Gara-gara hubungan kedua negara yang sempat membeku, hubungan keluarga Mudiro di Beijing dengan keluarga besarnya di Tanah Air pun terputus. Bahkan, mereka sekeluarga sempat tak memiliki paspor Indonesia sejak tahun 1965 karena tidak ada Kedutaan Besar Indonesia di Beijing.
Di tengah kekosongan dan putusnya hubungan dengan Tanah Air itu, tidak terlintas sedikit pun dalam pikiran keluarga Mudiro untuk mengganti kewarganegaraan mereka. Walaupun mungkin ia sekeluarga akan menerima fasilitas yang layak sebagai seorang ahli dari luar negeri.
Ketika hubungan kedua negara mulai mencair pada 1990-an, paspor Indonesia belum juga berada di tangan Mudiro. Mereka baru mendapatkan dokumen penting itu tahun 2002, meskipun pada 2000 dia pernah pulang ke Indonesia dengan menggunakan paspor merah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Kami mendapatkan paspor RI tahun 2002 pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid,” katanya.
Tanpa paspor selama sekitar 36 tahun membuat Mudiro dan keluarga tidak dapat menjejakkan kaki di Tanah Air. ”Ketika masa pembekuan hubungan itu, jika hendak berkirim surat, harus dititipkan pada orang di luar negeri, muter-muter dulu suratnya, sampai ke Belanda, baru surat itu sampai Indonesia,” ujarnya.
Mudiro menjejakkan kaki di China pada Desember 1963. ”Ketika itu belum ada penerbangan langsung. Jadi, saya ’terbang’ lewat Bangkok, ke Yangon, lalu ke Kunming, baru tiba di Beijing tahun 1964 setelah beberapa hari santai di Kunming,” ceritanya, akhir Maret lalu di rumahnya di pusat kota Beijing.
Dia berada di China berkat undangan Pemerintah China karena keahliannya sebagai penerjemah. Mudiro bekerja sebagai waiguo zhuanjia (tenaga ahli asing) di Penerbit Bahasa Asing (PBA) atau Foreign Language Press. Hal ini merupakan perusahaan milik Pemerintah China, anak perusahaan Distribusi Terbitan Bahasa Asing.
Tugasnya tak mudah. Mudiro harus menerjemahkan dan mengedit bahan tulisan ke dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebagian besar tulisan itu tentang Indonesia.
Pada masa-masa sulit tersebut dia tetap bekerja dan menghabiskan masa kontraknya. ”Ada perasaan tidak enak, kecewa, sedih, terasing dari keluarga dan masyarakat negeri sendiri,” kenangnya.
Tetap aktif
Akan tetapi, dia tak tenggelam dalam kesedihan dan perasaan terasing. ”Kesedihan dalam keterasingan segera hilang setelah saya menyadari ada pekerjaan, ada tugas dan kewajiban, ada panggilan, yang harus saya laksanakan. Tugas mengajarkan bahasa Indonesia dan memperkenalkan kebudayaan Indonesia kepada orang Tiongkok,” ujar Mudiro.
”Hubungan Indonesia-Tiongkok itu punya sejarah panjang dan bermanfaat. Ini tak boleh rusak. Sementara itu, Tanah Air, Jakarta, Surabaya, Trenggalek, Bukittinggi, istri saya orang Minang, terkenang terus siang-malam. Keadaan kami bagaikan pepatah, jauh di mata dekat di hati,” ujarnya.
Di tengah kesulitan itu, Mudiro dan keluarga terus membagi ilmu mengenai Indonesia di lembaga-lembaga lain di China. Ia sering diminta memberikan mata kuliah umum tentang berbagai aspek mengenai Indonesia, seperti ilmu bumi, kemasyarakatan, ekonomi, termasuk kebudayaan Indonesia di hadapan mahasiswa Universitas Bahasa-bahasa Asing Beijing.
Pada awal 1980-an, Mudiro juga mulai mengumpulkan kata, istilah, ungkapan, dan peribahasa. Kumpulan kata-kata itulah yang menjadi Kamus Baru Bahasa Indonesia-Tionghoa. Kamus itu diterbitkan tahun 1988. Mudiro bekerja di bawah tim dari Universitas Peking pimpinan Profesor Liang Liji.
Dia juga menyusun Kamus Besar Tionghoa-Indonesia bersama tim pada Penerbit Bahasa Asing. Kamus itu diterbitkan tahun 1995 untuk diedarkan di Indonesia dan pada 1997 untuk diedarkan di China.
”Bagi saya ini penting. Saya bisa ’pulang’ ke Indonesia karena nama saya tercantum dalam kamus itu. Meski (waktu itu) secara fisik saya tetap berada di Beijing karena belum diizinkan pulang,” ujar bapak dua anak dan kakek dari tiga cucu ini. Pengalaman menyusun kamus selama 15 tahun itu sulit dilupakannya.
Rajin berkeliling
Mudiro pun rajin berkeliling daratan China. Ia banyak menulis tentang perjalanannya ketika berkunjung ke sejumlah daerah. Laporannya itu disiarkan China Radio International (CRI) Seksi Indonesia. Dia juga rajin menyunting artikel tentang seni dan budaya China, lalu disiarkan CRI.
Selain itu, Mudiro dan istrinya juga aktif mengajar di Universitas Bahasa-bahasa Asing Beijing, khususnya mengajar pelafalan bahasa Indonesia.
”Kadang kala para mahasiswa China saya ajak menonton film Indonesia di rumah, lalu kami berdiskusi atau berjalan-jalan di taman sambil praktik berbahasa Indonesia. Atau, saya membuat masakan Indonesia, seperti gado-gado, nasi kuning, dan mereka mencicipinya,” ujarnya.
Mudiro sangat aktif dalam berbagai diskusi dan mendengarkan kuliah yang disampaikan oleh para pengajar jurusan bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Peking, seperti Profesor Liang Liji, Huang Shenfang, Kong Yuanzhi, dan Ju Sanyuan.
Dia juga aktif diskusi dengan para Indonesianis dari negara lain, seperti A Teeuw dari Belanda, Denys Lombard dan Claudine Salmon dari Perancis, Stockhoff dari Belanda, dan Langenbergh dari Australia.
”Walaupun saya tidak bisa pulang (ke Indonesia), atas kemurahan hati dan perhatian dari berbagai pihak di Tiongkok, saya memperoleh pengetahuan berharga tentang Indonesia justru dari orang luar Indonesia,” ujar Mudiro yang bersyukur bisa mendapatkan perkembangan informasi tentang Indonesia dari para ”ahli Indonesia” itu. [Anastasia Joice Tauris Santi]
Sumber: Rabu, 26 Mei 2010 | 04:47 WIB