PIERRE-Yves Arzel (55) menolak tradisi lama tentang eksklusi perempuan dari ruang ilmu pengetahuan. Pierre menegaskan, ruang sains tidak hanya menjadi milik laki-laki ilmuwan.
Berada di antara perempuan-perempuan muda, cerdas, dan setia bergelut di dunia sains di Jakarta beberapa waktu lalu, bagi Pierre, seperti suatu penggenapan.
”Mereka hebat dan ada di berbagai bidang penelitian, mulai dari bioteknologi, kelautan, hingga farmasi. Bahkan ada ilmuwan yang meneliti khusus tentang penyakit pada udang,” ujar Pierre-Yves Arzel, Managing Director L’Oreal Kawasan Asia-Pasifik Selatan, yang berkantor di Singapura.
Pierre menghadiri Peringatan L’Oreal-UNESCO For Women in Science Fellowship (FWIS) pertengahan November lalu di Universitas Indonesia, Depok. Sejak tahun 1998 kedua lembaga itu bekerja sama memberikan penghargaan kepada perempuan peneliti di dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Soal penelitian udang, Pierre merujuk pada Fellow Internasional 2012, Dr Sidrotun Naim yang melakukan riset aplikatif pencegahan penyakit pada udang. Fellow Internasional 2013 diterima Sri Fatmawati yang meneliti keragaman hasil laut Indonesia. Sekarang dia sedang meneliti spesies spon dan aktivitas biologisnya, termasuk pemanfaatannya untuk pengobatan.
Sejak dimulai kerja sama L’Oreal Foundation dengan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) untuk Program Perempuan dan Sains, 1998, sekitar 1.700 perempuan peneliti dari 110 negara telah memetik manfaatnya.
Di Indonesia, program fellowship yang diluncurkan 10 tahun lalu itu telah memberi hibah kepada 30 peneliti muda, 5 di antaranya menerima penghargaan internasional.
Termarjinalkan
Menurut Pierre, perempuan peneliti membawa harapan, mendorong temuan, inovasi, dan keunggulan. Mereka memberi sumbangan yang berarti pada kemajuan dan pemajuan sains. Sebab itu, seluruh bakat terbaik harus dipanggil untuk misi tersebut.
”Perempuan masih termarjinalisasi dari institusi sains, tak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai tempat di dunia. Tradisi ketidaksetaraan jender dalam isu sains sudah berlangsung sangat lama,” ujar Pierre.
Virginia Woolf dalam Three Guineas (1938) menulis, sains bukan tanpa identitas seksual; ia ternyata laki-laki, bapak, dan berpengaruh pula.
Hampir tak ada perempuan disebut sebagai ”Ibu Ilmu Pengetahuan”, meskipun Marie Curie misalnya, sangat berjasa dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu kimia. Dia adalah penemu unsur kimia radioaktif polonium dan radium, penerima Hadiah Nobel untuk Ilmu Fisika tahun 1903, dan Ilmu Kimia pada 1911.
Pierre dan perusahaan tempatnya bekerja meyakini riset, sains, dan kemampuan perempuan ilmuwan. Kata Pierre, perempuan punya banyak cerita
menarik dan kisah fantastis tentang proyek-proyeknya. Mereka terpilih mewakili benua tempat tinggal mereka dan layak menjadi panutan. Tetapi kisah mereka sangat jarang terdengar.
”Kita bicara soal pemain sepak bola atau bintang film, tetapi tidak bicara tentang para ilmuwan, apalagi perempuan ilmuwan,” ujar Pierre.
Pihaknya berusaha keras memberi ruang pada perempuan ilmuwan dan mendorong perempuan muda untuk mengejar karier di bidang sains. Selain Program For Women in Science, juga diciptakan International Fellowship Programme For Young Women in Science, dan Science Camp untuk murid perempuan SMA.
”Idenya simpel, dunia butuh sains dan sains butuh perempuan,” katanya.
Pierre melihat banyak gadis muda tidak terdorong mengejar karier atau studi di bidang sains, meskipun mereka menyukai sains. Jika suara perempuan ilmuwan diberi ruang dan gema serta hasil kerja mereka terdengar lebih keras, Pierre yakin akan dampak positifnya bagi kaum muda.
Sains, baru kecantikan
Bekerja di sebuah perusahaan yang berjantung riset dan didirikan seorang ahli kimia, Pierre meyakini sains dan perempuan sebagai sumber kemajuan. Sekitar 60 persen dari 3.800 peneliti yang bekerja di industri kecantikan yang berusia 104 tahun itu adalah perempuan.
Tahun ini, perusahaan itu menginvestasikan 700 juta euro untuk riset dan membangun pusat riset di berbagai belahan dunia.
Lewat sains dan riset di laboratorium, diciptakan ragam ramuan bagi perawatan kecantikan perempuan. Sains membantu memetakan warna kulit di muka bumi, lalu diciptakan produk-produk yang sesuai. Kecantikan kulit, kata Pierre, bergantung pada banyak hal, seperti iklim, tipe kulit, tone kulit.
”Kami sudah membuat studi tentang 66 skin tone di dunia. Berbeda dengan Jepang dan India, di Indonesia terdapat banyak skin tone,” ujarnya.
Persepsi perempuan terhadap kecantikan selalu menjadi pokok pertimbangan sekaligus gugatan. Benarkah hanya rambut lurus dan hidung bangir yang didefinisikan sebagai ’cantik’ seperti dalam iklan-iklan produk kecantikan?
Pierre–yang dalam meniti karier internasionalnya dengan berkelana ke Jerman, Belanda, Finlandia, Korea, Kanada, Jepang, Inggris, Irlandia, dan India, sebelum menduduki
jabatannya sekarang–menyadari, setiap kebudayaan memiliki persepsi tentang kecantikan yang berbeda-beda.
Namun di atas semuanya, menurut Pierre, perempuan cantik adalah, ”Perempuan yang memperlakukan diri mereka dengan baik, menerima diri dengan perasaan nyaman dan bahagia, karena di dalam kebahagiaan ada respek terhadap orang lain.”
Pierre meyakini, ketika orang merasa nyaman dengan diri mereka, mereka akan lebih percaya diri. Hal itu juga berlaku bagi pria. ”Sekarang makin banyak pria yang juga memakai produk perawatan kulit,” ujarnya.
Pierre bergabung dengan grup L’Oreal di Paris tahun 1985. Sepanjang kariernya, dia menduduki berbagai posisi di bidang pemasaran. ”Pemasaran adalah gairah saya. Gabungan sains, riset, dan pemasaran itu unik. Tetapi, awalnya saya tidak tahu apa-apa tentang produk kecantikan. Saya hanya pakai sampo dan sabun ha-ha-ha….”
Bagi Pierre, bekerja di dalam industri yang citranya lekat dengan perempuan tidak membuat dia merasa aneh. ”Saya tumbuh di keluarga sebagai satu-satunya anak laki-laki dengan tiga saudara perempuan. Tetapi saya tak pernah menjadi suara pertama atau utama di dalam keluarga ha-ha-ha.”
Ketika tiba saatnya berurusan dengan perempuan, laki-laki yang dilahirkan di Pontivy, Perancis, 18 Desember 1958, itu hanya teringat pesan ibunya. ”Ibu selalu mengingatkan saya untuk menghormati perempuan.”
Kini, akhir pekan merupakan saat-saat paling menyenangkan, kalau kebetulan ia tidak bertugas ke luar kota. Ayah empat anak laki-laki itu menganggap keluarga sebagai sumber kekuatannya. Berada di tengah keluarga, mengisi waktu luang bersama keluarga, adalah saat-saat yang membuat dia bahagia. Sederhana saja….
Oleh: Indira Permanasari & Maria Hartiningsih
Sumber: Kompas, 11 Desember 2013