Propaganda Pendengung

- Editor

Rabu, 9 Oktober 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Setelah gerakan Arab Spring pada 2011, media sosial dipuji sebagai anugerah bagi demokrasi. Kurang dari satu dekade kemudian, media sosial dianggap sebagai ancaman demokrasi.

Ancaman nyata itu salah satunya berupa para pendengung (buzzer) yang bergentayangan di media sosial untuk menyebarkan propaganda. Keberadaan buzzer yang kerap menjadi kepanjangan tangan para elite ekonomi dan politik ini membuat media sosial yang awalnya digadang-gadang bisa membangun kohesi sosial dan nilai-nilai universal kini justru memicu pembelahan dan konflik.

Riset Jennifer L Mecoy dari Georgia State University (2019) menunjukkan, pembelahan sering kali didorong oleh retorika para pemimpin politik untuk menarik massa pemilih. Wacana ini kemudian dilanjutkan saat mereka berkuasa, seperti yang dipraktikkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk mendapatkan banyak pengikut (pemilih) dalam pilpres.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Penggunaan buzzer juga begitu dominan dalam pemilu di Indonesia beberapa waktu lalu. Kedua kubu jelas-jelas membina para buzzer untuk menarik dukungan pemilih. Begitu pemilu usai, para buzzer terus berdengung, terutama di tengah kuatnya polemik pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi, revisi sejumlah undang-undang, dan berbagai isu lain.

Riset Samantha Bradshaw dan Philip N Howard dari University of Oxford (2019) menyebut, Indonesia menjadi satu dari 70 negara yang menggunakan buzzer untuk sejumlah kepentingan sepanjang 2019. Disebutkan, pengguna buzzer ini adalah politisi, partai politik, hingga swasta dengan tiga tujuan, yakni menyebarkan propaganda propemerintah atau propartai, menyerang oposisi, hingga membentuk polarisasi.

Dalam laporan itu juga disebut, uang yang diterima buzzer di Indonesia berkisar Rp 1 juta-Rp 50 juta. Buzzer yang digerakkan bot dan manusia secara langsung ini memanfaatkan beragam media sosial, utamanya Twitter dan Facebook.

Seiring temuan ini, Facebook mengumumkan menghapus 443 akun dan 125 akun Instagram di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Akun-akun tersebut dianggap bertujuan menyesatkan orang lain melalui unggahannya. Untuk kasus konflik di Papua, Facebook menghapus 69 akun, 42 pages, dan 34 akun di Instagram.

“Penciptaan disinformasi atau media yang dimanipulasi adalah strategi komunikasi yang paling umum,” demikian laporan Oxford. Hitler menggunakannya walaupun dengan metode dan cara yang berbeda. Bahkan, kesuksesan Hitler hingga Partai Nazi bisa berkuasa di Jerman saat itu karena didukung kemahiran propaganda dan manipulasi informasi.

Demokrasi bisa memunculkan pemimpin semacam Hitler. Sekalipun Hitler telah tumbang, teknik propagandanya terus dipakai dan dimodifikasi. Setelah Perang Dunia II, Pemerintah AS di bawah Presiden Truman menggelar Operation Paperclip untuk memboyong ilmuwan Nazi-Jerman ke AS demi riset kontrol pikiran.

Teknik mengontrol pikiran rakyat ini pula yang pernah diterapkan rezim Orde Baru dengan ideologi “pembangunan” versi mereka, dengan ujung tombaknya Menteri Penerangan. Wacana di media massa disetir sesuai kemauan penguasa, yang menentang dibredel, bahkan dibinasakan.

Selain melalui represi, propaganda bisa lebih efektif melalui teknik bandwagon effect, yaitu memanipulasi alam bawah sadar orang yang memiliki kecenderungan meniru ideologi, pikiran, dan perbuatan orang lain yang dianggap terhormat. Salah satu syaratnya, pesan itu disampaikan berulang-ulang (Andrew Colman, 2003).

Metode ini kini mendasari iklan, dan inilah yang menjadi inti kerja buzzer. Jika dulu para politisi dan tim propagandanya harus turun ke kampung-kampung, kini para buzzer cukup mendengungkan pesan itu melalui media sosial.–Ahmad Arif

Sumber: Kompas, 9 Oktober 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif
Menghapus Joki Scopus
Dua Gelar Profesor UNS Dilorot, Turun dari Kursi Guru Besar, Mengemban Jabatan Pelaksana
Meluruskan 3 Salah Kaprah Gelar Profesor dari Kampus Indonesia
Perbedaan Pemberian Gelar Profesor, Honoris Causa, dan Guru Besar
Gelar dan Syarat Pemberian Honoris Causa
Kenali Beda Status 3 Gelar Profesor dari Kampus Indonesia
Kubah Masjid dari Ferosemen
Berita ini 14 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Kamis, 10 Agustus 2023 - 08:52 WIB

Dua Gelar Profesor UNS Dilorot, Turun dari Kursi Guru Besar, Mengemban Jabatan Pelaksana

Selasa, 27 Juni 2023 - 11:12 WIB

Meluruskan 3 Salah Kaprah Gelar Profesor dari Kampus Indonesia

Selasa, 27 Juni 2023 - 11:06 WIB

Perbedaan Pemberian Gelar Profesor, Honoris Causa, dan Guru Besar

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB