Bakdi Soemanto, begitulah ia menuliskan namanya dalam karya cerita pendek. Nama lengkapnya adalah Christoporus Soebakdi Soemanto. Namun, di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, nama ini harus diawali dengan Profesor Doktor (disingkat Prof Dr) karena statusnya sebagai pengajar memang mewajibkannya memasang gelar itu dalam kegiatan akademik.
Ketika lulus S-1 sebagai mahasiswa tua, Bakdi Soemanto, yang sebelumnya sudah lama mengajar, masih menuliskan namanya seperti ketika menulis cerita pendek dan mendapat peringatan birokrat kampus, yang mengatakan bahwa kerendahan hati seperti itu hanya merepotkan karena sekretaris harus berkali-kali pula melakukan koreksi, mengganti kertas, dan seterusnya. Saya ingat cara menceritakannya yang sambil geleng-geleng kepala dan cengengesan tanpa unsur kesombongan sama sekali atas kerendahhatiannya itu.
Humoris yang serius
Dalam cerita pendek ataupun kehidupan sehari-hari, kacamata humor memang merupakan ciri khas Bakdi Soemanto. Jika menceritakan sebuah anekdot, sering Bakdi sudah tertawa geli lebih dahulu sebelum pendengarnya paham apa yang lucu dalam ceritanya itu. Namun, meskipun belum paham, pendengarnya bisa ikut tertawa melihat bagaimana Bakdi sungguh-sungguh geli dengan ceritanya itu!
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada saat yang sama, Bakdi Soemanto adalah seorang akademisi yang tidak perlu diragukan keseriusannya. Skripsinya tentang John Dryden, penyair dan dramawan dari dunia sastra Inggris, tentu perlu untuk membuktikan penguasaan atas bidang studinya. Namun, tesis dan disertasinya jelas merupakan langkah yang melampaui urusan dalam kelas; yang pertama tentang prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG dengan pendekatan semiotik Roland Barthes (1999); yang kedua perbandingan makna pementasan Waiting for Godot karya Samuel Beckett di Indonesia dan Amerika Serikat dengan rujukan berbagai teori, dari Martin Esslin sampai Wolfgang Iser, yang terakhir ini memberi peran besar pembaca dalam penafsiran. Dalam kedua karya ilmiah yang sudah diterbitkan itu, Bakdi bukan sekadar menggunakan teori siap pakai, melainkan juga seperti menguji seberapa jauh jangkauan teori-teori tersebut.
Perhatian Bakdi terhadap jarak yang mungkin ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan terhadap manusia dapat ditengok dari cerita pendek ”Doktor Plimin” (1978). Dalam cerita ini, Plimin yang telah menjadi doktor ahli komputer lulusan luar negeri melecehkan keris pusaka keluarga yang harus dipakainya dengan pakaian adat meski merupakan pesan dari Mbah. Dengan kata lain, Plimin telah menjadi penyembah logika terbatas yang menempatkan keris sebagai benda tidak berguna, yang tersentak dengan kenyataan bahwa para ahli internasional dalam konferensi yang juga diikutinya justru sedang menggali kembali segenap dimensi pengetahuan dan akar tradisi yang melahirkan keris itu. Ilmu pengetahuan telah membuat Doktor Plimin terasing dari dunianya sendiri.
Sebaliknya, penguasaan Bakdi atas teori-teori ilmiah tampak membuatnya mampu memandang dunia dengan lebih jernih tanpa harus menjadikannya berjarak, melainkan semakin akrab, seperti dapat ditengok dari cerita pendek ”Kompor Gas” (1988). Dalam cerita ini, terdapat nama-nama yang dibentuk oleh zamannya masing-masing, yakni Karta Areng, penjual arang yang mendapat nama dari barang dagangannya tersebut, yang kemudian tersingkir oleh Marta Lenga (lenga = minyak tanah). Pada gilirannya, bahan bakar gas yang menyingkirkan Marta Lenga dari peredaran melahirkan nama Den Harja Gas. Melalui kisah istri narator yang mengganti kompor minyak tanah dengan kompor gas, sebuah fiksi mampu mengungkap konteks sosial ekonomi yang tentu saja begitu cerdas karena penulisnya sangat menguasai pendekatan semiotik!
Kembali ke kampus
Mereka yang membaca buku HB Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai IV (1967), akan menemukan jejak bahwa Bakdi Soemanto pernah menulis puisi. Memang benar, Bakdi harus dicatat juga sebagai penulis cerita yang bagi saya tergolong wajib baca, tetapi sumbangan Bakdi yang penting adalah sebagai penerjemah ataupun yang terutama adalah pengamat teater. Dengan wilayah pengamatan mulai dari ketoprak, wayang orang, sampai teater modern ataupun kontemporer, jasa Bakdi terbukti antara lain dari penghargaan yang diberikan Federasi Teater Indonesia. Analisis dunia lakon Bakdi adalah contoh yang baik dari risalah yang tidak sekadar bermodalkan naluri.
Posisi Bakdi sebagai pengamat teater, dengan nuansa akademik yang kental, kiranya merupakan wacana otobiografis juga jika menengok latar belakang keterlibatannya dalam dunia sandiwara. Dilahirkan di Surakarta pada 1942, suami dari Lana Indrayani dengan tiga anak ini pernah bermain dalam lakon Hamlet dengan sutradara Jasso Winarto pada 1967 di Gedung PPBI Yogyakarta sebagai Laertes ataupun dalam Monserrat dengan sutradara Fred Wibowo. Penting disebut, ikut mendirikan Bengkel Teater pada 1967, dan Rendra tercatat menyebutnya sebagai Penjaga Intelektual Bengkel Teater, mungkin karena kecenderungannya untuk selalu argumentatif jika mengeluarkan pendapat. Azwar AN pernah mengingat, setiap kali latihan olah gerak, Bakdi Soemanto hampir selalu menirukan gaya Semar, dengan telunjuk menunjuk-nunjuk ke udara.
Dunia kesenian yang romantik ini nyaris memutuskannya dari dunia akademik. Pernah merantau ke Jakarta, Bakdi, yang seperti banyak seniman lain ikut menumpang tidur di Balai Budaya, berkisah bahwa nasi yang dijual warung-warung di sekitarnya masih banyak gabahnya. ”Orang seperti Nashar itu, kok ya, betah,” katanya. Ketika saya mengenalnya pada 1975, beliau sudah berada di kampus sebagai asisten dosen yang belum lulus kuliah, tetapi yang hampir selalu dikira sudah jadi dosen. Dalam salah satu perbincangan, Bakdi menyebut kalimat back to campus dengan tekanan nada yang menunjukkan bahwa sebelum itu telah berpikir yang sebaliknya.
Di kampus, ia dikenal sebagai dosen yang sangat menyukai lagu ”Autumn Leaves” (Joseph Kosma/Jacques Prévert), bahkan mampu menyanyikannya dalam bahasa Inggris ataupun Perancis yang merupakan versi aslinya, terutama bagian: ”Since you when away the days grow long… and soon I’ll hear old winter song.” Komentarnya: ”The days grow long itu, kan, ngelangut (rasa kosong yang dalam). Urip krasa suwung (hidup terasa seperti di dunia tanpa penghuni)…. Dahsyat.”
Kata ”dahsyat” bersama ”absurd” memang tercatat sering diucapkannya. Bakdi dikenang para mahasiswanya selalu berjuang agar mereka bisa lulus, baik melalui bimbingan ilmiah maupun secara pribadi mengejar mereka dengan segala cara agar menyelesaikan kuliah. Terhadap saya yang bukan mahasiswanya pun, dan hanya mengenalnya dalam status sebagai pelajar sekolah menengah, Bakdi menghargai saya sebagai lawan bicara yang seolah-olah setara dan tidak pernah sekalipun menunjukkan sikap bahwa saya sungguh-sungguh masih ingusan. Tidak banyak saya temui orang seperti beliau.
Bakdi Soemanto telah pergi, Sabtu (11/10) dini hari kemarin. Berangkatlah lebih dulu, Mas Bakdi. Kita lanjutkan diskusi kita nanti.
Oleh: SENO GUMIRA AJIDARMA Wartawan
Sumber: Kompas, 12 Oktober 2014