Berkat program pemberantasan kemiskinan, tiga ekonom asal Amerika Serikat mendapatkan penghargaan Nobel Ekonomi 2019. Dua di antara adalah pasangan suami istri yang pernah meneliti program pemberantasan kemiskinan di Indonesia.
Pasangan suami istri penerima Nobel Ekonomi 2019 adalah Abhijit Banerjee (58) dan Esther Duflo (47). Mereka menjadi pasangan suami istri ke-6 yang mendapatkan Nobel. Suami istri yang mengajar di Massachusetts Institute of Technology (MIT), AS, itu berbagi Nobel dengan rekannya, Michael Kremer, profesor dari Harvard University.
KARIN WESSLEN/TT NEWS AGENCY/VIA REUTERS–Sekretaris Jenderal Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Swedia Goran K Hansson (tengah) dan anggota akademi, Peter Fredriksson (kiri) serta Jakob Svensson, mengumumkan pemenang Hadiah Nobel Ekonomi 2019 selama konferensi pers di Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Swedia, Stockholm, Swedia, 14 Oktober 2019.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketiga ekonom yang mendalami ekonomi pembangunan itu melakukan riset-riset tentang program pemberantasan kemiskinan yang difasilitasi Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab (J-PAL). J-PAL adalah sebuah jaringan global yang memfasilitasi riset-riset pemberantasan kemiskinan dengan eksperimen-eksperimen lapangan. Dana penelitian berasal dari keluarga Sheikh Abdul Latif Jameel yang tercatat sebagai keluarga nomor empat terkaya dari seluruh keluarga di Arab Saudi pada 2017.
Terobosan awal dilakukan Kremer lewat riset soal efek pendidikan terhadap peningkatan produktivitas pekerja di Kenya. Bagaimana pendidikan benar-benar bisa menghasilkan didikan yang baik dan kemudian memiliki keahlian tinggi.
Banerjee dan Duflo melanjutkan riset serupa di India. Topik pemberantasan kemiskinan tidak hanya lewat pendidikan, tetapi juga lewat pemberian layanan kesehatan, kredit mikro, hingga pemberdayaan lewat sisi jender, dalam hal ini perempuan.
Di lapangan, mereka mendengarkan orang-orang yang terlibat, seperti pihak lembaga swadaya masyarakat. Mereka bertemu para ibu, bapak, dan anak-anak miskin di desa-desa India dan sejumlah negara. Dari sini mereka mendalami bagaimana agar dana dan program pemberantasan kemiskinan berhasil serta tidak sia-sia.
Mereka menemukan, vaksinasi di India sukses karena ada program yang memberikan insentif kepada para ibu. Ada hadiah berupa kacang-kacangan, salah satu bahan makanan penting di India, agar para ibu membawa anak-anaknya untuk imunisasi.
Mereka juga menemukan, pusat-pusat pelayanan kesehatan di desa-desa miskin ternyata tidak didatangi warga, kualitasnya buruk, dan pegawainya jarang berada di tempat. Dari sini, klinik-klinik berjalan pun digencarkan.
Soal pemberdayaan jender, satu hal menarik ditemukan di India. Para perempuan yang menjadi lurah lebih dipercayai ketimbang lurah lelaki atau bapak-bapak. Potensi terpilihnya lurah perempuan lebih tinggi.
REUTERS/BRIAN SNYDER–Abhijit Banerjee dan Esther Duflo, dua dari tiga pemenang Hadiah Nobel Ekonomi 2019, berbicara pada konferensi pers di Institut Teknologi Massachusetts (MIT) di Cambridge, Massachusetts, AS, 14 Oktober 2019.
Selain di India, pasangan Banerjee dan Dulfo juga beberapa kali melakukan riset di Indonesia. Banerjee, misalnya, meneliti BPJS Kesehatan bersama sejumlah peneliti lain, termasuk peneliti Indonesia. Laporan penelitiannya berjudul ”The Challenges of Universal Health Insurance in Developing Countries: Evidence from a Large-Scale Randomized Experiment in Indonesia”.
Isinya, antara lain, menjelaskan bagaimana asuransi kesehatan bisa menjangkau masyarakat kecil. Sebelumnya pada 2010, ia meneliti tantangan negara dalam mengidentifikasi orang miskin untuk asuransi sosial di tengah keterbatasan informasi soal pendapatan masyarakat.
Duflo juga pernah melakukan riset tentang SD inpres di Indonesia yang hasilnya diterbitkan pada Agustus 2010 dengan judul ”Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Unusual Policy Experiment”.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO–Murid dan guru SD Negeri 1 Kepoh melaksanakan upacara bendera di Desa Kepoh, Sambi, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (22/7/2019). Sekolah itu memiliki jumlah murid terbanyak saat pertama kali didirikan pada tahun 1976 saat pelaksanaan program Inpres yakni sebanyak 200 siswa.
Penelitian ketiga ekonom itu menarik perhatian panitia Nobel karena mampu membatasi skup penelitian pada isu-isu tertentu saja, misalnya pendidikan, kesehatan, dan kredit mikro sehingga hasilnya fokus. Selain itu, ketiganya juga melakukan studi di lapangan dengan waktu bertahun-tahun. Dari situ dikembangkan model-model berbasis teori ekonomi untuk mengatasi kemiskinan.
Pasangan unik
Kisah pasangan ini, Benerjee dan Duflo, cukup unik. Dulfo yang kelahiran Paris bertemu dengan Benerjee yang kelahiran India di MIT. Duflo jatuh cinta pada Banerjee yang menjadi dosen pembimbing doktoralnya di MIT. Mereka kemudian menikah dan menjadi pasangan sejoli yang mendekati sempurna.
Sebagai pasangan, mereka terbantu karena saling mendukung dan sesama akademisi yang tertarik pada kaum papa. Duflo dan Banerjee tidak yakin ekonomi bisa diterapkan hanya dengan diskusi di meja semata, tetapi harus turun ke lapangan.
Kremer juga pernah menjadi pengajar di MIT pada 1993-1994. Dari sini Kremer bersinggungan dengan Banerjee dan Duflo. Mereka bertiga kemudian menjadi peneliti lapangan yang disegani.
Apa yang akan mereka lakukan selanjutnya dengan Nobel Ekonomi? ”Tidak mungkin saya melupakan jasa dari begitu banyak orang yang memungkinkan semua ini terjadi,” kata Banerjee, diplomatis. (AP/AFP/REUTERS)–SIMON SARAGIH
Sumber: Kompas, 17 Oktober 2019