Proses demokrasi di Indonesia harus bertahan kokoh karena kerumitan dalam proses demokrasi prosedural berpeluang mengembalikan Indonesia ke jurang otoritarianisme. Dinamika demokrasi dipantau dari kapasitas politik aktor demokrasi dalam memanfaatkan atau menyalahgunakan prosedur.
”Regulasi pemilu cukup baik dan pelaksanaannya berjalan bebas meskipun pemilu tahun ini tampaknya ada peningkatan kasus intimidasi dan kecurangan,” ujar pakar ilmu politik dari Universitas Oslo, Prof Olle Tornquist, tahun ini (63). ”Tetapi partai hampir tidak diatur sama sekali. Mereka bahkan tidak harus bersikap demokratis. Para pemimpin dan para kadernya nyaris bisa bertindak apa pun.”
Olle ditemui di Jakarta, ketika kembali dari Aceh, akhir Januari 2014. Wawancara dilanjutkan setelah pemilu legislatif melalui surat elektronik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menjelang akhir tahun 2013 sampai awal tahun 2014, Olle melakukan survei lanjutan tentang aktor demokrasi, fokus penelitian yang membedakan Olle dengan peneliti demokrasi lain, yang lebih tertarik pada prosedur dan kelembagaan. Ia menghadiri lokakarya hasil survei putaran akhir di Yogyakarta, sebulan lalu.
Melalui hasil survei lebih dari 500 responden dari Aceh sampai Maluku, ia melihat dinamika demokrasi melalui variabel kapasitas politik para aktor. Survei putaran ketiga tahun 2013 bersama tim peneliti Universitas Oslo dan Universitas Gadjah Mada di bawah proyek penelitian ”Power, Welfare and Democracy” adalah kelanjutan survei bersama Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi (Demos), pertama tahun 2003, kedua tahun 2007.
Menurut Olle, demokrasi seharusnya berujung pada peningkatan kesejahteraan, tetapi demokrasi elektoral yang menjamin hak sipil dan politik tidak cukup mendorong demokrasi tersambung pada kesejahteraan.
Olle mengikuti dari dekat beberapa peristiwa politik penting di negeri ini. Ia sedang melakukan studi di Yogyakarta ketika terjadi penyerbuan markas Partai Demokrasi Indonesia pimpinan Megawati , Juli 1996. Ia tiba di Jakarta tak lama setelah pembredelan Tempo, Detik, dan Editor, Juni 1994. Ia sedang melakukan studi di Filipina saat Soeharto turun, setelah pengepungan Gedung DPR MPR, Mei 1997.
Dibajak
Basis argumen yang diungkapkan Olle sejak survei tahun 2003, yang disimpulkan tahun 2004, adalah dibajaknya demokrasi prosedural oleh para elite lama dan baru yang terutama memiliki akses pada modal ekonomi (uang), kekuasaan, dan koneksi.
”Pelaku oligarki di Indonesia adalah orang-orang dengan modal ekonomi (uang), tetapi untuk bisa mendominasi politik dan memenangi pemilu, mereka perlu mengubah uang itu menjadi sebentuk legitimasi dan otoritas. Untuk itu, mereka membutuhkan banyak modal sosial (koneksi), pengetahuan juga klientilisme dan populisme.”
Oleh sebab itu, ”Tak diragukan lagi, partai-partai di parlemen disetir dan didominasi oleh kekuatan oligarki dan pemimpin dengan banyak modal simbolik dan koneksi khusus.”
Hasil survei 2013 itu membenarkan karakter klientilistik demokrasi di Indonesia. Meskipun kepemilikan modal dan koneksi (politik) tidak serta-merta mengimplikasikan politik klientilisme, kombinasi keduanya dipahami secara luas sebagai elemen utama hubungan patron-klien.
”Saya kira makin banyak orang sadar bahwa politik yang didominasi kaum elite itu menghancurkan,” ujar Olle, ”Harus ada pembaruan dalam sistem pemilu dan kepartaian, juga kebijakan untuk membangun saluran-saluran tambahan bagi keterwakilan kepentingan, gagasan, dan kaum minoritas.”
Gerakan demokrasi
Menurut Olle, persoalan dasar saat ini bukan sistem pemilu atau sistem kepartaian, melainkan tidak adanya organisasi-organisasi berbasis kepentingan dan gagasan yang dibangun dari bawah, tersebar di sejumlah daerah dan terintegrasikan di tingkat nasional. Ia mengingatkan dominasi kelompok bisnis harus diimbangi dengan gerakan berorientasi kerakyatan. ”Tanpa itu, kelompok pro demokrasi tidak bisa membangun partai yang lebih baik dan memenangi pemilu, meskipun ada berbagai aturan dan regulasi,” ujarnya.
Gerakan dan organisasi berbasis massa yang demokratis dapat menyumbang gagasan-gagasan dalam implementasi kebijakan dan mengawasi politisi serta birokrat agar akuntabel. ”Pemenang pemilu tak bisa seenaknya,” tegas Olle, ”Tanpa organisasi seperti ini, parpol akan tetap dikuasai kelompok elitis yang sangat berkuasa. Berbagai kepentingan dan gagasan akan sangat diwarnai pikiran para pemimpin informal, NGO yang elitis, kelompok lobi dan aksi yang juga elitis dan tidak terlalu demokratis.”
Dengan kata lain, ”Kita tidak bisa memiliki sistem kepartaian dan sistem pemilu yang lebih baik hanya dengan mengandalkan para ahli untuk merancang hukum dan aturan, atau meminta para pimpinan parpol dan anggota parlemen untuk mereformasi diri sendiri. Juga tidak bisa meliberalisasi sistem politik yang mengarah pada politik berbasis figur, karena cara seperti itu sangat naif, sama naifnya dengan menganggap satu figur bisa menyelesaikan persoalan ekonomi dan oligarki seperti layaknya pasar bebas.”
Olle melanjutkan, ”Pasar tidak netral. Kita berhadapan dengan ekonomi politik. Persoalan terpenting adalah kekuasaan. Untuk keseimbangan, warga biasa dan kelompok-kelompok kepentingan yang utama harus berorganisasi dengan lebih baik agar mereka bisa mengklaim keterwakilannya.”
Reformasi bertahap
Meski demikian, menurut Olle, untuk mengurangi beberapa persoalan dan mendorong organisasi-organisasi berbasis kepentingan dan gagasan yang lebih solid, harus ada reformasi sistem kepartaian dan sistem pemilu secara bertahap.
Dengan memperhatikan semua kepentingan penuh pamrih dari para bos kelompok politik dan bisnis yang sangat berkuasa, Olle mengusulkan komisi pemerintah yang independen dengan para pakar yang memiliki reputasi dan integritas tinggi, terkait keterwakilan demokrasi dan beberapa pemimpin terbaik dari parpol. Di dalam komisi itu digodok berbagai gagasan, lalu didiskusikan secara luas dengan publik. Proposal final yang sudah disepakati secara luas tidak boleh ditolak mentah-mentah oleh presiden ataupun parlemen.
Gagasan yang tampaknya dipengaruhi sistem politik di Skandinavia bisa saja diperdebatkan. Namun, beberapa hal penting yang diungkapkan Olle tampaknya harus dipertimbangkan.
Di antaranya dibukanya ruang partisipasi bagi warga negara yang memungkinkan aksi warga untuk membangun partai anti korupsi di tingkat lokal, seperti Aam Aadmi Party (Partai Rakyat Jelata, AAP), diresmikan 26 November 2012, yang kemudian memenangi pemilu kota New Delhi.
”Saat ini memang hal itu hampir tidak mungkin terjadi di Indonesia saat ini,” ujar Olle, ”Dan benar-benar sulit untuk membangun Partai Buruh seperti yang dibuat Lula di Brasil, yang mampu memprakarsai dan mendorong dana partisipasi dan kebijakan kesejahteraan yang berlaku saat ini dan mengombinasikannya dengan pertumbuhan ekonomi.
Istilah ”partisipasi pemangku kepentingan” dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) tampaknya sangat mengganggu Olle karena pada kenyataannya tidak demokratis dan tak mengubah apa pun.
”Partisipasi harus berdasarkan keterwakilan demokratik dari bawah, bukan dipilih atau ditanam dari atas,” ujar Olle, ”Untuk mendorong pembangunan ekonomi yang inklusif dan dinamik, seperti halnya melawan korupsi, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi kelompok-kelompok dan kepentingan yang selama ini dipinggirkan. Beri mereka perlakuan khusus.”
Oleh: Maria Hartiningsih & Budi Suwarna
—————
Indonesianis ”Palsu”
Berbeda dengan para Indonesianis, seperti Bill Liddle dan Daniel Lev (alm), Prof Olle Tornquist mengaku tidak berbahasa Indonesia dengan baik. ”Saya indonesianis palsu,” katanya, ”Maafkan saya!”
Bidang kajiannya memang bukan Indonesia, melainkan perbandingan politik dan isu pembangunan. Perhatian utama awalnya adalah persoalan umum dari isu anti imperialisme dan gerakan sosialis di wilayah Selatan Global.
Olle sempat ikut kursus bahasa Indonesia ketika melakukan penelitian untuk tesis MA, awal tahun 1970-an. Ia melakukan kajian lebih lanjut tentang masalah dan pilihan-pilihan demokratisasi di Indonesia dan perbandingan dengan gerakan serupa di India dan Filipina, sejak akhir tahun 1980-an.
Ia mengasah kemampuannya berbahasa Indonesia dengan melakukan dan memandu riset intensif tentang gerakan dan assessment demokrasi dengan kelompok pro demokrasi, seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (1990-an), Institut Studi Arus Informasi (2000), Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi (Demos), dan terakhir dengan Universitas Gadjah Mada.
”Saya sulit mengingat kata dan nama,” ia mengaku, ”Berapa lama pun belajar, saya segera lupa, tetapi saya suka bicara dengan aktivis, mengunjungi mereka dan membaca makalah-makalah penting.”
Menurut asisten lapangannya sejak tahun 2006, Nusya Kuswantin, ”Dia sebenarnya sangat paham bahasa Indonesia,” ujarnya, ”Saya sering tanya, ’Pak Olle ini sebenarnya butuh asisten atau tidak, sih’? Dia hanya terbahak.”
Meski Olle mengaku tak punya kekaguman khusus pada budaya Indonesia, Birgitta, pasangannya, selalu merekam panorama alam serta gambar kehidupan sosial dan budaya masyarakat yang dijumpainya di pelosok Nusantara.
Birgitta juga menulis surat yang indah dan sangat detail tentang apa yang ia saksikan kepada teman-temannya dan memamerkan foto-foto itu di rumah mereka. Pasangan itu pernah bermukim di Yogyakarta selama hampir setahun (2006-2007), saat Olle melakukan cuti sabbatical.
Penuh integritas
Olle menjadi sadar secara politik, sosial, dan kultural melalui eksistensialisme atau humanisme kritis dari Sartre, sebagai bagian pembangkangan mahasiswa dan gerakan anti imperialisme tahun 1968. Meski inklinasi politiknya sosial demokrat, ia tak pernah menjadi anggota partai apa pun.
Di kalangan aktivis dan peneliti, Olle dikenal sebagai pribadi sederhana. Ilmuwan yang sangat disiplin dan penuh integritas itu sangat produktif meneliti dan menulis. Karya bukunya belasan serta puluhan artikel dan antologi.
Sepintas ia terlihat sangat serius. Namun, sikap itu cair jika ia bersantai makan siang atau makan malam bersama Birgitta. Menurut Nusya, kalau Birgitta tidak ikut ke lapangan, Olle bekerja spartan, dari pagi hingga jauh malam.
Olle kecil lebih banyak tinggal bersama kakek-neneknya di daerah pertanian di pesisir barat Swedia setelah orangtuanya bercerai. Ayah dua anak itu kini membagi waktunya antara Oslo di Norwegia dan Kungshamn di Swedia, yang jaraknya lebih dari 200 kilometer. Itu sebabnya, ia suka memperkenalkan dirinya sebagai buruh migran. ”Tinggal di Swedia, mengajar di Norwegia,” katanya.
Di Kungshamn ia menghabiskan sedikit waktu senggangnya dengan Birgitta dan kapal layar tuanya yang ”diparkir” di depan rumah. (MH/BSW)
Prof Olle Tornquist
? Lahir: Uddevalla, Swedia, 2 Juni 1951
? Pekerjaan: Profesor Ilmu Politik dan Riset Pembangunan, Departemen Ilmu Politik, Universitas Oslo
? Pendidikan: PhD di bidang Ilmu Politik Universitas Uppsala, Swedia (1983); Filosofie Kandidatexamen, Universitas Gothenburg, di bidang Ilmu Politik dan Sejarah Ekonomi (1975)
? Pengalaman profesional, di antaranya: Co-director Program PCD untuk Asia dan Asia Tenggara di bidang pendidikan dan riset mengenai PCD, Kekuasaan, Konflik, dan Demokrasi (mitra utama Universitas Oslo, Gadjah Mada, dan Colombo) sejak tahun 2006; co-direktur bidang akademi Demos (2002-2008); pendiri dan Direktur Seminar untuk Kajian Pembangunan Universitas Uppsala (1982-1997); Sekretaris Eksekutif dan Penasihat FilmCentrum, Stockholm (1974-1976)
? Proyek riset yang sedang berjalan, antara lain: Power, Welfare and Democracy (dengan Fisipol UGM); Democracy, Welfare and Development, Indian and Scandinavian Experiences
? Buku, di antaranya: Democratization in the Global South: The Importance of Transformative Politics (2013); Assessing Dynamics of Democratisation: Transformative Politics, New Institutions, and the Case of Indonesia (2013); Politicising Democracy: The New Local Politics of Democratization (2005); Rethinking Popular Representation: Governance, Security and Development (2009); Politics and Development: a Critical Introduction (1999); Indonesia Post-Soeharto Democracy Movement (2003)
Sumber: Kompas, 8 Juni 2014