Penghasilan dasar universal atau universal basic income dinilai sebagian kalangan sebagai kebutuhan bagi sebagian kelompok masyarakat menyusul pekerjaan-pekerjaan yang diambil alih teknologi. Pada sisi lain, penghasilan dasar universal dinilai sebagai simplifikasi solusi terkait dengan persoalan hilangnya mata pencarian karena yang dibutuhkan adalah aset dasar universal atau universal basic assets.
Demikian terangkum dari diskusi bertajuk ”A Jobless Future: Why We Need A Universal Basic Income?”. Diskusi pada Kamis (28/3/2019) itu diselenggarakan di Jakarta dengan menghadirkan empat pembicara.
KOMPAS/MAHDI MUHAMMAD–Toyota Motor Corporation memperkenalkan tiga kendaraan yang menggunakan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intellegence pada tiga kendaraan konsep mereka, Concept I-Series, pada Tokyo Motor Show 2017. Meski belum akan diproduksi massal, TMC berencana menguji coba kendaraan ini pada 2020 saat Olimpiade Tokyo 2020.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mereka adalah Vice Chair Basic Income Earth Network (BIEN) Coordinator India Network for Basic Income Dr Sarath Davala, Coordinator Indonesia Basic Income Guarantee Network (IndoBIG) Yanu Endar Prasetyo, data scientist di Kemitraan (The Partnership For Governance Reform) Irendra Radjawali, dan pendiri serta Ketua Inovator 4.0 Budiman Sudjatmiko.
Dalam diskusi tersebut, Yanu yang tengah berada di Amerika Serikat hadir lewat fasilitas telekonferensi. Ia mengatakan bahwa penghasilan dasar universal bukan tentang ideologi kanan atau kiri, melainkan tentang maju ke depan.
Yanu juga menggarisbawahi bahwa latar belakang kebijakan tersebut adalah jenis-jenis pekerjaan yang melibatkan kemampuan kognitif, manual, rutin, dan nonrutin yang semuanya bakal dan telah digantikan komputer. Teknologi berkembang secara eksponensial dan manusia semakin tidak memiliki tempat di pasar kerja.
KOMPAS/MAHDI MUHAMMAD–Bagian interior Toyota Concept-i, mobil yang memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intellegence (AI). Tahun 2020, mobil ini direncanakan diuji coba di jalanan Negeri Matahari Terbit itu.
Sementara menurut Sarath, penghasilan dasar universal bukanlah utopia, melainkan merupakan sesuatu kebutuhan yang mendesak. Hal ini menyusul krisis kesejahteraan yang tengah terjadi saat ini. Sebagian di antaranya karena model jaminan kesejahteraan saat ini tidak dirancang untuk kehidupan dan peradaban abad ke-21 dan relatif tidak berubah sejak sekitar 70 tahun silam.
Salah satu kelompok paling rentan terkait dengan perubahan lanskap pekerjaan itu, kata Irendra, adalah prekariat. Ini merupakan kelompok di bawah kelas pekerja konvensional karena status sebagai pekerja kontrak tanpa kepastian kerja dan tidak beroleh hak-hak normatif sebagai pekerja.
Menurut Irendra, penghasilan dasar universal dapat dijadikan instrumen gerakan ganda. Pertama, sebagai alat solusi untuk bertahan dan selain itu untuk bisa meluncurkan narasi atau model tandingan.
Adapun, menurut Budiman, penghasilan bukanlah satu-satunya faktor yang menciptakan kesejahteraan. Penghasilan hanyalah salah satu bagian di antaranya.
Karena itulah, yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan di atas adalah aset dasar universal, alih-alih penghasilan dasar universal. Di Indonesia, imbuh Budiman, hal itu sudah dijalankan di sejumlah wilayah desa sejak sekitar empat tahun terakhir.–INGKI RINALDI
Sumber: Kompas, 29 Maret 2019