“Indonesia yang akan dihadapi oleh mereka yang masih mahasiswa hari ini tentu berbeda dengan Indonesia yang dipahami dan dialami oleh para dosennya”
SETELAH terpuruk oleh krisis 1998, Indonesia kini diprediksi oleh sejumlah pihak akan bertransformasi menjadi salah satu negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia.
Saat ini Indonesia telah berada di peringkat 17 ekonomi terbesar di dunia, dan peringkat 6 di antara negara berkembang (The Indonesia Competitiveness Report 2011 – The World Economic Forum). GDP per kapita Indonesia pada tahun 2010 disebut sudah melampaui 4000 dolar AS.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Angka di atas memang terkesan sangat menakjubkan tetapi juga sekaligus meragukan. Apalagi jika kita perhadapkan dengan gelombang kabar buruk yang melanda media cetak dan elektronik di negeri ini. Berita dan ulasan tentang korupsi yang merajalela, kesenjangan ekonomi yang semakin lebar dan kemiskinan, pengurasan sumber daya alam serta kerusakan lingkungan di seluruh sudut negeri tentu secara alami membuat kita mudah berprasangka terhadap gambaran hebat pembangunan ekonomi Indonesia.
Sebagai sebuah komunitas akademik, civitas academica universitas sudah selayaknya menanggapi ’kabar baik’ perekonomian Indonesia secara objektif dengan tanpa meninggalkan sikap skpetis yang merupakan ciri khas kaum intelektual. Civitas academica jangan sampai terjebak dalam apa yang dalam Ilmu Statistika dikenal sebagai Kesalahan Jenis Pertama atau Error of the First Kind. Jangan sampai ñ karena hanya mengandalkan kemampuan olah pikir yang diwarnai prasangka – kita secara prematur menolak ìhipotesisî bahwa perekonomian Indonesia berkembang pesat yang sejatinya benar. Jangan jangan, Indonesia yang tengah berubah ini memerlukan sikap dan cara pandang baru (mindset) warganya.
Pilar Kelembagaan
Tentu saja potret cantik perekonomian Indonesia bukannya tanpa catatan. Kekuatan ekonomi Indonesia masih bertumpu hampir sepenuhnya pada ekspor komoditas primer dan hasil ekstraksi sumber daya alam, seperti pada masa kolonial Belanda, sedangkan kinerja sektor manufaktur masih lemah. Indonesia bahkan dikhawatirkan mengalami kutukan sumber daya karena tidak berhasil dalam menganekaragamkan ekonominya sehingga tidak hanya bergantung pada ekspor komoditas primer (The Kian Wie, 2011).
Penilaian GCI bertumpu pada 12 pilar daya saing, yaitu: (1) kelembagaan, (2) infrastruktur, (3) lingkungan ekonomi makro, (4) kesehatan dan pendidikan dasar, (5) pendidikan tinggi dan pelatihan, (6) efisiensi pasar, (7) efisiensi ketenagakerjaan, (8) pasar keuangan, (9) kesiapan teknologi, (10) ukuran pasar, (11) kecanggihan bisnis, dan (12) inovasi.
Seperti kita maklumi bersama, saat ini yang tengah menjadi primadona dalam diskursus publik adalah pilar pertama: kelembagaan. Pilar Kelembagaan menyangkut mutu lembaga publik dan swasta, termasuk efisiensi pemerintahan, tingkat keamanan, governance korporasi, keadilan dan tranparansi lembaga lembaga publik. Tanpa bermaksud menafikan kerusakan kronik pilar kelembagaan di negeri ini, menurut hemat saya sudah terlalu banyak waktu dan energi yang tercurah untuk membahasnya di semua jenis media dan ruang ruang publik. Universitas, menurut hemat saya, sebaiknya tidak larut begitu saja dalam arus kuat diskursus publik ñ yang semakin hari semakin pekat dengan nuansa politik. Ketika semakin banyak institusi kemasyarakatan, terutama media, semakin leluasa dan tanpa canggung lagi memeragakan bias politiknya maka universitas sudah selayaknya terpanggil untuk terlibat secara objektif atas nama kepentingan masyarakat luas.
Mengacu pada ke 12 pilar daya saing WEF, setidaknya ada tiga pilar yang langsung kena mengena dengan universitas, yaitu pilar (5) Pendidikan Tinggi dan Pelatihan, (9) Kesiapan Teknologi dan (12) inovasi. Inti dari pilar Pendidikan Tinggi dan Pelatihan fokusnya adalah mutu dan akses ke pendidikan menengah dan tinggi, serta mutu magang kerja calon lulusan. Pilar Kesiapan Teknologi terfokus pada penetrasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan kemampuan mengadopsi dan meningkatkan peran teknologi untuk memacu produktifitas. Pilar Inovasi mencerminkan potensi nasional dalam membangkitkan kemampuan inovasi dakhil (endogenous).
Menurut hemat penulis, semua universitas di Indonesia sudah selayaknya menempatkan pengembangan ketiga pilar tersebut di atas sebagai prioritas. Ketiga pilar itu layak untuk secara frontal dihadapi oleh semua universitas ñ baik sebagai tantangan maupun peluang. Akses dan mutu pendidikan tinggi, kemampuan mengadopsi dan meningkatkan peran teknologi, serta kemampuan inovasi sudah seharusnya menjadi agenda kerja universitas universitas di negeri ini, kecuali jika mereka siap ditinggal oleh gerbong kemajuan Indonesia. Akhirnya, yang pantang dilupakan adalah bahwa universitas adalah wahana persemaian generasi muda yang harus siap mengarungi tantangan jaman baru, bukan mereka yang terkungkung oleh ketidakberdayaan masa lalu. Indonesia yang akan dihadapi oleh mereka yang masih mahasiswa hari ini tentu berbeda dengan Indonesia yang dipahami dan dialami oleh para dosennya.
Y Budi Widianarko, rektor Unika Soegijapranata
Sumber: Suara Merdeka, 8 Agustus 2011