Rektor adalah pemimpin di perguruan tinggi. Kebijakannya akan ikut menentukan arah universitas yang dipimpinnya. Ini membuat pemilihan rektor menjadi hal yang cukup menarik perhatian.
Barangkali bagi orang luar kampus, pandangan terhadap suhu politik di perguruan tinggi dalam keadaan adem-ayem saja, atau tenang, tenteram, dan sejuk. Pandangan seperti ini tidak sepenuhnya salah karena aktor-aktor yang bertarung biasanya adalah para profesor. Mana mungkin para profesor bermain politik kotor dan fitnah.
Para pemilihnya pun orang- orang yang sangat arif dan bijaksana: para profesor juga, atau paling tidak doktor yang menguasai dan mengajar pada berbagai bidang ilmu. Dengan latar belakang seperti ini, rasanya mustahil pemilihan rektor bisa berlangsung dalam suhu politik yang sangat panas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Guru Besar Bidang Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Ari Kuncoro terpilih sebagai rektor Universitas Indonesia periode 2019-2024.
Namun, itu semua ternyata tidak benar. Berbeda dengan pemilihan presiden yang melibatkan orang yang sangat banyak dan daerah pemilihan yang luas sehingga suhu politik, meskipun tinggi, terdistribusi merata dalam ruang yang sangat luas. Sementara pemilihan rektor berlangsung di ruangan yang sempit. Para pemilih terdeteksi dengan baik arah, kiblat, dan aliran politiknya. Orang yang memilih dan dipilih adalah para kolega yang saling mengenal dengan akrab karena hampir selalu bertemu.
Atmosfer akademik sangat kotor dan beracun. Itu karena tim sukses dari setiap calon rektor bergerilya tanpa lelah.
Akibatnya, masa-masa pemilihan rektor—ketika sebelum, sedang, dan setelah pemilihan rektor—ditandai dengan suhu politik yang sangat panas. Atmosfer akademik sangat kotor dan beracun. Itu karena tim sukses dari setiap calon rektor bergerilya tanpa lelah, berusaha keras untuk memenangkan calonnya.
Para pemilik suara harus ekstra hati-hati dalam menentukan sikap. Itu karena tim sukses mempunyai daya pendengaran dan penciuman sangat tajam.
Calon rektor, seperti halnya politikus yang dapat kita pelajari dari buku-buku sejarah, ada yang hebat dan ingin memajukan bangsa dan negaranya, ada yang kejam dan tidak segan menghukum lawan politik (beserta pengikut-pengikutnya), ada yang bodoh tetapi nekat, dan seterusnya.
Demikian juga di universitas, calon rektor yang ingin mencalonkan dirinya sebagai rektor bisa beragam juga: dari yang rakus, adil dan arif, hingga yang tidak peduli terhadap masalah akademik di kampus dan seterusnya.
Terkadang kita tidak tahu perangai asli seorang rektor. Sebelum terpilih, justru semua hal-hal baik dan hebat yang terlihat. Ketika terpilih, baru semua terbongkar: rakus, punya catatan melakukan plagiarisme, dan seterusnya.
Kalau sudah seperti ini, semua pemangku kepentingan kampus akan terluka dan tentu saja tersandera. Namun, apakah rektor seperti ini akan gagal? Tidak. Rektor yang punya rekam jejak yang jelek, menurut akal sehat, akan mudah terpilih dua kali. Bukan karena prestasinya, melainkan karena keberaniannya dalam menebarkan ancaman kepada para pemilih.
Insan akademik yang tidak setuju terhadap kebijakannya dalam bidang akademik lebih baik diam atau curhat kepada sesama teman-temannya yang seide di lorong-lorong sunyi dan senyap dengan penuh ketakutan sambil berharap pertolongan Tuhan agar si rektor cepat turun.
Menteri harus bagaimana?
Saya berpendapat, sebaiknya rektor di perguruan tinggi negeri ditunjuk saja oleh menteri. Dengan demikian, menteri, berdasarkan rekam jejak calon rektor, dapat yakin bahwa rektor yang ditunjuknya akan amanah dan mampu menjalankan semua instruksi menteri. Kalau memang rektor yang ditunjuk ini tidak amanah atau tidak mampu menjalankan instruksi, menteri dapat dengan mudah menggantinya.
Sudah saatnya kita tidak bermain judi dengan pemilihan rektor.
Namun, kalau rektor masih tetap dipilih (dengan atau tanpa suara menteri), tetap saja menteri agak sulit menurunkan atau memberhentikan rektor di tengah masa jabatan. Rektor beserta semua pendukungnya sudah pasti akan melakukan perlawanan, baik lewat jalur hukum maupun melalui pengerahan mahasiswa.
Perlawanan seperti ini tentu sangat melelahkan dan merugikan banyak pihak: pemerintah, mahasiswa, dosen, dan semua pemangku kepentingan. Sudah saatnya kita tidak bermain judi dengan pemilihan rektor.
Tatkala kita salah memilih rektor, universitas harus sabar karena selama empat tahun tersandera oleh kebijakan rektor yang tidak pro-akademik. Bahkan, masa tersandera bisa sampai delapan tahun kalau rektor yang tidak memiliki akal sehat ini terpilih dua kali periode masa jabatan. Sungguh penantian yang cukup lama. Ini bisa mengakibatkan semua sendi universitas rusak parah, dan butuh waktu yang lama juga untuk memperbaikinya
Syamsul Rizal Profesor di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Sumber: Kompas, 19 November 2019