Lebih dari tiga pekan terakhir, Lombok menjadi berita hangat, nasional dan internasional.
Sebagai pulau tujuan wisata, Lombok yang berdampingan dengan Bali beruntun diteror gempa kuat dengan Magnitudo 6,4, M 7,0, M 6,3, M 5,9, dan M 6,3. Terakhir, gempa berkekuatan M 6,9 yang terjadi pada Minggu malam, 19 Agustus 2018 pukul 21.56.27 WIB, merupakan ”gempa baru”.
Rangkaian gempa kuat yang melanda Lombok telah merusak ribuan rumah dan menelan korban jiwa ratusan orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lokasi episentrum gempa M 6,9 pada Minggu malam terletak di ujung timur Pulau Lombok. Artinya, ada aktivitas gempa yang bergerak ke arah timur. Gempa ini diikuti sebaran episentrum gempa dan membentuk kluster episentrum ke arah timur (di laut) hingga di sebelah utara Sumbawa Barat. Berdasarkan data ini, dapat disimpulkan bahwa gempa yang terjadi merupakan aktivitas ”gempa baru” yang berbeda dari gempa M 7,0 pada
5 Agustus 2018.
Meski demikian, antara gempa M 7,0 pada 5 Agustus 2018 dan gempa M 6,9 pada 19 Agustus 2018 memiliki kaitan erat. Munculnya aktivitas gempa baru di ujung timur Pulau Lombok diduga akibat pemicuan gempa yang bersifat statis (static stress transfer) dari rangkaian gempa-gempa kuat di Lombok sebelumnya. Menariknya, rekahan (rupture) batuan yang diciptakan kedua gempa besar tersebut terjadi pada sistem sesar yang sama yaitu sistem Sesar Naik Flores.
Dalam ilmu seismologi, aktivitas kedua gempa semacam ini dapat disebut gempa kembar (doublet earthquakes) mengingat kekuatannya tidak jauh berbeda, lokasi berdekatan dan dalam rentang waktu tidak terlalu lama.
Di kalangan para ahli, gempa yang terjadi di Lombok ini bukan hal aneh. Secara tektonik, letak Pulau Lombok sangat dekat dengan jalur Sesar Naik Flores. Jalur sesar ini sudah beberapa kali memicu gempa besar dan tsunami di Bali dan Nusa Tenggara.
Mengingat perannya sebagai pembangkit serangkaian gempa di Lombok dan sekitarnya, penting bagi kita untuk mengenal Sesar Naik Flores ini.
Sesar naik
Secara tektonik, sesar naik busur belakang merupakan fenomena yang sering ditemukan di belakang zona subduksi lempeng. Sesar Naik Flores terbentuk sebagai reaksi terhadap tekanan yang timbul pada busur Bali dan Nusa Tenggara akibat tumbukan Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Jalur sesar aktif yang disebut Flores Back Arc Thrust ini berada di dasar laut.
Warren B Hamilton, pakar geologi-tektonik Amerika Serikat, adalah orang pertama yang meneliti kondisi tektonik Laut Flores menggunakan data profil refleksi. Dalam bukunya, Tectonic of The Indonesia Region, yang terbit 1979, Hamilton mengungkap temuan penting keberadaan sesar di utara Sumbawa hingga Flores yang dikenal sebagai sesar busur belakang (back arc).
Eli A Silver dari University of California Santa Cruz melanjutkan penelitian dengan ekspedisi bahari untuk mendapatkan profil refleksi busur belakang Flores. Ia memperkirakan, sesar busur belakang berlanjut hingga Cekungan Bali di Laut Bali.
Hasil riset yang dipublikasikan pada 1986 berjudul Multibeam Study of the Flores Back Arc Thrust Belt menggambarkan dengan jelas anatomi kerak bumi dan memetakan jalur Sesar Naik Flores di dasar laut. Temuan penting lain adalah bidang sesar bagian utara menyusup ke bawah bidang sesar bagian selatan.
Beberapa peneliti lain berupaya membuktikan bahwa Sesar Naik Flores sudah mencapai utara Bali-Lombok. Hasil penelitian Robert McCaffrey dan John L Nabelek pada 1987 terhadap beberapa gempa signifikan di utara Bali menunjukkan ada patahan naik dengan bidang deformasi yang mengarah utara-selatan.
Studi gempa lokal dan mekanisme pusat gempa menggunakan jaringan seismik digital pertama kali dilakukan Masturyono (1994) dan Daryono (2000). Hasil studi ini juga menunjukkan aktivitas gempa dan bidang sesar yang memiliki kemiripan dengan Sesar Naik Flores.
Indikasi kuat kehadiran Sesar Naik Flores di utara Bali sebenarnya sudah diketahui sejak peristiwa gempa Seririt berkekuatan M 6,6 pada 14 Juli 1976.
Laju pergeseran beberapa segmen Sesar Naik Flores cukup aktif. Berdasarkan data dari buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017 yang diterbitkan Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen) serta Puslitbang Perumahan dan Permukiman Kementerian PUPR, segmen sesar paling barat ialah Segmen Bali yang memiliki laju pergeseran 6,95 mm per tahun dengan magnitudo maksimum 7,4. Segmen Lombok-Sumbawa laju pergeseran 9,9 mm per tahun dengan magnitudo maksimum 8,0.
Sementara Segmen Sesar Naik Flores Barat laju pergeseran 11,6 mm per tahun dengan magnitudo maksimum 7,5. Adapun untuk Segmen Sesar Naik Flores Tengah laju pergeseran 11,6 mm per tahun dengan magnitudo maksimum 7,5. Terakhir adalah Segmen Sesar Naik Flores Timur dengan laju pergeseran 5,6 mm per tahun dengan magnitudo maksimum 7,5.
Hasil analisis sementara terhadap data gempa Lombok menunjukkan kaitan dengan aktivitas Sesar Naik Flores. Data sebaran episentrum gempa pembuka, utama, dan susulan serta ”gempa baru” membentuk kluster pada arah barat-timur paralel dengan jalur Sesar Naik Flores.
Data pusat gempa dari semua gempa di Lombok saat ini menunjukkan mekanisme sesar naik dengan sudut kemiringan sesar ke arah selatan. Semua aktivitas gempa menunjukkan kaitan dengan aktivitas Sesar Naik Flores.
Setidaknya ada lima gempa kuat dan sebagian memicu tsunami pada busur Bali dan Nusa Tenggara. Catatan tertua adalah gempa berkekuatan M 7,0 yang memicu tsunami di Bali utara dan Lombok pada 22 November 1815. Lalu, gempa kuat M 7,5 di Bima pada 28 November 1836. Gempa M 7,0 juga memicu tsunami di Bali dan Lombok pada 13 Mei 1857.
Selanjutnya, gempa dahsyat berkekuatan M 6,6 mengguncang Seririt, Bali, pada 14 Juli 1976. Parameter tercatat dengan baik karena saat itu kita sudah memiliki jaringan seismograf. Gempa Seririt merusak 67.419 rumah dan menelan korban jiwa 559 orang di Bali. Berikutnya gempa Flores, 12 Desember 1992, berkekuatan M 7,8 memicu tsunami dan menelan korban jiwa lebih dari 2.500 orang. Terakhir adalah gempa kuat di Lombok yang masih terjadi gempa susulannya.
Catatan gempa kuat dan tsunami masa lalu di atas menjadi bukti akan aktifnya Sesar Naik Flores. Ke depan, potensi gempa di kawasan utara Bali hingga Nusa Tenggara yang bersumber dari Sesar Naik Flores tetap ada dan patut diwaspadai.
Mengambil pelajaran
Pelajaran dari peristiwa gempa Lombok menjadi dasar menata strategi mitigasi ke depan. Korban luka dan meninggal ternyata bukan disebabkan oleh gempa, melainkan akibat bangunan roboh menimpa penghuninya.
Melihat banyaknya bangunan rumah yang rusak, penting ada upaya nyata dan serius dalam merealisasikan bangunan tahan dan aman gempa. Jika tidak, setiap terjadi gempa kuat, masyarakat akan terus menjadi korban.
Kapan akan terjadi gempa, kita belum mampu memprediksi, tetapi kita harus siap menghadapinya. Sosialisasi mitigasi dan edukasi harus terus dilakukan secara berkesinambungan agar kita dapat hidup harmoni dengan alam.
Daryono Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG
Sumber: Kompas, 21 Agustus 2018