Impian untuk mendapatkan energi yang berlimpah dan murah, sebenamya sudah lama menghantui para ilmuwan dunia. Dr J Homi Bhabha, ”bapak” fisika nuklir India misalnya, memimpikan dunia yang tidak lagi dirisaukan kelangkaan sumberdaya energi. Pilihan jatuh ke air, karena lautan di muka bumi ini jauh lebih luas daripada daratan, dan palung-palungnya yang dalam sanggup menenggelamkan gunung-gunung yang paling tinggi sekalipun. Bila ini dimanfaatkan akan merupakan sumberdaya energi yang bukan alang kepalang besarnya.
Air lautan, air tawar di daratan dan termasuk juga air yang yang tersimpan dalam bungkah-bungkah es raksasa di kutub, mengandung isotop deuteron (21H atau H-2 atau D). Kekuatannya sedemikian besar sehingga dalam setiap liter air terkandung deuteron yang cukup untuk membangkitkan energi setara dengan 300 liter bensin.
Namun untuk sampai ke sana memang tidak gampang. Impian Bhabha baru menjadi kenyataan bila teknologi fusi telah dikuasai manusia, sehingga pembangkit listrik tenaga fusi nuklir (PLT-FuN) dapat diaperasikan secara komersial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setelah berusaha sekian lama, baru-baru ini JET (Torus Bersama Eropa) mengumumkan telah berhasil melakukan reaksi fusi dengan bati-tenaga bersih (net energy gain), alias telah melampaui titik impas (break-even point). Lembaga yang didukung 14 negara Eropa itu berharap, PLT-FuN komersial menjadi kenyataan pada tahun 2040.
Meskipun demikian, jalan menuju perwujudan impian Bhabha masih panjang. Bati-tenaga bersih saja belum cukup. Bati-energi netto itu harus cukup besar, sehingga lebih dari sekadar menjamin keterlajutan (sustainability) lingkungan yang memungkinkan terjadinya reaksi fusi, tanpa memerlukan masukan energi dari luar sistem.
”Waria bercadar”
Klaim-klaim tentang keberhasilan reaksi fusi, sebenarnya telah sering terjadi. Dua tahun lalu misalnya, dunia digemparkan pengumuman ilmuwan di Utah, AS, bahwa mereka berhasil melakukan reaksi fusi dalam lingkungan dingin. Konon kuncinya ada pada penggunaan katalis yang tepat, dan reaksinya semacam elektrolisis saja. Tetapi euforia segera pudar setelah klaim tidak terbukti.
Pada dasarnya fusi dingin memang dapat terjadi, tetapi tidak seperti yang dicanangkan kelempok ilmuwan Utah itu. Memang dipakai katalis, sehingga penelitiannya disebut penelitian katalis myuon. Myuon sendiri merupakan zarah keunsuran (elementary particle) yang massanya 207 kali massa elektron, dan umurnya hanya 2,2 mikro sekon. Begitu terbentuk, ia segera mereras/ terurai (decay) menjadi elektron atau positron (tergantung pada muatan myuon, positif atau negatif), dan neutrino.
Myuon yang negatif dapat dimanfaatkan untuk mencadari inti positif yang hendak dipadukan dengan inti positif lainnya. Dengan demikian inti positif yang lain itu ”tidak sadar” bahwa yang dilihatnya sebenarnya inti positif juga. Cadar atau kerudung muatan negatif myuon telah menipu dia. Karena itu, inti positif tertarik ke arah inti yang bercadar myuon. Pada waktu sadar bahwa ia sudah tertipu, sudah terlambat. Maka fusi pun terjadilah. Jadi ceritanya seperti pria yang tarpikat oleh waria, karena ia mengira yang menggodanya itu wanita.
Namun cara katalis myuon ini hanya praktis kalau energi yang dibangkitkan dalam selang waktu yang sangat singkat (2 per juta sekon) cukup besar untuk mengimbaskan reaksi fusi berantai secara terlanjutkan, dan masih ada sisanya untuk pembangkitan tenaga elektrik. Keterlanjutan reaksi pemaduan inti-inti ringan ini tergantung pada tersedianya myuon, yang harus diciptakan dalam mesin pemercepat (accelerator). Jadi energi yang dibangkitkan dalam fusi selama 2 per-juta sekon itu harus lebih besar dari yang diperlukan untuk menjalankan mesin pemercepat itu.
Peremasan
Inti-inti ringan yang bermuatan positif itu, sehingga cenderung tolak menolak karena patuh pada Hukum Coulomb, dapat dipaksa berpadu dengan cara meremasnya. Inilah yang dikenal dengan implosi. Implosi atau ”ledakan ke dalam” ini dilakukan dengan laser atau dengan berkas zarah. Pelet yang mengandung inti-inti ringan yang hendak dipadukan dimampatkan oleh pendorong (drivers) sehingga rapat massanya berlipat ganda bahkan kalau dibandingkan dengan rapat massa timbel (Pb) sekalipun. Lalu zat yang adipadat ini dipanaskan sampai tersulut.
Dalam kerapatan (density) yang begitu hebat, inti-inti yang hendak berfusi itu cukup dikungkung selama sepermilyar sekon saja. Kungkungannya terjadi karena kelembaman (inertia) bahan bakarnya sendiri. Sesuai dengan Hukum Kelembaban Newton, maka benda atau sistem (dalam hal ini pelet bahan bakar) cenderung bertahan pada keadaan geraknya. Pelet yang teremas karena didorong dari segala penjuru juga cenderung bertahan dalam keadaan yang sangat termampat itu. Karena itu, cara implosi ini juga disebut cara kungkungan lembam (inertial confinement).
Kungkungan lembam sudah terbukti dalam skala yang amat besar dalam ledakan bom-H. Energi untuk implosi itu diambil dari ledakan bom-A. Jadi boleh dikata bahwa sumbu ledak (detonating fuse) bom-H (bom fusi) adalah bom-A (bom fisi). Fusi tak terkendali dalam ledakan bom-H ini (seperti yang dilakukan Amerika di Uniwetok, Pasifik, hampir lima puluh tahun lalu. Akibatnya sampai sekarang masih menyengsarakan penduduk Kepulauan Marshall) tentulah tidak kita kehendaki. Yang kita butuhkan adalah fusi terkendali, yang memberikan energi dalam jumlah dan dengan laju yang dapat kita atur sesuai keperluan kita.
Bercermin bintang
Amerika, Rusia, dan Jepang, berpacu dalam realisasi fusi terkendali. Di samping meneliti fisibilitas pencadaran myuon dan kungkungan lembam, diteliti dan dikembangkan pula oleh mereka acara kungkungan plasma. Mereka menggunakan tokamak, yaitu sistem kungkungan plasma (plasma confinement) dalam botol magnetik berbentuk torus. Di dalam torus itu gas yang molekul-molekulnya berupa elektron-elektren dan ion-ion positif yang berada dalam keseimbangan (yang disebut plasma) dipertahankan. Suhunya bukan main tingginya, puluhan juta derajat Celcius.
Dengan mengungkung plasma panas itu mereka meniru keadaan di matahari dan bintang-bintang. Mereka terus menerus memancarkan tenaga yang dibangkitkan dalam reaksi fusi. Reaksinya dapat terjadi dengan daur Bethe atau dengan daur proton-proton. Dalam daur Bethe yang juga disebut daur karbon, karbon 1266C berperan sebagai katalis dalam fusi 4 proton (11H) yang menjadi sebuah inti helium (42He) dan dua positron (01e). Tenaga total yang dibangkitkan dari fusi ini, termasuk tenaga pemusnahan (annihilation) kedua positron itu adalah 26,7 MeV.
Dalam daur proton-proton, 4 proton berfusi menjadi sebuah inti helium dan 2 positron. Sebelum inti helium itu terbentuk, dalam fusi antaranya terbentuk lebih dulu deuteron (21H) dan kemudian inti helium 3 (31He). Tenaga yang dibangkitkan juga 26,7 MeV.
Fusi antara yang memadukan sebuah deuteron dan sebuah inti helium-3 itulah yang hendak ditiru di bumi, tetapi helium-3-nya diganti dengan triton (31He). Dari fusi deuteron dan triton menjadi inti helium plus neutron (10n) ini diperoleh energi sebesar 17,59 MeV. Tidak sebesar energi dari daur karbon atau daur proton-proton memang, tetapi toh lebih dari sekadar lumayan.
Suhu yang puluhan juta derajat Celcius itu diperlukan agar energi kinetik agitasi termal inti-inti itu mampu mengatasi sawar Coulomb (Coulomb barrier) yang menghalangi perpaduan kedua isotop hidrogen yang sama-sama positif itu. Energi agitasi termal harus lebih besar dari 1,3 keV.
Cadangan energi fusi
Cadangan tenaga paduan deuteron dan triton diperkirakan ada 216 EJ (1EJ=1018 Joule). Cadangan ini besar kalau dibandingkan dengan konsumsi global tahunan, yakni 300 EJ (angka tahun 1989, dan dunia dapat terlanjutkan pada tingkat konsumsi ini).
Kalau pertumbuhan energi tidak direm, maka tahun 2025 diperkirakan konsumsi globalnya setahun 630-1100 EJ. Jadi cadangannya cepat habis. Cadangan itu terbatas, sebab tritonnya dibuat dengan lithium-6 (63Li) melalui reaksi lithium plus neutron, yang menghasilkan triton dan helium. Lithium itulah yang cadangannya di bumi terbatas.
Kalau impian Homi Bhabha dapat terwujud, artinya fusi deuteron-deuteron dapat dimanfaatkan dalam PLTFuN komersial, cadangan energinya jauh lebih besar lagi, yakni 11, 88 trilyun EJ. Yah, baru akan habis pada hari kiamat nanti.
Radiasi dan risiko musibah
Kalau dikatakan dalam teknologi fusi tidak lagi terjadi efek radiasi, sebenarnya itu kurang tepat. Dalam fusi deuteron-triton, dipakai triton. Triton itu berupa gas tritium (T2) yang radioaktif, sebab ia mereras dengan memancarkan zarah beta. Dengan umur paruh 12,4 tahun. Artinya, dari sejumlah gas T2 dalam waktu 12,4 tahun baru separuhnya yang berubah menjadi helium-3.
Tetapi memang, umur paruh 12,4 tahun ini bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan radioaktida yang terbentuk dalam PLT fisi Nuklir (PLT-FiN). Aktivitas total radiasi PLTFuN juga beberapa tingkat lebih rendah kalau dibandingkan dengan PLTFiN yang kapasitas dayanya setara. Lagi pula, radionuklida yang terbentuk dalam daur bahan bakar fisi D-T kebanyakan berupa hasil aktivasi neutron. Kalaupun ada, sibir-sibir belahan (fission fragments) dan unsur transuranik sedidikit. Itu pun hanya terjadi kalau tritonnya diproduksi dalam reaktor fisi. Jelaslah bahwa PLTFuN jauh lebih aman dari PLTFiN.
PLTFuN juga aman, sebab kalau ada yang tidak beres plasmanya akan mendingin, sehingga reaksi fusinya berhenti dengan sendirinya. Jadi ada pengamanan pasif yang tentu jauh lebih terandalkan daripada sistem pertahanan berlapis-lapis PLTFiN.
Liek Wilardjo, Dekan Fakultas Pasca Sarjana Universitas Satya Wacana, Salatiga
Sumber: Kompas, 12 Desember 1991