Pahit Manis Si Gula Tebu

- Editor

Rabu, 19 Oktober 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Setelah berjaya dalam era yang panjang, pabrik gula di Indonesia berjatuhan satu demi satu. Warisan Belanda yang pernah membuat penjajah kaya raya, kini tak mampu lagi bersaing karena inefisiensi dari hulu sampai hilir.

Tiga pabrik gula akan ditutup di Jawa Tengah dan 10 lainnya di Jawa Timur segera menyusul karena alasan ekonomis: kapasitas produksi di bawah 4.000 ton tebu per hari sehingga dinilai tidak efisien dibanding biaya operasionalnya.

Padahal, kebutuhan akan gula-baik untuk konsumsi maupun industri-masih amat tinggi di Indonesia. Kementerian Perindustrian tahun 2015 memperkirakan kebutuhan gula nasional mencapai 5,7 juta ton, dengan rincian 2,8 juta ton gula kristal putih untuk konsumsi dan 2,9 juta ton gula rafinasi untuk kebutuhan industri.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Gula sebenarnya tidak hanya berasal dari tebu. Meski gula tebu masih dominan, memasok 70 persen kebutuhan gula dunia, ada sumber pemanis alami lain, seperti gula bit, jagung, stevia, madu, kelapa, mapel, kurma, dan sejenisnya. Ini masih ditambah lagi dengan pemanis buatan, seperti sakarin, siklamat, aspartam, dan seterusnya, yang banyak digunakan dalam industri.

Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, orang mulai mempertanyakan dampak pemanis-alami maupun buatan-pada kesehatan. Gula kemudian banyak dihindari karena banyak dikaitkan dengan obesitas dan diabetes. Betulkah gula berdampak buruk pada kesehatan?

Gula tebu termasuk senyawa sukrosa yang terdiri atas dua molekul sakarida, yaitu glukosa dan fruktosa. Sukrosa termasuk golongan karbohidrat yang menjadi sumber energi yang cepat dimanfaatkan. Ini karena gula yang masuk ke dalam tubuh berubah menjadi glukosa yang mudah diserap dan menghasilkan energi. Tidaklah mengherankan bila sehabis berolahraga atau berpuasa, orang dianjurkan minum minuman manis.

Namun, ada saatnya kadar gula kurang dalam darah. Disebut hipoglikemia, pada penderita diabetes hal ini bisa dipicu oleh kelebihan dosis insulin atau obat pemicu insulin, kurang asupan karbohidrat pasca-aktivitas berat, atau lupa makan. Pada mereka yang gula darahnya normal, hipoglikemia bisa terjadi produksi insulin berlebih, konsumsi karbohidrat terlalu banyak, obesitas, atau konsumsi minuman keras berlebihan.

Akibat hipoglikemia adalah rasa lelah, pusing, pucat gemetaran, jantung berdebar-debar, dan sulit berkonsentrasi. Bila tidak segera diatasi, kondisi bisa memburuk hingga mengantuk, terjadi gangguan penglihatan, kejang, dan hilang kesadaran. Pertolongan pertama pada hipoglikemia adalah mengonsumsi makanan atau minuman manis.

Sesuai kebutuhan
Oleh karena itu, konsumsi gula harus sesuai kebutuhan. Tidak boleh berlebihan, tetapi juga tidak berkekurangan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan, konsumsi gula sebaiknya kurang dari 10 persen asupan energi setiap hari. Jumlah itu kurang lebih adalah 6 sendok teh atau 25 gram per hari. Batasan ini berlaku untuk seluruh gula bebas termasuk sukrosa, glukosa, fruktosa, dan berbagai pemanis lainnya.

Meskipun rekomendasi ini tidak mencakup rasa manis dalam buah, sayuran, dan susu, WHO mengingatkan untuk berhati-hati pada kadar gula dalam makanan kemasan, seperti saus tomat yang mengandung 4 gram gula bebas dan minuman kaleng bersoda yang mengandung 40 gram gula bebas.

Kenyataannya, tidak mudah mengikuti rekomendasi yang ketat ini. Di Spanyol dan Inggris, misalnya, konsumsi gula masih 16-17 persen. Denmark, Slovenia, dan Swedia 12 persen, Portugal bahkan 25 persen. Di Indonesia, Kementerian Kesehatan juga membawa kabar manis dengan menoleransi asupan hingga 50 gram gula per hari atau sekitar 4 sendok makan.

Bagi yang tidak menderita diabetes, mengonsumsi gula apa pun tidak masalah sepanjang dalam batas aman. Oleh karena itu, sungguh memprihatinkan membaca rencana penutupan begitu banyak pabrik gula di Jawa. Kebutuhan gula yang sangat besar di Indonesia ternyata tidak diimbangi dengan revitalisasi industri gula dari hulu sampai hilir.

Areal budidaya tebu terus beralih fungsi, belum lagi biaya produksi-sewa lahan, pupuk, penanggulangan gulma dan hama, serta tenaga kerja-yang kian membubung. Di hilir, pabrik gula dibiarkan merana dengan mesin-mesin tua, sedangkan keran impor dibuka lebar. Sungguh, inilah fakta pahit si gula tebu.—AGNES ARISTIARINI
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Oktober 2016, di halaman 14 dengan judul “Pahit Manis Si Gula Tebu”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Ikan yang Anda Makan
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Berita ini 25 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 13:05 WIB

Ikan yang Anda Makan

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB