Transplantasi organ merupakan salah satu cerita sukses di dunia kedokteran. Lima puluh tahun lalu, kegagalan organ vital berartipenderitaan luar biasa, bahkan kematian bagi pasien.
Dengan kemajuan transplantasi organ secara klinis, harapan akan adanya kesempatan kedua untuk hidup bagi ribuan pasien muncul. Transplantasi jadi pilihan terapi pasien gagal organ.
Transplantasi dimulai pada awal 1950-an oleh Joseph Mur- ray dan almarhum David Hume. Terapi dengan transplantasiberkait dengan turunnya secara sig- nifikan biaya perawatan kesehatan masyarakat. Karena itu, profe- si medis dan masyarakat secara moral dan humanistis perlu membuat organ lebih tersedia dan mengalokasikan organ ini kepada pasien yang amat butuh sesuai dengan tata aturan etis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kasus kegagalan organ vital yang kian meningkat dan suplai yang tak mencukupi memenuhi kebutuhan itu, khususnya dari cadaver (jenazah yang dapat digunakan dokter dan ilmuwan untuk telaah anatomi, identifikasi penyakit, dll), telah menciptakan gap yang tinggi antara suplai dan kebutuhan organ. Akibatnya, ada antrean pasien yang panjang dan lama menunggu donor sehingga meningkatkan angka kematian.
Donasi organ dari cadaver di sebagian besar pusat transplantasi masih amat sedikit dan amat tak mencukupi kebutuhan popu- lasi gagal organ. Beberapa cara telah dilakukan untuk meningkatkan donasi organ, termasuk edukasi publik mengenai kebutuhan dan untung melakukan donasi organ sebagai ”memberi kehidupan” untuk menyelamatkan sesama manusia, penetapan consent registration bagi calon donor saat membuat surat izin mengemudi atau dokumen lain.Namun, usaha ini masih sangat sedikit menghasilkan donasi organ cadaver.
Yang terbukti sangat efektif di sebagian dunia adalah penerimaan dan implementasi prinsip presumed consent, masyarakat menyetujui bahwa semua orang dewasa yang mati adalah calon donor, kecuali dia menunjukkan keberatan selama hidupnya. Banyak usaha dilakukan di Barat mengimplementasikanprinsip presumed consent ini. Meski demikian, kritik juga muncul karena presumed consent mengandung paksaan.
Di beberapa negara, di samping isu etik, ada kesulitan lain terkait sikap sosial, budaya, dan agama. Di Tiongkok, misalnya, terdapat praktik pengambilan organ dari individu yang dihukum mati segera setelah eksekusi.
Cara lain meningkatkan donasi organ adalah objective appre- ciation bagi keluarga cadaver yang telah mendonasikan organ dengan dukungan finansial. Jadi, bukan pembayaran untuk organ, melainkan membantu keluarga membiayai pemakaman ataupun konsekuensi biaya lain akibat kematian itu. Kompensasi seperti ini berbeda dengan pembelian organ karena pembayaran tak langsung kepada keluarga, tetapi ke rumah pemakaman, hotel, dan agen transportasi.
Cara ketiga adalah penggunaan lebih optimal marginal atau suboptimal organ. Organ margi- nal dalam hal ini adalah ginjal dari donor berusia lebih dari 60 tahun, dari anak kecilberumur kurang dari lima tahun, dari donoryang berpenyakit diabetes, dariginjal yang telah disimpan lebih dari 40 jam, serta ginjal ca- daver dengan jantung tak berdetak.
Di awal 1980-an, rumah sakit di Kuwait mengimpor lebih dari 100 ginjal dari donor marginal AS dan Eropa, dan menunjukkan bahwa organ dengan pengelolaan bedah medis yang tepat akhirnya akan berfungsi dan telah membantu menyelamatkan pasien. Tentu sebelum menggunakan organ yang ”tak ideal” itu, pasien perlu mendapat informasi penuh ihwal manfaat dan risikonya.
Alternatif lain adalah menggu- nakan organ para volunter donor. Donasi dari orang yang masih punya hubungan keluarga, hubungan emosi atau altruistik, sangat dibolehkan atas dasar landasan humanistis dan secara etik dan medis dapat diterima. Yang penting ada evaluasi atas donormedis ataupun psikologis sejalan dengan protokol yang ada, termasuk inform consent kepada donor. Angka rata-rata hidup transplantasi ginjaljauh lebih tinggi pada organ asal cadaver.
Perdagangan organ
Adanya gap yang tinggi antara suplai dan kebutuhan memunculkan banyak isu baik etik, moral, maupun sosial. Itu juga yang membawa kepada praktik perdagangan organ dengan cara mengeksploitasi orang miskin, sebagaimana juga terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Sejak1980, lebih dari 2.000 ginjaltelah dijual tiap tahun di India untuk orang kaya Timur Tengah, Timur Jauh, danEropa, dan diperkirakan sekarang ini ribuan pasiendari Teluk Arab telah menerimaginjal yang dijualdi India, Irak, Filipina, Iran, dan lain-lain.
Praktik jual beliorgan manusia ini mengancam profesi dokter, masyarakat umum, danpemerintah. Dari laporan tahun 1993, berdasarkan pengalaman di Kuwait dan wilayah Teluk Arab yang telah memperoleh ginjal dari India, penjualan organ telah menyebabkan dampak negatif pada semua aspek dan setiap orang yang terlibat dalam transplantasi, termasuk donor, penerima, program transplantasi lokal, profesi dokter, sertanilai-nilai moral dan etika di masyarakat (Abouna GM, 1991).
Penjualan organ bukan hanya bertentangan denganaltruisme, martabat manusia, ataupun pendekatan utilitarian. Ini karena penjualan organ mempromosikandan mengeksploitasi orang miskin, mendorong munculnya kualitas rendah dalam kesehatan terhadapdonor ataupun penerima akibat seleksi donor dan screening tak memadai, dan menguntungkan para petualang dan dokter jahat yang terlibat dalam proses ini.
Hal itu menjadikan organ manusia sebagai komoditas bagi untung dan perdagangan sehinggamengundang korupsi dan sistem yang tak adil mengenai akses dan distribusi organ. Lebih penting lagi, ini bisa bertendensi kriminaluntuk membunuh anak dan perempuan demi perdagangan organ. Maka, perdagangan organ dilarang di masyarakat Barat, juga semua agama besar, dan beberapa negara lain (Sheil, 1995).
Di samping keberatan di atas, beberapa pelaku penjualan organ mengklaim bahwa pembelian organ yang dikontrol dengan baik juga punya untung besar: membuat organ tersedia lebih banyak bagi pasien yang membutuhkan sekaligus mengurangi biaya keseluruhan pengobatan pasien.
Komunitas transplantasi profesional bahkan meyakini bahwa akan lebih produktif dan juga protektif—paling tidak di negara yang tak ada donor dari cadaver—jika praktik penjualan organ diatur organisasiindependen. Keberatan atas penjualan organ untuk orang kaya tak berarti harus menghilangkan satu-satunya harapan bagi pasien.Camerun dan Hoffenberg (1999) merekomendasikan organ harusdibayar melaluijaringan yang didirikan secara nasionaluntuk memastikankualitas pelayanan dan mendorong kesamaan distribusi.
Radcliffe-Richards dkk (1998), dalam artikel mereka di The Lancet, menekankan bahwa eksploitasi donor yang ada sekarang dan ketiadaaninform consentmelalui pembelian organadalah karena kemiskinan dan ketiadaan pendidikan, yang tidak bisa menjustifikasilarangan penjualan organ. Mereka mengusulkan organisasi nasional untukmeregulasipengelolaan organuntuk memberi pendidikan, konsultasi, dan segala sesuatu yang diperlukan bagi pasien ataupun pendonornya.
Organisasi ini juga yang meregulasidan mengontrol perolehan organ, membayar fee dan provisi untuk pelayanan, sekaligus mencegah eksploitasi dan risikopemindahanorgan.
Syafaatun Almirzanah, Center for Bioethics and Medical Humanities, Universitas Gadjah Mada
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Maret 2016, di halaman 7 dengan judul “Transplantasi Organ”.