SEMPAT kebingungan mencari sekolah yang tepat bagi ketiga anaknya, Rifa Ariani yang semula abdi negara di bidang pajak tertantang mendirikan lembaga pendidikan yang bisa menyiapkan anak bangsa menghadapi dunia global tanpa tercerabut dari akar budaya Indonesia.
Sekolah yang didirikan untuk kalangan menengah-atas, tetapi Rifa punya prinsip berbagi untuk sekolah biasa lewat tanggung jawab sosial sekolah atau lazim disebut tanggung jawab sosial perusahaan di dunia bisnis.
Dua sekolah swasta yang didirikan Rifa pasca-berhenti sebagai pegawai negeri sipil (PNS) adalah Sekolah Global Mandiri, Cibubur, Kabupaten Bogor, dan Sekolah Global Mandiri, Cakung, Jakarta. Sekolah ini memakai kurikulum nasional serta internasional dengan sekitar 1.500 siswa dan sekitar 280 guru. Luas setiap sekolah lebih dari 2 hektar.
Ia mendirikan sekolah umum agar anak-anak Indonesia yang berbeda suku, agama, dan ras terbiasa berbaur sejak dini untuk mengembangkan toleransi dan kerja sama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Saya membangun Sekolah Global Mandiri dari nol. Saya sempat pontang-panting membayar gaji guru, tetapi tetap bersemangat karena ingin mendirikan sekolah yang memberikan layanan pendidikan yang baik,” kata Rifa menegaskan.
Pada awal munculnya sekolah internasional di Indonesia, ia tertarik menyekolahkan anaknya di sekolah dengan pengantar bahasa Inggris, fasilitas sekolah yang baik, dan pembelajaran yang mendorong siswa lebih aktif. Namun, biaya sekolah dengan kurikulum internasional dan banyak pengajar asing itu relatif tinggi.
”Saya sempat gemas, apa sekolah mahal dan bagus itu harus sekolah dengan pengajar bule?” ujar ibu tiga anak ini.
Rifa sebenarnya ingin memasukkan anaknya yang saat itu butuh sekolah di jenjang TK hingga SD ke sekolah umum. Namun, sekolah bagus yang tersedia di sekitar perumahannya kala itu umumnya berbasis agama tertentu.
Setelah memasukkan anaknya di sekolah berbasis agama, Rifa merasa anaknya menjadi eksklusif, lebih
suka berinteraksi dengan teman seagama. Padahal, Indonesia masyarakatnya plural, hidup bersama orang yang berbeda latar belakang suku, agama, dan ras menjadi keseharian kita.
”Saya mau anak-anak bisa hidup rukun dengan siapa saja walau berbeda. Saya ingin pendidikan seperti itu juga didapatkan di sekolah,” ujarnya.
Menghargai pluralisme
Rifa membayangkan sekolah umum yang menawarkan pendidikan seperti sekolah internasional dengan harga terjangkau dan dapat diakses siswa dari kalangan menengah-atas. Inisiatifnya itu disambut pengembang perumahan yang membutuhkan sarana sekolah.
”Awalnya saya mau buat TK dengan menyewa ruko, tetapi disarankan membuat sekolah lengkap dari taman bermain sampai SMA,” katanya.
Rifa pun rajin menyambangi berbagai sekolah swasta internasional dan nasional plus di Jakarta dan sekitarnya, melihat pembelajaran dan fasilitas di sekolah-sekolah tersebut. Ia ingin mendapatkan masukan untuk sekolah umum yang berwawasan internasional, tetapi tetap memantapkan jati diri siswa sebagai orang Indonesia dan membangun karakter sesuai dengan budaya Indonesia.
Pemikirannya tentang pendidikan berwawasan internasional yang dibutuhkan Indonesia semakin terbuka saat tahu tentang Sekolah Madania
di Kabupaten Bogor. Sekolah berwawasan internasional ini menerapkan pendidikan yang membangun
karakter dan menghargai pluralisme.
Pada 2003, Rifa mendirikan sekolah umum Global Mandiri di Cibubur. Pendidikan di sekolah ini memadukan kurikulum nasional dan Cambridge. Ia yakin guru-guru Indonesia yang direkrutnya memiliki semangat untuk menjadi guru berkualitas, tak kalah dari guru sekolah internasional.
Seiring waktu, keberadaan Sekolah Global Mandiri mulai dilirik masyarakat. Target sekolah ini kalangan menengah-atas. Namun, Rifa juga ingin agar semakin banyak sekolah lain yang punya layanan pendidikan bagus sehingga pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan dirasakan semua anak.
Ia menerapkan prinsip berbagi ke sekolah yang mutunya masih rendah dengan mengadopsi tanggung jawab sosial perusahaan. ”Kami menyebutnya tanggung jawab sosial sekolah. Kami membantu sekolah yang terkena bencana hingga melatih guru agar mampu mengajar secara kreatif.”
Rifa meminta guru-guru di sekolahnya mengumpulkan materi pembelajaran kreatif yang dikembangkan Sekolah Global Mandiri. Materi pembelajaran kreatif yang berguna untuk guru-guru di sekolah lain itu dijadikan buku.
Terbitlah buku Berbagi, Ceria, dan Kreatif yang berisi kumpulan ide para guru Sekolah Global Mandiri yang bereksplorasi menggunakan bahan dari barang bekas. Gagasan kreatif itu mengantarkan tim guru Sekolah Global Mandiri melatih banyak guru di sejumlah daerah, seperti guru-guru di Sidoarjo yang sekolahnya terkena lumpur.
Sejumlah pelatihan digelar di Jakarta dan daerah lain. Sekolah Global Mandiri membuka diri untuk guru yang tertarik pendekatan mengajar kreatif. Pihak sekolah pun makin kreatif menggali metode pembelajaran baru dan mendorong guru aktif menulis serta berlatih menjadi pelatih.
Kreativitas guru
Dengan metode yang tepat, barang bekas terbuang diubah menjadi sarana belajar yang menarik. Ini terutama diperlukan para guru di pelosok Indonesia yang terkendala alat peraga, sarana belajar, dan metode belajar menyenangkan.
”Proses belajar-mengajar bisa menarik hanya dengan alat bantu belajar yang terbuat dari barang bekas. Banyak guru baru paham setelah mengikuti pelatihan. Itulah mengapa pelatihan yang memancing kreativitas guru perlu ditingkatkan,” ujarnya.
”Saya berharap hasil yang didapat peserta bisa ditularkan kepada rekan guru di sekolah masing-masing sehingga penyetaraan kualitas guru dapat dilakukan secara berantai,” ungkapnya.
Dengan semangat berbagi, Rifa menantang guru di sekolahnya membuat buku kedua. Berjudul Teacher’s Guide For Creative Education atau Buku Panduan Guru Pengajar dan Belajar Kreatif, buku ini dikemas lebih bagus dan dibagikan gratis untuk guru sekolah biasa.
”Guru suka mengeluh terbatasnya sarana dan prasarana. Itu ilmu ngeles. Media pembelajaran bisa dibuat guru dari barang yang ada di sekitar kita,” ujarnya. Inilah cara Rifa membantu pendidikan Indonesia.
—————————————————————————
Rifa Ariani
? Lahir: Bogor, 10 Mei 1967
? Suami: Suheriyatmono
? Anak:
– M Ghulam Ghazali (18)
– Naufal Ariq Muhamad (15)
– Rishad Rizky Muhamad (13)
? Pendidikan:
– SD Xaverius IV Palembang, 1980
– SMP Xaverius II Palembang, 1983
– SMA Xaverius I Palembang, 1986
– Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Sriwijaya, 1991
? Pekerjaan:
– Ketua Yayasan Bina Darma, Pengelola Universitas Bina Darma, Palembang
– Direktur Sekolah Global Mandiri, Cibubur, 2003-kini
– Auditor Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan, 1993–2002
– Auditor Departemen Pengawasan Asuransi Bumiputera 1912, 1992-1993
– Finance pada perusahaan kontraktor, Jakarta, 1991-1992
Oleh: Ester Lince Napitupulu
Sumber: Kompas, 21 November 2013