam. Kemanusiaan hanya bisa direbut kembali melalui identitas manusia universal dan sangat luas.
Ekonomi dunia, yang berpusat pada kerja sama benih, agrobisnis, air dan minyak bumi, menghancurkan ekonomi lokal dan demokrasi. Seluruh langkah kita harus berakar di lokal. Itu bukan isolasi, melainkan interaksi. Kita harus mampu menciptakan setiap tempat sebagai pusat ekonomi lokal yang membesar ke luar. Apa yang tak bisa dihasilkan, bisa dibeli dari tempat lain, yang berlebihan dijual kepada yang membutuhkan. Tetapi pusat pijakan harus di tempat kita.
Oleh: Maria Hartiningsih & Brigitta Isworo Laksmi
Sumber: Kompas, 12 Oktober 2014