Kecintaan Rudi Hadiansyah Putra (37) pada badak sumatera (”Dicerorhinus sumatrensis”) membawanya berjuang untuk menjaga kelestarian Hutan Leuser, rumah utama bagi satwa langka itu. Upayanya tersebut mendapatkan pengakuan dunia. Dia dianugerahi Goldman Environmental Prize 2014, penghargaan untuk pejuang lingkungan di tingkat akar rumput sedunia, di San Francisco Opera House, Amerika Serikat, 28 April lalu.
Rudi mengenal Hutan Leuser sejak kecil. Dia lahir di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, yang dikelilingi sekitar 200.000 hektar hutan yang menjadi bagian dari Leuser. Rudi kecil melihat saat Leuser masih terawat dan secara bertahap dirusak.
Awal 1980-an, Leuser masih rimbun dan hijau. Sungai Tamiang, sungai terbesar di Aceh Tamiang, pun jernih dan bersih. ”Saya dan teman-teman senang berenang, menyelam, dan memancing di sungai itu,” ujar Rudi, mengenang pengalaman masa kecilnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, pada saat hampir bersamaan, dia pun melihat tanda-tanda awal rusaknya Leuser dan sungai di kampungnya. Satu per satu perusahaan hak pengelolaan hutan masuk ke Leuser.
”Mereka menebangi pohon-pohon tua yang panjangnya lebih dari 5 meter dengan diameter lebih dari 1 meter. Hampir setiap hari di Sungai Tamiang kapal melintas membawa gelondongan kayu yang total panjangnya hingga 100 meter dan lebarnya 50 meter,” cerita dia.
Awal 1990-an, Rudi melihat Leuser semakin botak. Sungai Tamiang pun makin hancur, airnya keruh dan dangkal. ”Tak ada lagi anak-anak yang berenang, menyelam, dan memancing di sungai itu,” ujarnya.
Kilas balik
Tamat SMA Negeri 1 Kota Lhokseumawe, Rudi meneruskan pendidikan di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Di jurusan ini, dia mulai mengenal dan mencintai Leuser, terutama pada badak sumatera.
Rudi menyadari kerusakan Leuser semakin parah. Penyelamatan Leuser harus segera dilakukan karena kawasan ini menjadi habitat empat fauna langka dunia selain badak sumatera, yakni orangutan sumatera (Pongo abelii), gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), dan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). Lebih dari itu, Leuser adalah sumber mata air bagi 90 persen masyarakat Aceh.
Tahun 1998 Rudi bertemu ahli orangutan dari Duke University, AS, Carel van Schaik, di Stasiun Penelitian Kawasan Ekosistem Leuser Soraya, Kota Subulussalam. ”Ketika tahu asal saya, Carel memberikan selamat kepada masyarakat kami yang sudah menghancurkan Hutan Leuser,” ujar Rudi, menirukan ekspresi Carel.
Kejadian itu membuat dia heran, malu, dan marah. Jiwanya membara untuk menyelamatkan Leuser. Hal ini mengantarkannya bekerja pada bidang penyelamatan hutan seluas 2,2 juta hektar di Aceh selulus S-1.
Bekerja
Niat Rudi menyelamatkan Leuser dari ancaman pembalakan liar, terutama serangan perkebunan sawit ilegal, kian berkobar. Apalagi, dampak kerusakan Leuser semakin parah. Pada 2006 terjadi banjir 10 tahunan di Aceh Tamiang.
Banjir itu mengakibatkan sekitar 200 orang meninggal dan ribuan orang direlokasi. ”Ini banjir 10 tahunan terparah akibat kerusakan Leuser yang makin kritis,” ujar anak pasangan Muhammad Nawawi Jafar (almarhum) dan Ainun Mardiah (67) ini.
Tahun 2009, saat bekerja di Badan Penyelamat Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL), Rudi dan teman-teman berhasil menutup perkebunan sawit ilegal seluas 425 hektar di Aceh Tamiang.
Namun, langkah mereka tak selalu berjalan mulus. Awalnya banyak warga yang apatis karena mengira mereka adalah komplotan para pemilik kebun sawit. Puncak rintangan mereka saat BPKEL ditutup pada 2012. Mereka dirumahkan. Dia tak sedih kehilangan pekerjaan, tetapi khawatir pada keberlangsungan melestarikan Leuser.
Dihapusnya BPKEL berarti tak ada lagi petugas patroli. ”Pembalak liar ada di mana-mana walaupun ada patroli rutin, apalagi kalau sama sekali tak ada patroli,” ucap Rudi getir.
Seusai menerima pesangon, ia mengumpulkan sejumlah mantan pekerja BPKEL. Ia mengajak mereka tetap menjaga Leuser sekalipun tak ada badan yang menaungi. Rudi mencetuskan berdirinya Forum Karyawan Badan Penyelamat Kawasan Ekosistem Leuser, yang kemudian menjadi Forum Konservasi Leuser (FKL). Dia menjadi ketuanya.
Anggota forum yang berjumlah sekitar 200 orang itu langsung bekerja seperti saat di BPKEL. Mereka berpatroli dan meninjau lokasi. Mereka bekerja dengan alat seadanya, tanpa surat izin. ”Sebenarnya itu berbahaya karena tak ada yang menjamin keselamatan kami.”
Mereka pun mengusut legalitas sejumlah kawasan perkebunan sawit di Leuser, terutama di Aceh Tamiang. Ternyata, banyak kebun yang tak memiliki hak guna usaha. Lewat pendekatan personal, satu per satu pemilik kebun disosialisasi. Mereka mengingatkan tentang bahaya hukum dan lingkungan jika mendirikan perkebunan tanpa izin.
Perlahan sejumlah pemilik sadar dan menutup kebunnya. ”Kami memilih jalur pendekatan personal dibandingkan hukum secara frontal. Selain berbiaya mahal, pendekatan hukum tak bisa serta-merta menyadarkan oknum,” ujar Rudi.
Dari 32 perusahaan perkebunan sawit yang diingatkan, 28 perusahaan dengan luas sekitar 3.000 hektar ditutup lewat pendekatan FKL. Lahan sekitar 700 hektar bekas kebun sawit lalu direhabilitasi.
Penghargaan
Masyarakat yang semula sinis berubah mendukung FKL. ”Masyarakat justru proaktif. Jika ada pembalakan liar dan temuan kebun sawit liar, mereka melapor,” ujar Rudi.
Lembaga asing pun ikut memantau forum ini. Pada 22 Februari 2013, Future for Nature Foundation asal Belanda memberikan Future for Nature Award kepada Rudi sebagai pejuang lingkungan penyelamat habitat spesies langka.
Awal 2014 dia kembali mendapat penghargaan, Goldman Environmental Prize, sebagai pejuang konservasi lingkungan. Upaya Rudi dan rekan-rekan menutup 26 perkebunan sawit ilegal dinilai sebagai langkah sensasional di tengah maraknya perusahaan sawit.
Cara forum melakukan pendekatan personal kepada pemilik pun dinilai sebagai terobosan untuk mengajak masyarakat peduli lingkungan. Rudi mendapatkan penghargaan ini bersama empat orang lain, yakni Ruth Buendia Mestoquiari (Peru), Desmond D’Sa (Afrika Selatan), Suren Gazaryan (Rusia), dan Helen Holden Slottje (AS). Setiap pemenang mendapat trofi dan uang 175.000 dollar AS (sekitar Rp 1,9 miliar).
Penghargaan itu menjadi angin segar untuk menyelamatkan Leuser. Rudi sempat putus asa karena minimnya perhatian pemerintah terhadap Leuser. Salah satunya tecermin pada Qanun Rancangan Tata Ruang Wilayah Aceh yang justru mengurangi luas Taman Nasional Gunung Leuser yang berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser hingga 200.000 hektar.
”Penghargaan ini bagaikan pompa bagi ban kempis. Kami akan menggunakannya untuk melanjutkan sejumlah program penyelamatan Leuser seperti penebangan sawit ilegal,” ucap dia.
Penyelamatan Leuser memang mendesak. Hutan ini komponen kehidupan bagi Aceh. Leuser adalah sumber air baku dan menyimpan keanekaragaman hayati untuk keseimbangan alam, terutama kehidupan manusia.
—————————————————————————
Rudi Hadiansyah Putra
? Lahir: Seruway, Aceh Tamiang, 7 Februari 1977
? Pendidikan:
– Magister Konservasi Biodiversitas Tropika, Institut Pertanian Bogor, 2011-2014
– S-1 Jurusan Biologi Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 1995-2000
– SMA Negeri 1 Kota Lhokseumawe, Aceh, 1992-1995
– SMP Negeri Seruway, 1989-1992
– SD Negeri Seruway, 1983-1989
? Pekerjaan, antara lain:
– Pegiat Forum Konservasi Leuser, 2012-kini
– Manajer Badan Penyelamat Kawasan Ekosistem Leuser, 2007-2012
– Monitoring Officer Yayasan Leuser Internasional, 2004-2007
– Field Supervisor Ekosistem Ranger Unit Manager Leuser, 2000-2004
? Penghargaan:
– Pejuang Konservasi dari Goldman Environmental Prize, Amerika Serikat, 2014
– Penyelamat Spesies Langka dari Future for Nature Award, Belanda, 2013
Oleh: Adrian Fajriansyah
Sumber: Kompas, 22 Mei 2014