KEBERANIANNYA bermain dengan tanaman dan menciptakan zat pewarna alami membuat buah tangan Sancaya Rini (54) berciri khusus. Berawal dari kreasi membuat kain batik tulis, kini produk kreatifnya sudah beragam, mulai dari syal, sarung, sampai pakaian jadi yang mengusung tema ”green fashion”.
Meski masih memakai bahan katun, ia mencoba memakai kain dari serat rami untuk sebagian besar produknya. ”Rami adalah kain masa depan. Rami mudah ditemukan di pelosok Indonesia, mudah dikembangkan untuk produksi benang, juga kain. Ketergantungan
kita pada kain dan benang impor sebenarnya bisa diputus dan lapangan pekerjaan pun bisa tercipta,” kata
Rini.
Itulah cita-citanya. Agar angan-angan itu terpenuhi, ia tahu harus selalu aktif. Ia yakin, meskipun kecil, asal konsisten, siapa pun bisa membuat perubahan. Di bangunan kecil di pojok halaman samping rumahnya di Jalan Saleh Benda Baru, Pamulang, Tangerang Selatan, Rini merajut impian.
Bangunan ini menjadi bengkel tempat Rini bereksperimen dibantu beberapa perajin. Hari itu ada tiga wanita pembatik yang dia boyong dari Pekalongan, Jawa Tengah. Seorang wanita lain, warga setempat, mengeringkan gulungan benang berwarna biru dari tanaman indigo yang baru diproses pencelupan. Di depan kompor gas kecil, seorang pria mencelup kain dari serat tanaman rami dalam air mendidih di panci. Bau malam, lilin untuk membatik, semerbak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rini mengecek dan terlibat dalam semua proses produksi. Dialah pencipta motif batik di rumah produksi itu. ”Motif batik di sini pengembangan dari berbagai motif klasik, ada juga yang terinspirasi dari apa yang saya lihat,” katanya.
Dengan tangan telanjang, ia mengecek drum-drum plastik berisi rebusan berbagai bahan seperti kulit kayu, limbah potongan kayu, dan kayu manis. Ia yakin, karena menggunakan bahan alami, air rebusan itu tak berbahaya dan tak merusak lingkungan.
”Kain yang direndam dalam rebusan kayu manis akan berubah warna jadi coklat. Tingkat kepekatan warna tergantung banyaknya kulit kayu. Kain yang pertama direndam dalam rebusan mungkin juga warnanya lebih pekat dibandingkan dengan kain kedua, ketiga, dan seterusnya. Ini kelemahan sekaligus keunikan pewarna alami karena tak ada dua warna yang sama persis,” katanya.
Setelah berkali-kali mencelupkan kain bercorak dalam air kayu manis, ia menuju tempat teduh dan menjemurnya. Kain sengaja dijemur di tempat teduh agar tak langsung terkena sinar matahari dan diperoleh hasil pewarnaan yang optimal.
Ketertarikannya pada kayu manis dimulai beberapa bulan lalu saat melakukan perjalanan ke Sumatera Barat. ”Dalam perjalanan, rombongan kami melintasi perkebunan kayu manis. Saya pikir, kenapa kita enggak menggunakan kayu manis sebagai zat pewarna ya? Pasti warna dan bau wangi khasnya melekat pada kain,” cerita Rini.
Tak hanya kayu manis, sebagian besar tanaman yang dia jumpai saat dalam perjalanan ke berbagai pelosok Indonesia sudah diuji coba untuk menjadi zat pewarna.
Indigo misalnya, sejenis tanaman perdu yang jika diproses dengan cara merebus dapat menghasilkan warna biru. Daun mangga tepat untuk menghasilkan warna hijau kekuningan. Demikian juga daun nangka dan mengkudu yang sama-sama menghasilkan zat warna merah meski gradasi merahnya berbeda satu sama lain.
Sementara daun simplokos atau seriawan kering dia gunakan untuk mendapatkan warna oranye. Ia juga menggunakan daun dadap, waru, mahoni, dan rambutan untuk menghasilkan zat warna guna menguatkan warna dasar.
”Sebagian besar tanaman sudah saya coba agar bisa mendapatkan variasi baru zat pewarna alami. Kulit bawang merah pun saya jadikan zat pewarna. Pokoknya kalau tertarik melihat tanaman tertentu, langsung saya ambil, rebus, dan dicoba untuk merendam kain. Banyak warna baru yang saya dapatkan,” ujar Rini.
Tak hanya memanfaatkan dedaunan dan batang, ia juga memanfaatkan buah-buahan yang sudah dibuang di pusat perbelanjaan untuk dijadikan pewarna alami. Bahan zat pewarna dari buah-buahan berasal dari bagian kulit buah mentah, seperti rambutan, mangga, manggis, dan mahkota dewa.
Untuk melengkapi pewarnaan alami, dalam proses fiksasi semua produk Rini menggunakan kapur, tawas, dan tunjung. Dia sama sekali tak menggunakan zat kimia. ”Jadi slogan reuse, reduce, recycle bisa diterapkan di industri tekstil dan pakaian jadi,” ujarnya bersemangat.
Gara-gara museum
Rini mulai menekuni batik sejak tahun 2006 setelah ia belajar membatik di Museum Tekstil, Jakarta. ”Sembari menunggu anak-anak pulang sekolah, saya belajar membatik,” kenang Rini.
Rasa cinta pada batik dan keinginan melestarikannya membuat dia bersemangat menekuni ilmu yang diperoleh dari Museum Tekstil. Sebagai pendatang baru, Rini memilih menekuni zat pewarnaan alami.
Batik yang dia produksi ternyata disukai teman dan keluarga. Dengan dukungan suaminya, Sutadi, yang saat itu bekerja di sebuah perusahaan Jepang, ia semakin bersemangat.
Warna-warni dari produk pewarnaan alami terlihat lebih lembut sekalipun berwarna merah, kuning, dan jingga. Rini terus bereksperimen mencoba berbagai serat untuk dijadikan kain. Ia mulai menggunakan serat daun nanas, serat pelepah pisang, juga perpaduan keduanya. Ia sedang berkreasi dengan kain tradisional masyarakat Dayak di Kalimantan dan Badui, Banten.
Untuk melengkapi pengetahuannya soal pewarnaan, Rini belajar melalui berbagai sumber, mulai dari buku, majalah, sampai media sosial dan internet.
Rasa percaya dirinya makin besar, keempat anaknya pun mendukung. Dua anaknya lalu menekuni ilmu desain. Sementara anak ketiga mendalami ilmu ekonomi dan anak keempatnya siswa SMA.
Dia tak tahu sudah berapa zat pewarna yang dihasilkan. ”Itulah kelemahan saya karena selama ini tidak pernah mencatat,” kata Rini.
Agar ilmunya tak menguap begitu saja, bersama Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati, organisasi nirlaba pengelola dana hibah mandiri), Rini sedang menyusun buku untuk katalog tentang zat warna alam dan campurannya.
Rini menyadari, dalam pengembangan usaha, dia menghadapi persaingan. Namun, ia tetap percaya diri, produknya tak akan kalah bersaing di pasaran.
”Semua perajin batik, tekstil, dan fashion yang sama-sama menggeluti pewarna alami pasti memiliki kekhasan dan kelebihan tersendiri. Dengan demikian, pasti tetap ada pasar untuk produk masing-masing,” ujar Rini optimistis.
—————————————————————————
Sancaya Rini
? Lahir: Yogyakarta, 11 Agustus 1959
? Pendidikan: Sarjana Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, 1979-1984
? Suami: Sutadi (60)
? Anak:
– Arundana (28), menikah
– Nurahman (25)
– Aulia (20)
– Madani (15)
? Nama usaha: Creative Kanawida (Natural Dyed Batik)
? Penghargaan:
– ADOC Award 2008
– Kehati Award untuk kategori Citra Lestari, 2009
Oleh: Neli Triana/Pingkan Elita Dundu
Sumber: Kompas, 12 Desember 2013