Teknologi telah mengubah kehidupan kita dan mendisrupsi kemapanan berbagai sektor industri.
Munculnya media daring, buku digital, hingga musik dan film yang bisa diunduh langsung dari internet telah mengguncang industri penerbitan dan musik. Beberapa media cetak dan perusahaan penerbitan yang tak mampu bersaing akhirnya menutup usaha.
Kita juga melihat satu per satu toko kaset, cakram musik (compact disc), dan video (DVD) mulai menghilang dari pertokoan karena sepi peminat. Inilah yang dinamakan disrupsi teknologi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di dunia keuangan disrupsi ini juga tak terhindarkan. Gelombang munculnya para pelaku usaha rintisan (start up) di bidang layanan keuangan digital atau yang umum disebut dengan istilah financial technology (fintech) telah menimbulkan waswas dari industri petahana, dalam hal ini perbankan.
Pelaku usaha rintisan di bidang teknologi finansial (tekfin) atau fintech telah mengubah cara masyarakat dalam membayar, mengirim uang, memperoleh pinjaman, hingga berinvestasi.
Masyarakat kini tak perlu repot datang ke bank karena layanan perbankan telah ada dalam genggaman tangan mereka. Ini yang dulu dikatakan Bill Gates, pendiri Microsoft, bahwa masyarakat sebenarnya tidak membutuhkan bank, yang mereka butuhkan adalah layanan bank.
Perusahaan tekfin hadir menawarkan berbagai layanan yang sebelumnya hanya dapat diberikan oleh bank. Melalui platform digital, masyarakat yang berbelanja daring kini bisa memanfaatkan pembayaran cukup melalui dompet elektronik.
Untuk memperoleh pinjaman, masyarakat kini juga dapat melakukannya secara mudah melalui layanan peer-to-peer (P2P) lending yang menghubungkan langsung pemilik dana dengan yang membutuhkan dana.
Bagi konsumen, tekfin memperluas pilihan terhadap akses produk atau layanan jasa keuangan dan mampu menurunkan harga. Bagi masyarakat, tekfin memperpendek rantai transaksi, meningkatkan inklusi keuangan, dan memperlancar arus informasi. Bagi perekonomian, tekfin dapat mempercepat transmisi kebijakan moneter karena biaya transaksi menurun dan meningkatkan velositas perputaran uang.
Dilihat dari statistik, pertumbuhan perusahaan tekfin di Indonesia terhitung signifikan. Sampai akhir 2016, tercatat 156 perusahaan bergerak di bidang tekfin. Total nilai transaksi tekfin tahun 2016 di Indonesia, menurut data Statista, diperkirakan menembus 15,02 miliar dollar AS, tumbuh 24,6 persen dari 2015.
Bagaimana menyikapi?
Menghadapi perkembangan yang begitu pesat, bagaimana perbankan perlu bersikap? Dan bagaimana peran regulator? Pertanyaan pertama dapat dijawab dengan melihat respons perbankan beberapa tahun terakhir. Sampai dengan saat ini, perbankan masih merupakan pemain utama di jasa keuangan.
Perusahaan tekfin juga masih menggunakan bank sebagai landasan transaksinya. Jika dilihat sejarahnya, bank selama ini menjadi motor bagi inovasi teknologi dengan menginisiasi mulai dari cek, kartu kredit, kartu debet, mesin anjungan tunai mandiri (ATM), hingga internet banking.
Namun, kini perbankan sudah bukan lagi satu-satunya pemain dalam industri jasa keuangan. Kemudahan akses dan kenyamanan adalah dua hal yang ditawarkan perusahaan tekfin. Jika kita lihat, fungsi utama bank adalah menerima simpanan, memberikan pinjaman, dan memfasilitasi pembayaran.
Fungsi itu secara terpisah sudah dapat dilakukan oleh perusahaan tekfin melalui generasi baru teknologi digital. Perusahaan tekfin menawarkan berbagai layanan bank tersebut secara terpisah. Fenomena ini yang dinamakan dengan kecenderungan unbundling the business atau tekfin yang memereteli usaha bank.
Langkah strategis untuk bertahan bagi bank adalah berkolaborasi. Setidaknya ada empat hal yang umumnya dilakukan bank dalam menyikapi gelombang tekfin. Pertama, bank ikut membangun inkubator bagi para pelaku rintisan di bidang tekfin.
Kedua, bank mendirikan unit khusus untuk permodalan tekfin atau modal ventura. Ketiga, bank membangun kemitraan dengan pelaku tekfin. Keempat, bank mengambil alih perusahaan rintisan yang sudah ada.
Keempat strategi ini telah dilakukan oleh beberapa bank di Indonesia. Ada bank yang bermitra dengan perusahaan P2P lending untuk menyalurkan kreditnya atau bank mengadakan lomba hackhaton untuk menyaring bibit-bibit inovasi baru di bidang tekfin.
Dari sisi regulasi, pada November 2016, Bank Indonesia telah mengeluarkan peraturan Bank Indonesia tentang pemrosesan transaksi pembayaran yang di dalamnya juga mengatur tentang pelaku usaha rintisan di bidang tekfin. Bank Indonesia berupaya mendorong inovasi dengan tetap memperhatikan kehati-hatian dan perlindungan konsumen.
Untuk itu, Bank Indonesia akan mengeluarkan implementasi dari aturan regulatory sandbox, yang merupakan sebuah wahana inovasi bagi pelaku usaha tekfin agar dapat beroperasi secara terbatas dengan ketentuan yang diatur dan disepakati.
Di sisi lain, koordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga terus dilakukan. Pada akhir Desember 2016, OJK juga telah mengeluarkan aturan mengenai layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi yang ditujukan untuk mendukung pertumbuhan P2P lending sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi masyarakat.
Dalam sebuah laporan bertajuk “The Future of Fintech and Banking: Digitally Disrupted or Reimagined?”, Accenture menyimpulkan dua hal yang akan terjadi pada perbankan dalam menghadapi gelombang tekfin.
Pertama, bank tetap merasa yakin dengan dominasinya sehingga enggan beradaptasi dengan teknologi. Jika hal ini dilakukan, hasilnya akan merugikan bank sendiri. Kedua, bank menyadari terjadinya perubahan perilaku pada nasabah dan inovasi teknologi. Untuk itu, mereka berusaha beradaptasi dan berkolaborasi dengan pendatang baru.
Dari kedua pilihan, tampaknya pilihan kedua mulai ditempuh industri perbankan Tanah Air.
JUNANTO HERDIAWAN,Plt Kepala Fintech Office Bank Indonesia
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul “Teknologi Finansial dan Masa Depan Perbankan”.