Akhir-akhir ini banyak yang mem-posting mengenai perbandingan penerima Hadiah Nobel ditinjau dari segi bangsa dan agama. Bangsa Yahudi yang jumlahnya hanya 0,18 persen dari seluruh penduduk dunia atau 13 juta mendominasi seperlima atau 20 persen penerima Hadiah Nobel.
Total ada 178 orang Yahudi yang menerima Hadiah Nobel sejak pertama kali hadiah ini dikenalkan pada tahun 1895, yaitu 13 orang Yahudi meraih Nobel Sastra, 30 orang mendapatkan Nobel Kimia, 53 meraih Nobel Fisiologi dan Kedokteran, 49 orang mendapatkan Nobel Fisika, 9 orang meraih Nobel Perdamaian, dan 24 orang mendapatkan Nobel Ekonomi.
Apakah kemudian bisa disimpulkan bahwa bangsa Yahudi adalah bangsa yang sangat cerdas bahkan jauh lebih cerdas dari bangsa mana pun di dunia? Harus diakui bahwa memang sejak Revolusi Industri (1750-1850), perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Barat mengalami kemajuan yang sangat luar biasa. Sementara dunia Arab, China, dan Asia sedang mengalami banyak kemunduran. Apabila kerangka waktu digeser, misalnya mulai abad ke-5 sampai abad ke-15, tentu datanya akan berbeda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada periode ini, kemajuan di kawasan Asia malahan sangat pesat. Kalau saja ada Hadiah Nobel pada periode abad ke-5 sampai ke-15, tentu bangsa Arab, China, dan Indonesia yang akan mendominasi. Di dunia Arab berkembang pesat pengetahuan tentang aljabar, astronomi, kedokteran, kimia, pendekatan penelitian induktif, dan banyak bermunculan universitas kelas dunia dari dunia Arab.
Perkembangan di China ditandai oleh penemuan kertas dan mesiu serta karya sastra yang luar biasa, seperti Kisah Tiga Negara (Sam Kok) dan Kera Sakti (Sun Go Kong). Sementara di Nusantara bermunculan banyak tokoh seperti Ronggo Warsito, Empu Prapanca, dan Empu Tantular yang memiliki kontribusi melewati zamannya.
Pada periode itu (abad ke-5 sampai ke-15), dunia Barat (baca: Eropa) mengalami Masa Kegelapan sehingga praktis terjadi kemandekan berpikir akibat dominasi Gereja terhadap ilmu pengetahuan. Theos dan mitos mengebiri logos untuk berkembang.
Dogma credo ut intelligam (saya percaya baru saya mengerti, atau faith above rationality) menjadi fondasi utama dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Masa Kegelapan ditandai dengan runtuhnya kekaisaran Romawi Barat abad ke-5. Banyak kerajaan kecil berebut kekuasaan sehingga jumlah penduduk pun berkurang akibat peperangan dan juga penyakit. Dominasi Gereja begitu kokoh di berbagai bidang, bahkan merasuk sampai ke politik, sastra, dan ekonomi.
Kondisi ini mulai berubah sejak abad ke-15 ketika memasuki masa Renaissance, yaitu munculnya keinginan masyarakat untuk memiliki kebebasan berpikir dan mengekspresikan dirinya dalam berbagai cara.
Pada hakikatnya, masa Renaissance ini adalah Revolusi Budaya di dunia Barat. Selanjutnya baru memasuki Abad Pencerahan yang ditandai dengan Revolusi Ilmiah, yaitu mencari pengetahuan dengan mengandalkan rasionalisme dan empirisme, serta keluar dari dogma-dogma agama.
Muncul nama-nama terkenal seperti Coppernicus, Galileo Gelilei, dan beberapa filsuf seperti Renee Descartes dan John Locke. Lahirnya filsuf pada masa ini mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan secara signifikan, yang akhirnya berujung pada terjadinya Revolusi Industri.
Sementara di daratan Asia dan jazirah Arab justru mengalami banyak kemunduran. Selain akibat peperangan dan perebutan kekuasaan, juga ditandai dengan munculnya kolonialisme dan imperialisme, yang pada hakikatnya adalah salah satu produk dari kebebasan berpikir yang muncul di dunia Barat. Keadaan ini berlanjut sampai saat ini walaupun era kolonialisme dan imperialisme sudah berakhir.
Kembali pada pertanyaan semula, apakah bangsa Yahudi memang memiliki kecerdasan super? Mungkin saja mereka memang cerdas. Tetapi, menurut saya, yang membuat mereka berprestasi adalah mereka berada di lingkungan yang tepat, yaitu lingkungan yang mengandalkan cara berpikir sistematis berdasarkan rasionalisme dan empirisme, untuk mencari kebenaran hakiki dari ilmu pengetahuan.
Yang membuat mereka berprestasi adalah mereka berada di lingkungan yang tepat.
Mereka berada di lingkungan yang dahulu kala pernah mengalami masa kemandekan, dan mereka belajar dari kondisi tersebut. Tentu saja mereka juga makhluk yang religius, tetapi mereka mampu menempatkan agama pada posisi yang seharusnya (bukan meninggalkan atau menghilangkan agama).
Tanda-tanda kebangkitan juga sudah muncul di belahan Asia. China (dan beberapa negara lain, seperti Korea dan India) sudah mulai menjadi kekuatan dunia dalam bidang pengetahuan walaupun belum mampu melahirkan invensi-invensi spektakuler. Bangsa-bangsa tersebut juga memiliki akar religi yang sudah berusia ribuan tahun, seperti Konfusius dan Buddhisme. Namun, mereka tidak terbelenggu atau terhambat olehnya.
Bagaimana dengan Indonesia? Sudahkah kita memiliki lingkungan yang membuat ilmu pengetahuan berkembang pesat? Dan, yang lebih penting, sudahkah kita menempatkan logika dan religi pada tempat yang seharusnya? Sudahkah kita mampu membedakan antara informasi yang benar dan yang hoaks? Atau, justru kita lebih pandai memproduksi hoaks dibandingkan ilmu pengetahuan?
Saya berharap, Indonesia bisa bangkit dan maju tanpa harus mengalami terlebih dulu masa kegelapan seperti bangsa Eropa di abad pertengahan. Mari kita jadikan kebinekaan sebagai aset untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti yang dicita-citakan pendiri bangsa Indonesia, Soekarno.
Dr Harris Turino, Dosen Tetap IPMI International Business School
Sumber: Kompas, 23 Desember 2017