Sejarah bencana; Lamuri Hilang Ditelan Tsunami

- Editor

Kamis, 11 September 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Susunan dinding dari batu karang itu masih menampakkan ketegaran sebuah benteng sekalipun terdapat boncel di sekujurnya. Rumput dan semak tumbuh di sela-sela dindingnya, menandai usianya yang lanjut. Orang Aceh menyebutnya sebagai Benteng Kuta Lubok.

Sekalipun dinamakan ”kuta” atau ”kota”, tak ada lagi keramaian di sana. Benteng di tepi laut di Desa Lamreh, Kecamatan Krueng Raya, Aceh Besar, yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka itu kini amat sepi dan jauh dari permukiman.

Pada masa lalu, daerah itu pernah jadi pusat keramaian di Aceh. Riset memakai elektromagnetik yang dilakukan Nazli Ismail, Muhammad Yanis, dan Gunawati dari Jurusan Fisika Universitas Syiah Kuala berhasil merekonstruksi ukuran benteng itu seluas 45 meter x 100 meter.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Selain itu, ditemukan pula jejak jalan dalam benteng dan makam kuno. Keragaman pecahan tembikar yang ditemukan di sekitar lokasi menunjukkan, kawasan itu pernah jadi persinggahan para pedagang dari mancanegara, terutama Tiongkok dan Vietnam.

Di kawasan pesisir yang sama, 500 meter dari Benteng Kuta Lubok, ada reruntuhan Benteng Inong Bale. Benteng itu lebih jelas bentuknya dibandingkan Benteng Kuta Lubok. Dinding benteng tersusun dari batu karang, kokoh menghadap pantai.

Dari penggalian di sekitar benteng ditemukan pecahan keramik dan sumur tua. ”Kedua benteng itu, Kuta Lubok dan Inong Bale, diperkirakan adalah sisa peninggalan Kerajaan Lamuri yang pernah ada di Aceh sekitar abad ke-9,” kata Nazli, dosen dan peneliti dari Jurusan Fisika Universitas Syiah Kuala.

Lamuri sebagai salah satu pusat peradaban pada masa lalu kerap disebut dalam beberapa sumber, misalnya naskah Kertagama Prapanca. Kerajaan itu disebut Ramni oleh literatur Arab, Lanpoli oleh Ma Huan dari Tiongkok, dan Lambry oleh Tome Pires.

14211628hGeografer kebangsaan Arab, Ibnu Khurdadhbih, dalam naskah yang dikutip arkeolog Edward McKinnon berkisah, ”Di Serandib (Aceh) ada teluk Ram(n)i, tempat kita bisa melihat badak…. Negeri ini menghasilkan bambu dan kayu sapan, akar-akaran yang bisa jadi obat untuk racun mematikan…. Negeri ini menghasilkan pohon kapur barus yang tinggi.”

Berbeda dengan Nazli, McKinnon, dalam karya ilmiahnya, Beyond Serandib: A Note on Lambri at The Northern Tip of Aceh, menduga, posisi Lamuri berada di Teluk (Lhok) Lambaro, tepatnya di Kuala Pancu atau kini dikenal orang Aceh sebagai Ujung Pancu, Kecamatan Pekan Bada, Aceh Besar. Seperti di Krueng Raya, di Ujung Pancu ditemukan banyak pecahan keramik dan kuburan kuno terpendam pasir, bahkan sebagian menghilang karena tenggelam jadi laut setelah tsunami 2004.

Meski posisi persisnya saat ini diperdebatkan, keberadaan Lamuri, sebagai kota penting di masa lalu, tak bisa dinafikan. Arkeolog dari Balai Arkeologi Medan, Repelita Wahyu Oetomo, dalam karya ilmiahnya, ”Lamuri Telah Islam Sebelum Pasai”, menyebutkan, Lamuri kerap disejajarkan dengan bandar-bandar perdagangan terkenal di Asia Tenggara, seperti Barus, Singkil, serta belakangan dengan Tumasik (Singapura) dan Malaka.

Berbeda dengan nama-nama kota kuno lain yang masih ada meski kondisinya telah meredup, seperti kota Barus dan Singkil, nama Lamuri sebagai kota lenyap dalam khazanah modern. Kota itu nyaris tak meninggalkan jejak, selain beberapa benteng dan nisan kuno tanpa nama yang tersebar di sekitar Lamreh. Meski sejumlah ahli bersengketa terkait posisi Lamuri, banyak pendapat menyatakan, kerajaan itu ada di kawasan Lamreh (Montana, 1996).

Kenapa Lamuri lalu menghilang, nyaris tanpa bekas?

Lapisan tsunami
Nazli menduga, menghilangnya Kerajaan Lamuri terkait tsunami hebat yang pernah melanda Aceh pada masa lalu. Penggalian yang dilakukan Universitas Syiah Kuala bersama para peneliti dari Earth Observatory of Singapore dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) selama beberapa tahun terakhir di sekitar pantai Krueng Raya mengonfirmasi hal itu.

”Kami menemukan dua pelapisan tsunami di sekitar lokasi benteng itu. Jejak pertama berasal dari tsunami yang terjadi akhir tahun 1300 dan satu lagi pertengahan 1450,” kata Nazli.

Tim itu juga menemukan jejak tsunami hebat berulang kali melanda pantai Aceh. Di Lhok Cut dan Ujung Batee Kapal, Kecamatan Mesjid Raya, Nazli dan tim menemukan sisa bangunan kuno terkubur pasir hingga kedalaman 380 cm, keramik-keramik, dan sumur kuno. ”Di setiap temuan artefak ada lapisan endapan tsunami,” kata Nazli.

Dari goa di Pantai Lhong, Aceh Besar, tim itu menemukan 10 lapis jejak tsunami kuno. ”Beberapa lapisan tsunami hebat yang kami identifikasi dari lapisan tanah di goa itu berasal dari tsunami tahun 2004, tsunami sekitar 2.800 tahun lalu, 3.300 tahun lalu, 5.400 tahun lalu, dan 7.500 tahun lalu,” katanya.

Sebelumnya, riset yang dilakukan Katrin Monecke, Widjo Kongko, dkk di pantai Meulaboh, Aceh Barat, menemukan dua deposit tsunami besar melanda Aceh pada kurun waktu 1290-1400 dan 780-990 (jurnal Nature, 2008).

Kemungkinan besar, tsunami dalam kurun waktu itu yang menyebabkan kota pelabuhan Barus di pantai barat Sumatera Utara hancur dan jejak artefaknya terkubur lapisan pasir tebal. Riset yang dilakukan Pusat Arkeologi Nasional bersama arkeolog EFEO Perancis menemukan peradaban di Lobu Tua, Barus, tiba-tiba menghilang setelah abad ke-12.

Sejumlah temuan itu menguatkan tentang keberulangan tsunami di Aceh dan pantai barat Sumatera pada masa lalu. Beberapa tsunami yang terjadi diduga berdampak besar pada sejarah peradaban kawasan itu. Bahkan, amat mungkin menyebabkan hilang dan tumbuhnya peradaban Aceh masa lalu.

Kerajaan Samudera Pasai di pesisir timur Aceh sekitar abad ke-13 diduga muncul setelah kekuatan Lamuri meredup karena bencana. Tsunami 2004 yang menewaskan lebih dari 150.000 warga Aceh memberikan gambaran nyata kekuatan bencana itu.

Jika tsunami berulang pada masa lalu, kemungkinan kembali terjadi di masa depan hanya soal waktu. Padahal, daerah pesisir yang dihancurkan tsunami pada 2004 kembali dipadati permukiman baru. Karena itu, menurut Hermansyah, peneliti naskah kuno dari Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, upaya merawat ingatan dan mendidik generasi penerus agar menyadari pesisir Aceh rentan tsunami mesti terus dilakukan.(Oleh: Ahmad Arif)

Sumber: Kompas, 11 September 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 11 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB